Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Calon presiden Anies Baswedan menanggapi dirinya kerap dituding memainkan politik identitas. Politik identitas kerap disematkan kepada Anies setelah terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2017. Saat itu diakui didukung dari berbagai kelompok masyarakat maupun agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ketika saya mengikuti Pilkada 2017, saya mendapat dukungan dari berbagai unsur masyarakat, lintas agama, lintas etnis, lintas kelompok, lintas profesi," kata Anies, dalam acara "Indonesia Milleninial and Gen-Z Summit 2023" di Spark, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat, 24 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anies, dukungan berbagai kelompok itu tidak ia lihat sebagai orang yang bukan warga Jakarta. Mereka yang memilihnya adalah warga Jakarta yang punya kesempatan sama untuk mendengarkan pandangan calon gubernurnya. "Dan mereka menyampaikan aspirasi kepada calon gubernurnya," tutur dia.
Hal itu sama dengan yang dia jalani sekarang, berjumpa dengan semua kelompok. Baik kelompok agama, profesi, dan etnik apa saja. "Jadi saya menempatkan mereka sebagai warga negara Indonesia yang punya hak sama di depan para calon," tutur Anies.
Dia menjelaskan, saat bertugas sebagai Gubernur DKI Jakarta, kebijakan yang dikeluarkan pada saat itu selalu merujuk pada prinsip keadilan, prinsip kepentingan publik, aturan undang-undang, serta Pancasila. "Bukan kebijakan berdasarkan aspirasi satu-dua kelompok," katanya. "Silakan dicek aja di Jakarta kemarin."
Namun Anies menyampaikan, yang menjadi problem saat ini ada kelompok-kelompok yang tidak diberikan kesempatan sama oleh negara. Kelompok itu dimusuhi, dijauhi. Dia mengatakan seolah kelompok tersebut bukan warga Indonesia dan tidak mempunyai hak sama di republik ini.
"Nah, cara berpikir begitu membuat kita tidak adil. Loh, yang lain-lain diterima, ada satu-dua kelompok tidak pernah diterima. Memangnya bukan warga Indonesia?" tutur dia.
Adapun jika datang permintaan apa pun dari kelompok itu, yang harus ditanyakan apakah yang diminta itu sejalan dengan konstitusi. Anies tidak mendatangkan penjelasannya tentang kelompok itu. "Kalau sejalan, itu kepentingan kita untuk laksanakan," kata dia.
Anies mengatakan, salah satu problem negara ini ketika pemegang kewenangan dari rakyat menutup diri untuk berinteraksi dengan seluruh komponen bangsa. Ada yang hanya mau bertemu dengan orang tertentu. "Nah terus bagaimana kami bisa mengatakan kami adil? Semua warga Jakarta, warga Indonesia berhak," ucap dia.
Menurut dia interaksi yang terjadi dengan kelompok apa pun, bukan berarti harus menyetujui semua pendapat dan pandangannya. Tidak semua yang diaspirasikan itu akan dijalankan. "Ketika bicara kebijakan, maka kebijakan itu harus merujuk pada konstistusi dan harus muncul pada semua pandangan," ucap dia.
Sebelumnya Anies menghadiri Ijtima Ulama di Masjid Az-Zikra, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Sabtu, 18 November lalu. Acara tersebut menjadi forum dukungan kepada pasangan capres-cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar di Pilpres 2024.
Para penyelenggara Ijtima Ulama itu dikaitkan memiliki kedetakan dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia. Anies mengakui pada pertemuan itu terjadi tanda tangan pakta integritas.
"Dan semuanya tentang bagaimana membangun rasa keadilan, bagaimana membangun ketentraman," ucap dia.