Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Marzuki Wahid menjadi salah satu kiai dengan pandangan progresif mengenai relasi laki-laki dan perempuan serta hak asasi manusia dalam kacamata ajaran Islam.
Membangun lembaga pendidikan tinggi berbasis pesantren serta menyusun kurikulum mengenai kesetaraan dan keadilan gender.
Aktif ambil bagian kelompok sipil yang meminta pemerintah lebih serius membahas dan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
PADA mulanya batin Marzuki Wahid selalu berkecamuk saat mendengar atau membaca kajian mengenai kesetaraan gender. Menurut Marzuki, lahir dan besar di lingkungan pesantren di Cirebon, Jawa Barat, membuat dia terjebak dalam konstruksi sosial tentang derajat laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan. Marzuki muda bahkan sempat menganggap hanya laki-laki yang pantas menjadi pemimpin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Marzuki, dulu dia merasa kajian gender hanya mengotak-atik ajaran Islam tentang relasi perempuan dan laki-laki. Dia pun menolak keras pembahasan mengenai isu kesetaraan dan keadilan gender. “Saya bilang ini Barat yang mau merusak ajaran Islam,” kata Marzuki kepada Tempo pada Kamis, 16 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cara pandang Marzuki terhadap isu gender berubah drastis saat menempuh studi di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada pertengahan 1990-an. Kala itu, dia mengikuti satu pelatihan yang digelar organisasi mahasiswa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Salah satu pembicaranya adalah perwakilan Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak.
Pelatihan itu membuat Marzuki keranjingan mempelajari literatur soal isu kesetaraan dan keadilan gender, termasuk dari sumber-sumber ajaran Islam. Dia menemukan bahwa topik kajian gender sebenarnya merupakan bagian dari ajaran Islam. “Kesadaran gender juga melekat pada ajaran Islam,” tuturnya. “Bahkan Nabi Muhammad itu seorang feminis sejati.”
Keseriusan Marzuki mempelajari isu gender kini membuatnya menjadi ahli fikih yang memiliki perspektif feminisme. Meski demikian, dia juga kerap dicap perusak ajaran Islam. Stigma itu sudah didapatnya kala menjadi mahasiswa pascasarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 1996-1998. Makalahnya tentang studi analisis posisi laki-laki dan perempuan dalam sejumlah ayat Al-Quran pernah membuat dosen ilmu tafsir murka. “Sambil bergetar dia berkata pakai bahasa Arab, ‘Kamu mau mengubah Al-Quran?’” ujar Marzuki menirukan ucapan dosen itu.
Toh, Marzuki tetap tenang. Menurut dia, argumentasi dalam makalahnya adalah pendapat sejumlah mufasir alias ahli tafsir kitab-kitab. Dia juga meyakinkan dosennya bahwa ia tetap setia pada nilai-nilai Islam. Amarah sang dosen mereda. “Saya sudah khawatir harus mengulang mata kuliah itu, tapi akhirnya saya malah mendapat nilai A,” kata Marzuki, lalu tergelak.
Bertahun kemudian Marzuki memegang teguh pemahamannya tentang keadilan gender. Dia menyebarkannya lewat tulisan dan pengajaran. Namun dakwah Marzuki tak selamanya mulus. Cara dia menyebarkan ajaran Islam yang rasional dan kontekstual itu menjadi cibiran. Apalagi ia terang-terangan menentang poligami. Pendapatnya soal kesetaraan laki-laki dan perempuan pun kerap ditolak. “Di media sosial saya sering diserang, tapi belakangan saya tak pernah meladeninya.”
Marzuki Wahid bersama mahasantri tingkat akhir di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy, Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, 17 Juli lalu./TEMPO/Prima mulia
Dukungan terhadap isu kesetaraan dan keadilan gender membuat Marzuki menjadi salah satu kiai dengan pandangan progresif mengenai relasi laki-laki dan perempuan dalam kacamata ajaran Islam. Aktivitas dakwah Marzuki pun tak lepas dari usahanya menyebarkan pemahaman bahwa kesetaraan dan keadilan gender merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Dia juga menekankan pentingnya membela hak asasi manusia.
Perspektif kemanusiaan itulah yang diusung Marzuki ketika membangun Yayasan Fahmina bersama Husein Muhammad, Affandi Mochtar, dan Faqihuddin Abdul Kodir pada November 2000. Dari lembaga ini, tujuh tahun kemudian, lahir Institut Studi Islam Fahmina. Marzuki juga turut andil membangun Ma’had Aly Kebon Jambu di Cirebon bersama Husein Muhammad dan pemilik sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Kebon Jambu, Masriyah Amva.
Ma’had Aly juga memiliki pendukung lain. Kampus ini lahir atas rekomendasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama yang digelar pada 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu. Marzuki pun ikut terlibat dalam kongres ini dan kemudian turut menyusun kurikulum Ma’had Aly. Dalam rekomendasinya kala itu, KUPI menyebut Ma’had Aly juga sebagai tempat kaderisasi ulama perempuan.
Kurikulum Ma’had Aly, kampus yang menyatu dengan Pondok Pesantren Kebon Jambu, difokuskan pada kajian fiqh al-ahwal asy-syakhsiyyah atau hukum keluarga Islam. Topik kajian gender menjadi salah satu materi utama. Sejak semester awal para mahasiswa Ma’had Aly harus sudah khatam kajian keadilan gender hingga hak asasi manusia. “Karena ini materi perspektif, mahasiswa sudah harus clear memandang isu ini sejak awal,” ujar Marzuki, yang juga menjabat Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Islam UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Dudang Gojali, mengatakan Marzuki memang sangat serius menekuni kajian gender. Menurut dia, Marzuki bahkan merupakan akademikus yang memelopori masuknya kajian gender dalam kurikulum pesantren. Marzuki pun dinilai berani dengan mengusung topik kajian fikih gender. “Yang dilakukan Marzuki itu terobosan. Jangankan di pesantren, di perguruan tinggi pun masih belum umum,” tutur Dudang, yang dulu menjadi aktivis dan kolega Marzuki di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.
Marzuki juga lantang menyuarakan konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam perkawinan dan relasi suami-istri. Hal ini penting karena ada banyak kasus suami yang memaksa istrinya melakukan hubungan seksual. Padahal sang perempuan sedang sakit atau dalam keadaan tidak ingin melakukan hubungan seksual. Tindakan memaksa untuk melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan seperti itu sudah bisa dikategorikan sebagai pemerkosaan.
Dalam tulisannya tentang penyelenggaraan KUPI di situs Fahmina Institute pada 2017, Marzuki menyinggung tentang kesepakatan para ulama perempuan bahwa kekerasan seksual dalam segala bentuknya, baik di luar maupun di dalam perkawinan, adalah haram. Ulama perempuan memandang bahwa perzinaan dan pemerkosaan adalah dua pidana (jarimah) yang berbeda baik dari definisi, sanksi pidana, maupun pembuktiannya.
Pemerkosaan pun memiliki sanksi lebih berat dari perzinaan karena ada tindak pidana pemaksaan (ikrah) yang dilakukan pemerkosa. Dalam kasus pemerkosaan, yang dinilai berdosa dan wajib dihukum adalah pemerkosanya. Adapun korban seharusnya tidak dikenai sanksi dan malah wajib dilindungi. Menurut Marzuki, ini ketentuan baru karena sebelumnya banyak pandangan fikih yang menyamakan pemerkosaan dengan perzinaan.
Kiprah Marzuki yang getol menyuarakan kesetaraan gender membuatnya dipercaya ikut menyusun sejumlah naskah akademik. Salah satunya bahan Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan 2004. Bersama Komisi Nasional Perempuan, dia ikut menyusun Rencana Aksi Nasional Hak-hak Konstitusional Perempuan pada 2009.
Marzuki juga menjadi bagian kelompok sipil yang meminta pemerintah lebih serius membahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Pembahasan aturan itu mandek setelah Dewan Perwakilan Rakyat mengeluarkan rancangannya dari Program Legislasi Nasional 2020. Bersama 125 orang lain, termasuk musikus, jurnalis, dan penulis, Marzuki meneken surat terbuka ditujukan kepada Presiden Joko Widodo pada 22 Juli lalu dan menuntut rancangan undang-undang itu bisa segera disahkan.
Meski aktif dalam forum dakwah dan dunia akademik, Marzuki tak tergoda masuk lingkaran politik praktis. Ketua Jaringan Kerja Antarumat Beragama Wawan Gunawan mengatakan banyak partai politik berusaha menggaet Marzuki. Meski demikian, Marzuki selalu menolaknya. Menjadi akademikus membuat dia merasa lebih bebas. “Godaan-godaan politik itu ada, tapi dia tidak mau. Alasannya agar bisa masuk ke semua kalangan,” ujar Wawan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo