SEBUAH gedung di bagian timur kota Denpasar, berada dalam
kompleks lapangan olahraga, kini jadi pusat perbincangan
khalayak ramai. Gedung itu bernama Lila Bhawana, selama ini di
pakai pertunjukan film yang karcisnya disesuaikan dengan kantong
rakyat kecil. I Gusti Ngurah Yudhana -- anak sulung pahlawan
nasional I Gusti Ngurah Rai - masih punya niat untuk
memperpanjang kontrak itu, yang berakhir akhir Desember lalu.
Namun pemerintah daerah tampaknya bertekad untuk mengambilnya,
memenuhi tuntutan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa.
Yudhana dengan PI Yudha Bhakti mengontrak gedung itu sejak Maret
1972. Sebelumnya gedung terkatung-katung tidak dirawat
pemerintah dengan alasan klasik: kekurangan biaya. Lalu Agustus
1972, mulai dipergunakan sebagai gedung bioskop dengan memutar
dengan harga murah. Kalau di bioskop yang pakai pendingin harga
karcis berkisar Rp 750 sampai Rp 1000, maka di Lila Bhawana
Theatre ini harga karcis cuma Rp 100.
Dengan dipakainya sebagai gedung bioskop, suara lantang bernada
protes mengalir dari tahun ke tahun, dialamatkan kepada
pemerintah. Soalnya, gedung itu ide semulanya adalah gedung
kesenian untuk menampung berbagai pementasan, baik yang disebut
tradisionil maupun modern. Listibiya (Majelis Pertimbangan &
Pembinaan Kebudayaan) diserahi tugas mengurus sekaligus
merancang akan diapakan gedung ini. Tapi karena kesulitan biaya
operasi, Listibiya merasa tidak mampu, dibentuklah Yayasan Lila
Bhawana, yang orang-orangnya itu-itu juga. Yayasan inilah yang
melimpahkan gedung Lila Bhawana kepada anak pahlawan Ngurah Rai
untuk dijadikan gedung bioskop.
Protes yang agak keras terdengar April lalu. Ini karena orang
tahu, gedung itu masa kontraknya habis Maret 1977. Tapi
pemerintah daerah agaknya masih bermurah hati untuk memberikan
tenggang waktu buat si pengontrak, sampai tutup tahun 1977.
Sementara hal itu diumumkan, protes makin ramai terutama
kelompok-kelompok remajadan juga kalangan mahasiswa. Alasan
protes diletakkan pada, tidak adanya tempat untuk menyalurkan
kegiatan positif para remaja. "Untuk festival folk song,
pementasan drama. Denpasar tidak punya gedung," seperti
dikatakan Ketua Sanggar Pos Remaja, Adnyana Sudibya.
Tinju
Gubernur Soekarmen sendiri sudah mengabulkan tuntutan sekelompok
anak muda yang rindu kreatifitas. Gedung Lila Bhawana diambil
pemerintah akhir Desember lalu dan diserahkan kepada Yayasan
Prasarana/Sarana Olahraga Bali, yang dipimpin staf ahli Gubernur
I Dewa Gde Subamia. "Lila Bhawana akan dijadikan pusat latihan
tinju dan tennis meja," kata Subamia. "Gedung itu di kompleks
olahraga, untuk kesenian 'kan sudah ada Werdi Budaya (Art
Centre)," tambahnya.
"Jangan tinju saja, sekali-sekali dipakai latihan drama," kata
Adnyana Sudibya. "Soalnya art centre tak pernah bisa dipakai
untuk kesenian modern, di sana kan gudangnya kesenian
tradisionil." Ucapan ini senada dengan harapan Ketua Harian
Listibiya IGBN Panji. Dalam kesempatan diskusi drama pekan lalu
IGBN Panji menghimbau penerintah agar Lila Bhawana nantinya
tidak melulu dipakai pusat olahraga. Begitulah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini