Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan Politik Pelayan Ibu

Hasto batal masuk kabinet karena mengikuti perintah Megawati. Menjadi penghubung lobi politik selama pemilihan presiden.

9 Februari 2015 | 00.00 WIB

Jalan Politik Pelayan Ibu
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

KURSI Menteri Sekretaris Negara yang hampir dalam genggaman melayang. Hasto Kristiyanto mengikuti perintah bos partainya, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, untuk tetap menjadi wakil sekretaris jenderal partai.

"Ibu (Megawati) mengatakan jangan ke kabinet semua karena akan berat bagi partai," kata Hasto kepada Tempo di kantor berlantai dua di Jalan Cemara Nomor 19, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu. Di situlah Media Center Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dipimpin Hasto, 49 tahun, selama pemilihan presiden lalu.

Setelah Jokowi memenangi pemilihan, Hasto disebut-sebut bakal masuk kabinet. Presiden Jokowi cocok melihat kinerja Hasto sejak menjadi Sekretaris Tim Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla. Apalagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009-2014 itu juga dekat dengan Megawati. Tapi Mega memutuskan mengirimkan empat politikus partainya kepada Jokowi untuk menjadi menteri, yakni Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, Yasonna Laoly, dan A.A.G.N. Puspayoga.

Mega menunjuk Hasto sebagai pelaksana tugas Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan setelah Tjahjo, yang semula menempati posisi itu, dilantik menjadi Menteri Dalam Negeri pada 27 Oktober tahun lalu.

Karier Hasto di partai dimulai pada 1999, ketika ia menempati kepengurusan di bawah Wakil Sekretaris Jenderal Pramono Anung Wibowo. "Awalnya saya tukang ketik notulen," ujarnya.

Bukan cerita baru bahwa mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini selalu menuruti perintah Mega. Pada 2012, Hasto diputuskan menggantikan Heri Akhmadi di Dewan Perwakilan Rakyat lantaran seniornya itu memiliki masalah kesehatan.

Hasto tentu girang. Surat penugasan dari partai pun sudah ditandatangani. Pelantikan tinggal menunggu waktu. Hasto ternyata harus mengurungkan niatnya karena Mega khawatir terhadap nasib partai kalau Hasto masuk Senayan. "Saya melayani Ibu dengan rasa," tuturnya.

Hasto kembali mendapat penugasan penting dari Mega. Dia bergabung ke Tim 11 yang dibentuk pemikir partai dan pendukung setia Mega, Cornelis Lay, pada April 2013. Tugas tim tersebut adalah menyusun materi Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan III, yang digelar di Ancol, Jakarta Utara, sekaligus membuat kajian mengenai posisi politik partai pada Pemilihan Umum 2014. Tim 11 juga ditugasi melakukan survei calon presiden. Di tengah tim yang didominasi akademikus, Hasto muncul sebagai wakil politikus.

Hasil berbagai survei menunjukkan nama Gubernur Jakarta Jokowi selalu berada di nomor wahid dengan persentase kemenangan melebihi 40 persen dibanding calon-calon lain, termasuk Mega. Dalam penggodokan di lingkup internal muncul dua opsi: Mega atau Jokowi.

Kala itu, mayoritas kader PDI Perjuangan berkeras mengusung trah Sukarno menjadi calon presiden. Hasto menjadi salah satu penyokong militan Mega, pembawa darah sang Proklamator. Tapi, pada medio Maret 2014, Mega memutuskan Jokowi sebagai calon presiden yang akan diusung partainya. Angin politik berubah. Hasto kembali mengikuti titah Mega untuk menyiapkan Jokowi sebagai pemenang.

Pasca-pemilu legislatif adalah masa lobi. Berbekal predikat pemenang pemilu dengan 19 persen suara, PDI Perjuangan berburu calon pendamping Jokowi dan partai-partai yang akan dijadikan kawan koalisi. Menurut bekas anggota Tim 11, Andi Widjajanto, Hasto berperan besar menjajaki calon partner koalisi.

Dia berada di balik pertemuan Jokowi dengan sejumlah tokoh politik, seperti Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, serta Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. "Peran tersebut banyak dijalankan oleh Hasto berbekal pengalaman politiknya," ucap Andi Widjajanto, kini Sekretaris Kabinet Kerja.

Bergabungnya NasDem, PKB, dan Partai Hati Nurani Rakyat bersama PDI Perjuangan sebagai pengusul Jokowi juga tak lepas dari campur tangan Hasto. Dia bahkan menjadi semacam penghubung Mega dengan Jokowi. Hasto kembali mendapat kepercayaan menjaring calon wakil presiden untuk Jokowi.

Bersama Tjahjo dan Andi Widjajanto, Hasto beberapa kali melakukan pertemuan dengan Kalla. Hasto juga aktif menjajaki kemungkinan memasangkan Jokowi dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad, yang memiliki elektabilitas bagus dalam berbagai survei. "Tim Cemara 19 aktif melobi Samad," kata seorang mantan aktivis Cemara 19.

Berdasarkan hitungan elektabilitas dan dukungan partai-partai, Kalla didapuk menjadi calon wakil presiden. Dalam masa kampanye, Hasto lagi-lagi memiliki posisi strategis, yaitu menjadi juru bicara tim kampanye nasional Jokowi-Kalla.

Pada 22 Juli 2014, setelah pidato kemenangan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jokowi mengumpulkan anggota Tim 11 di sebuah rumah di Jalan Situbondo Nomor 10, Menteng, dalam sebuah acara syukuran. Malam itu, Jokowi meminta Rini Soemarno dan Andi menyiapkan sebuah tim transisi untuk memuluskan pergantian pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Jokowi ingin tim tersebut tak gemuk agar lincah bergerak dan efektif. Tiga nama dipilih untuk menanganinya. Mereka adalah Rini, Andi, dan Hasto. Jokowi mengakui memilih Hasto karena Tim Transisi Jokowi-Kalla membutuhkan perwakilan partai yang memahami proses legislasi di parlemen. "Representasi partai itu harus," ujar Jokowi kepada Tempo ketika itu.

Hasto mengetuai Kelompok Kerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang bertugas membuat opsi-opsi APBN Perubahan 2015 yang harus disiapkan pemerintah Presiden Jokowi setelah dilantik. Hasto juga masih berperan sebagai penghubung Mega dengan Jokowi. Dialah satu-satunya petinggi partai yang memiliki akses langsung pada kebijakan yang disiapkan Jokowi.

Setelah pelantikan presiden dan wakil presiden, Tim Transisi bubar. Tapi tidak bagi Hasto. Dia ditugasi Presiden Jokowi membantu menyeleksi menteri. Rini dan Andi juga dilibatkan. "Hanya diminta membantu kontak si A atau si B," kata Hasto. Dia terus melapor kepada Mega soal perkembangan seleksi menteri di Istana. "Saya secara periodik menyampaikan kepada Ibu," ujar Hasto.

Perannya menggalang lobi dengan calon pendamping Jokowi kini menjadi senjata Hasto untuk menyerang Abraham Samad. Mendramatisasi suasana, menggunakan masker penutup wajah dan topi, ia menggelar konferensi pers di Jalan Cemara 19 pada 22 Januari lalu. Dia menuduh hasrat politik Samad menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi dalam pemilihan presiden. Hasto membuka waktu dan isi lobi politik Samad dengan sejumlah politikus PDI Perjuangan, termasuk dirinya. Dia bahkan menuding Samad melanggar kode etik sebagai Ketua KPK karena tergiur untuk berpolitik.

Menurut Hasto, Samad antara lain bertemu dengan mantan Kepala Badan Intelijen Negara Abdullah Makhmud Hendropriyono, yang juga dekat dengan Megawati. Kepada Tempo, Hendropriyono mengaku dulu menyorongkan Samad sebelum akhirnya Jokowi memilih Kalla. Ia menyatakan hanya sekali bertemu empat mata dengan Samad. "Hasto waktu itu memang menelepon mau datang, ternyata tidak jadi," ujarnya.

Manuver Hasto itu dilancarkan di tengah kisruh pemilihan Kepala Kepolisian RI. Calon tunggal usulan Presiden Jokowi, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, ditunda pelantikannya oleh Jokowi walau sudah disetujui DPR. Ajudan presiden pada waktu Megawati berkuasa, 2001-2004, itu terganjal status tersangka kasus korupsi yang disematkan KPK.

Seperti sudah direncanakan matang, sehari setelah Hasto beraksi itu, Markas Besar Kepolisian RI menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Bambang mendadak dijadikan tersangka dengan tuduhan menyuruh orang memberikan kesaksian palsu dalam sidang di Mahkamah Konstitusi pada 2010.

Hasto membantah anggapan bahwa langkah kontroversialnya tersebut merupakan bukti loyalitas kepada Megawati, yang getol mengajukan nama Budi Gunawan kepada Jokowi. Dia bahkan menggeleng jika disebut sebagai pembela Budi Gunawan. "Budi Gunawan salah satu korban KPK," ucapnya.

Ananda Teresia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus