Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Jangan Menghambat Transformasi Digital

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengatakan digitalisasi penyiaran perlu segera dilakukan untuk menghadapi dampak disrupsi teknologi di era digital. Ia juga getol berkomunikasi dengan para pemimpin platform digital untuk bekerja sama memberantas hoaks di media sosial, khususnya yang terkait dengan Covid-19. Johnny memandang perlu Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi untuk memproteksi data pengguna Internet di Indonesia.

25 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate di kantornya, gedung Kominfo, Jakarta, Senin, 6 Juli 2020./TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan digitalisasi penyiaran atau analog switch-off (ASO) dikebut melalui pembahasan omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

  • Kementerian Komunikasi dan Informatika menggandeng platform-platform digital untuk memberantas penyebaran hoaks, terutama yang terkait dengan Covid-19.

  • Dengan pertimbangan Presiden Joko Widodo, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencabut banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara terkait dengan pemblokiran Internet di Papua dan Papua Barat.

PEMERINTAH terus mengebut digitalisasi penyiaran nasional. Setelah revisi Undang-Undang Penyiaran terpental dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020, proses migrasi televisi analog ke digital bergantung pada mulus-tidaknya pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. “Migrasi dari analog ke digital section ada di omnibus law,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate kepada Tempo, Jumat, 3 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Johnny, 63 tahun, mengatakan disrupsi teknologi membuat perpindahan menuju penyiaran digital—dikenal dengan analog switch-off —perlu segera dilakukan. Tanpa mempercepat transformasi digital, jutaan orang yang membeli televisi digital terus dirugikan karena mendapat siaran analog. Industri televisi juga bakal terancam dengan masuknya sederet perusahaan digital yang bisa mengembangkan penyiarannya di Internet. Ia berharap digitalisasi penyiaran nasional bisa memperoleh payung hukum sehingga dapat dijalankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Johnny menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, di ruang kerjanya. Politikus Partai NasDem ini membicarakan kebocoran data pengguna di dunia maya, strategi pemerintah memberantas hoaks, pemutusan akses Internet di Papua dan Papua Barat, hingga pentingnya undang-undang tentang perlindungan data pribadi. Ia juga menyinggung pertemuannya dengan delegasi Uni Eropa untuk Indonesia beberapa waktu sebelumnya.

Posisi Indonesia dalam hal digitalisasi penyiaran masih jauh tertinggal dari negara lain, bahkan sesama negara ASEAN. Bagaimana mengatasinya?

Disrupsi teknologi menuntut kita supaya segera bermigrasi ke penyiaran digital. Jangan sampai ada pihak yang menghambat transformasi dari analog ke digital. Kalau tidak diatur, disrupsi teknologi digital akan mempengaruhi bisnis penyiaran itu sendiri. Kalau ada pihak-pihak yang berusaha menunda proses itu, berarti mereka dengan sengaja melawan arah kebijakan pemerintah.

Siapa pihak yang menghambat tersebut?

Kalau ada industrialis, pengusaha, yang mempertahankan supaya jangan terjadi digitalisasi broadcasting, berarti dia melawan kebijakan transformasi digital.

Apakah resistansinya cukup kuat?

Ada yang setuju dan tidak setuju. Ada yang ingin mempertahankan analog. Kalau mempertahankan analog, berarti menolak digital. Kalau menolak digital, berarti menolak kebijakan Presiden Joko Widodo tentang transformasi digital di bidang broadcasting.

Apa saja keuntungan yang diperoleh jika penyiaran didigitalisasi?

Seharusnya lebih membuka kesempatan koeksistensi industri broadcasting di ruang digital. Kita berhadapan dengan pendatang baru yang disebut over-the-top business yang bisa mengembangkan penyiaran di ruang digitalnya. Kalau terkait dengan digitalisasi televisi, masyarakat juga menuntut. Jutaan masyarakat membeli televisi pintar, tapi tidak mendapat siaran digital. Apa itu tidak merugikan? Jangan hanya memikirkan industrinya, perusahaan, atau grup perusahaannya sendiri.

Digitalisasi penyiaran berkaitan dengan kecepatan Internet. Bagaimana dengan tingkat penetrasi Internet di Indonesia?

Penetrasi Internet di Indonesia tinggi. Sebanyak 175 juta atau 64 persen penduduk sudah bisa mengakses Internet.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate (kiri) mengikuti rapat kerja bersama Komisi I DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 22 Juni 2020. Antara/Puspa Perwitasari

Selama pembatasan sosial, banyak siswa di sejumlah daerah tidak bisa mengikuti pembelajaran daring karena tidak ada layanan Internet.

Untuk itu, infrastruktur telekomunikasi harus dilengkapi. Jangan ngomong Internet kalau tidak menyelesaikan pembangunan infrastruktur telekomunikasinya. Ibaratnya, Anda bikin bendungan gede, tapi tidak membangun saluran irigasi ke sawah. Enggak ada air di sawahnya. Begitu pula Internet. Membangun broadband tanpa jaringan tengah dan hilirnya, ya, enggak sampai. Enggak ada Internetnya kalau enggak ada (jaringan) 4G di situ.

Apakah akses masyarakat terhadap layanan Internet tersebar merata?

Pengguna Internet itu tidak ada hubungannya dengan cakupan wilayah dan administratif. Misalnya, pengguna Internet di Jawa saja bisa berjuta-juta. Dan di Jawa, satu orang bisa punya dua telepon seluler. Kalau jaringan Internet dibangun sampai middle mile dan last mile, menjangkau sampai di desa-desa. Kalau tidak begitu, layanan Internet hanya terpusat di tempat yang ada jaringannya.

Kasus kebocoran data pengguna di Internet masih saja terjadi, dari pelanggan e-commerce hingga pasien Covid-19. Mengapa kejadian seperti ini berulang?

Kebocoran data seperti apa? Jangan sampai terjebak pada istilah tunggal kebocoran data, lalu membuat panik seluruhnya. Data breach dan data leaks terjadi di mana-mana. Bahkan Departemen Pertahanan Amerika Serikat pernah mengalami data breach. Indonesia belum lama ini dihangatkan dengan potensi kebocoran data di platform digital, seperti Tokopedia, Bhinneka, atau Bukalapak. Data pemerintah juga dianggap bocor, yaitu di Komisi Pemilihan Umum dan terakhir data Covid.

Hasil penelusuran Kominfo atas kasus-kasus tersebut seperti apa?

Di beberapa tempat, seperti Tokopedia, memang ada kebocoran data, tapi bukan data sensitif karena sistem keamanannya tidak bisa diterobos. Itu yang disampaikan (Tokopedia). Data sensitif itu data rekening bank, kartu kredit, faktur, dan invoice, tidak diterobos. Sedang dilakukan evaluasi menyeluruh dari sisi sistem keamanannya.

Bagaimana dengan bocornya data 200 juta pemilih tetap di KPU?

KPU menyampaikan server datanya tidak diretas. Kalau data dari tempat pemungutan suara, seperti nama pemilih dan nomor induk kependudukan, itu domain publik. Sesuai dengan undang-undang data, itu harus diumumkan untuk kepentingan pemilihan umum. Artinya bukan dari data center KPU.

Apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus kebocoran data pasien Covid-19?

Interoperabilitas data Covid ada di Kominfo. Kami periksa dan tidak ada data leaks dan data breach. Pusat datanya tidak terganggu. Kami melakukan pembersihan data sebelum dikirim ke dashboard Kementerian Kesehatan. Di sana dibersihkan lagi oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebelum diumumkan kepada publik. Menurut BSSN, di data center-nya juga tidak ada kebocoran.

Di mana terjadi kebocoran datanya?

Bisa saja di tempat lain karena data ini datang dari berbagai daerah di Indonesia. Bisa saja di salah satu daerah data itu bocor. Tapi data itu bukan data yang sudah diinteroperabilitas alias data mentah.

Hoaks juga masih terus bertebaran di media sosial. Apa yang dilakukan Kominfo untuk memberantas penyebaran hoaks?

Kami memantau lewat patroli siber, apakah hoaks itu di portal atau platform. Kalau di portal-portal yang bisa langsung diblokir, ya, kami blokir. Tapi, kalau di platform digital, kami tidak bisa langsung memblokirnya. Misalnya di Facebook. Memangnya kami mau tutup Facebook? Begitu pula di YouTube, Instagram, dan Twitter.

Bagaimana caranya?

Kami meminta platform digital untuk melakukan proses take down. Mereka melalui sistemnya menghapus (konten hoaks). Salah satu caranya berkonsultasi dengan mitra mereka di negara setempat, termasuk Indonesia.

Soal pencabutan permohonan banding pemerintah atas putusan pengadilan tata usaha negara terkait dengan pemblokiran Internet di Papua dan Papua Barat saat terjadi kerusuhan pada Agustus 2019, apa pertimbangannya?

Kami mengajukan permohonan banding karena menilai ada landasan hukum yang memperkuat untuk banding. Tapi Presiden Joko Widodo mempertimbangkan hal lain. Presiden menghormati putusan pengadilan. Pemerintah memperhatikan betul demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia, kebebasan berpendapat, kebebasan pers. Atas pertimbangan itu semua, kami memutuskan tidak melanjutkan banding. Ya, sudah, kami mencabut kembali banding.

Presiden menyampaikan langsung pertimbangannya kepada Anda?

Enggak perlulah Anda tahu yang itu. Ini kan pemerintah. Itulah keputusannya dan disampaikan melalui pengacara negara. Kan, ada aturannya. Enggak bisa seenaknya mencabut banding. Perlu waktu karena harus memenuhi aturan.

Dalam amar putusannya, hakim PTUN menyatakan pemerintah telah melanggar hukum lantaran memblokir akses Internet di Papua dan Papua Barat.

Kalau kategori melanggar hukum, kan, kami naik banding. Sebagai Menteri Kominfo, saya enggak mau dibilang salah. Di mana salahnya? Maka saya gunakan hak untuk banding. Kemudian, dengan pertimbangan Presiden, naik bandingnya dicabut. Harus saya hormati. Pertimbangannya pilihan politik, kebijakan antara mempertahankan dan menghormati atau melaksanakan putusan. Keduanya ada plus dan minus. Yang dipilih tidak melanjutkan, itu yang kami laksanakan.

Mengapa Presiden memilih tidak melanjutkan sampai mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap?

Kalau Presiden melanjutkan, nanti Anda tidak mau.

Pemerintah dituding tidak menghargai kebebasan berpendapat karena ada pengkritik Presiden ditahan.

Itu kan tudingannya. Pertanyaannya: apakah Pak Jokowi yang minta itu (ditahan)? Pak Jokowi bilang kepada kami justru hormati demokrasi, kebebasan pers, kebebasan berpendapat. Itu komitmen Pak Jokowi. Tapi, kalau lembaga hukum mengambil langkah hukum, ada warga negara yang menggunakan haknya untuk melaporkan, dan itu dilaksanakan, kok, nunjuk-nya ke Pak Jokowi? Logikanya dari mana? Apakah Pak Jokowi minta, “Eh, Pak Polisi, tangkap dia”?


JOHNNY GERARD PLATE

• Tempat dan tanggal lahir: Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, 10 September 1956  Pendidikan: Sarjana Ekonomi Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta (1986)  Karier: Komisaris PT TJB Power Services (2005), Komisaris Utama PT Aryan Indonesia (2005), Komisaris PT Indonesia Air Asia (2005), Komisaris PT Mandosawo Putratama Sakti (2007), Direktur Utama PT Gajendra Adhi Sakti (2008), CEO Grup PT Bima Palma Nugraha (2008), Direktur Utama PT Air Asia Mitra Investama (2012), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (2014-2019), Menteri Komunikasi dan Informatika (2019-2024) • Organisasi: Ketua Mahkamah Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (2012-2013), Pengurus Partai NasDem (sejak 2013), Sekretaris Jenderal Partai NasDem (sejak 2017)


RUU Perlindungan Data Pribadi sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Sejauh mana aturan ini mampu melindungi data pengguna Internet di Indonesia?

Seluruh data harus bergantung pada consent pemilik data. Kalau tanpa persetujuan, tidak boleh digunakan. Itu melanggar hukum. Pemilik data banyak sekali haknya, baik untuk data umum maupun data khusus. Termasuk hak untuk melakukan pembaruan, merevisi, memperbaiki, melengkapi, mengurangi, menghapus data. Pemilik data mempunyai hak untuk dilupakan. Kalau ada putusan pengadilan bahwa dia dituduh bersalah tapi ternyata tidak, harus dihapuskan.

Bagaimana dengan pengaturan terhadap pengguna data?

Pengguna data juga membutuhkan data yang tepat, benar, ter-updated, terverifikasi. Lalu, soal pergerakan data, di dalam negeri sudah oke. Tapi pergerakan data lintas negara harus diatur tata kelolanya di tingkat global, multilateral, regional, bilateral.

Siapa saja yang harus diatur?

Ada yang namanya pemroses data dan pengendali data. Harus diatur tugas dan kewenangannya. Ada juga pengendali data dan pemroses data jadi satu institusi, ada yang perorangan atau badan hukum. Semuanya diatur dalam 15 bab dan 72 pasal di RUU Perlindungan Data Pribadi. Ini inisiatif pemerintah. Saya menetapkan patokan dengan Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) Uni Eropa. Draf yang kami sampaikan ke parlemen hampir sama dengan yang ada di GDPR Uni Eropa.

Bagaimana posisi Indonesia dalam urusan perlindungan data pribadi?

Indonesia salah satu yang tertinggal dalam dua undang-undang. Pertama, undang-undang yang berhubungan dengan digitalisasi penyiaran. Sudah ada di omnibus law. Kedua, RUU Perlindungan Data Pribadi. Sekitar 130 negara sudah punya. Di ASEAN, ada lima atau enam negara yang sudah punya. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus