Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AJUN Inspektur Satu Budiono seperti menemukan hidup baru. Ia lolos dari lubang kematian tatkala seorang pelaku teror menembakinya pada Kamis tiga pekan lalu di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Didor dari jarak sangat dekat, peluru menyerempet paru-paru dan melukai ususnya. Budiono hampir meninggal saat garis elektrokardiografi yang semula zigzag tiba-tiba menjadi lurus karena aktivitas jantungnya melemah. Lebih dari tiga hari ia tidak sadarkan diri.
Tragedi teror yang dikenal dengan bom Sarinah itu mengubah hidup Budiono. Setelah melewati fase kritis, ia tak henti-hentinya mengucap syukur. Walau menjadi korban, ada hikmah dan berkah yang didapatnya. Ia memperoleh penghargaan pin emas dan kenaikan pangkat luar biasa dari Kepolisian Republik Indonesia. Juga, "Sekarang saya tidak merokok lagi," kata pria 43 tahun tersebut. "Sebelumnya saya perokok berat."
Detik-detik penembakan Budiono terekam jepretan kamera fotografer Tempo. Adegan itu lantas menjadi sampul majalah ini edisi dua pekan lalu. Penembak Budiono, yang belakangan diketahui bernama Muhammad Ali, tewas di lokasi kejadian.
Rabu pekan lalu, Budiono menerima wartawan Tempo Muhamad Rizki bersama videografer Erdy Kusuma dan fotografer Aditia Noviansyah di rumah dinasnya di Kompleks Polisi Munjul, Cipayung, Jakarta Timur. Roman muka ayah dua anak itu sumringah. Ia banyak menebar senyum sepanjang wawancara lebih dari satu jam itu. Sesekali istrinya, Rina Perdina, ikut menjawab, termasuk membantu mengelap keringat yang mengucur di wajahnya.
Didampingi tim dokter kepolisian, Budiono menceritakan kronologi kejadian saat ia ditembak, dibawa ke rumah sakit, tak sadarkan diri, hingga siuman di rumah sakit. Selain itu, ia berbagi cerita tentang alasannya menjadi polisi, pengalaman, termasuk nasihat ayahnya yang juga polisi.
Bagaimana keadaan Anda sekarang?
Alhamdulillah. Kalau bernapas, atau batuk, sekarang tidak sakit lagi. Kalau ada dahak, saya keluarkan saja. Awal-awal batuknya ada darah, tapi kata dokter, "Enggak apa-apa. Merah itu bukan darah, melainkan sisa operasi yang dikeluarkan lewat dahak." Menurut dokter, itu bagus.
Berapa lama Anda mengalami keadaan itu?
Dua sampai tiga hari.
Seperti apa luka Anda?
Ini dipotong untuk operasi usus, ada 18 jahitan. (Budiono menyibak kemejanya dan menunjukkan bagian perutnya yang diperban memanjang.) Tembakan ada dua: di perut dan di dada. Usus dipotong empat sentimeter, lalu dijahit lagi. Ini hasil operasi paru-paru. (Ia kembali menunjukkan luka yang ada di dadanya.) Paru-paru saya dijahit sedikit karena keserempet peluru. Seharusnya jahitannya langsung jadi daging. Kemarin ada cairan yang menetes dari dalam, jadi dijahit lagi. Makanya ini masih ditutup. Yang merembes itu obat, bukan darah. Kata dokter, tidak apa-apa, justru itu artinya obat sedang bekerja.
Kenapa ada tiga bekas peluru? Bukannya dua?
Saya merasa ditembak dua kali, tapi ternyata tiga. Di punggung tempat keluarnya peluru ada tiga lubang. Saya juga bingung. Beruntung tidak ada yang bersarang. Saat ditembak, saya masih bilang syukur karena pelurunya tembus. Kalau bersarang, mungkin ada efek lain yang lebih berbahaya.
Bisa Anda ceritakan kronologi kejadian Kamis, 14 Januari 2016, itu?
Waktu itu saya sedang menjadi cadangan. Cadangan itu maksudnya kalau ada unjuk rasa, kami antisipasi saja. Saya piket 24 jam di komando Kantor Polres Jakarta Pusat. Saya sedang siaga dan berjaga di Balai Kota DKI Jakarta karena mendengar informasi akan ada demonstrasi. Saya menunggu di sana bersama pasukan. Saya mendengar di handy talky, pos polisi Sarinah dibom. Didorong naluri sebagai provost, saya mengecek. Tidak ada maksud apa-apa. Pokoknya cek tempat kejadian perkara.
Inisatif muncul setelah mendengar kabar itu?
Iya, naluri saya muncul karena saya petugas provost. Itu wilayah saya. Biarpun itu pos lalu lintas Kepolisian Daerah Metro Jakarta, Sarinah wilayah Jakarta Pusat, di bawah Kepolisian Sektor Menteng. Saya ke sana naik motor Vario. Saya berpikir situasinya sudah kondusif karena ledakan sudah lewat. Saya melihat ada mobil Kepala Biro Operasi Polres Jakarta Pusat. Ternyata pelakunya masih ada di tengah banyak orang. Mungkin, karena ketidaksiapan, saya langsung buru-buru ke tengah. Niat saya cuma mau lihat situasi. Saya baru menyandarkan motor, pelaku memutari mobil hitam itu, menemui saya, langsung dor-dor!
Anda belum sempat menyadari situasi ketika itu?
Iya. Saya masih mengamati dan mencari-cari di mana pelaku. Sebab, katanya pelaku menyamar sebagai anggota intel. Jadi bingung. Apalagi dia pakai topi dan tas selempang. Saya belum tahu yang mana pelaku dan yang mana teman. Tahu-tahu saya ditembak. Untungnya senjata saya tidak diambil. Dia pergi dan saya langsung menghindar. Saya berjalan sampai depan Hotel Sari Pan Pacific, bersandar di depan itu.
Anda juga punya pistol. Apakah itu berpeluru?
Iya, itu berpeluru. Ada di pinggang kanan saya. Ada peluru cadangan juga di sarungnya. Itu sangat berpotensi diambil. Saya langsung ke pinggir karena berpikir kalau-kalau ada teman dia yang lain. Sebenarnya, kalau dia mau menghabisi saya, bisa. Sebab, saya memang belum mencabut senjata. Saya baru menyandarkan motor, sementara pelaku sudah menenteng senjata.
Setelah ditembak, Anda tidak langsung jatuh....
Saya tahan (Budiono memperagakan dan menyuarakan adegan mengejan.) Rasanya panas. Saya juga tidak tahu siapa lagi teman pelaku ini.
Ada pria berbaju kuning yang menolong Anda. Siapa dia?
Mungkin masyarakat. Dia bilang, "Pak, Bapak duduk saja. Bapak ketembak." Ada satpam juga yang menolong. Dikasih tahu di lurusan saya itu katanya pelaku sedang meracik lagi. Saya tidak tahu karena saya udah bersandar lemas.
Ketika ditembak, Anda sempat beradu pandang dengan pelaku?
Tidak. Dia tanpa mimik, tanpa ekspresi, dan tidak melihat mata saya. Saya masih pakai helm, kunci masih menempel di motor. Sehabis menembak, dia jalan saja. Ketika dibantu masyarakat, helm saya belum lepas.
Apa yang terjadi hingga Anda dikenali dan dibantu oleh polisi lain?
Ketika itu mobil Kepala Polres Jakarta Pusat lewat. Kepala Polres Komisaris Besar Hendro Pandowo mengenali saya. "Itu Budi. Bawa!" katanya. Masyarakat juga teriak-teriak memberi tahu, "Pak, ini ada polisi ketembak!" Saya langsung dibawa naik mobil Kepala Polres. Sebenarnya saya mau mengawal dia. Enggak tahunya pimpinan saya belum datang ke situ. Mungkin, kalau pimpinan saya yang datang duluan, yang diberondong mobil pimpinan saya itu. Kepala Polres sempat bilang, "Wah, kamu kok duluan sampai?"
Selanjutnya apa yang terjadi?
Saya merasa sakit banget. Saya lalu digotong dan dinaikkan ke mobil Kepala Polres. Beliau bilang, "Senjata saya amankan, Bud." Saya dipangku Kepala Polres dan disuruh istigfar. Posisinya di kursi tengah, Kepala Polres memeluk saya dari belakang sambil menekan luka. Di kursi depan ada sopir dan ajudan. Saya dibawa ke Rumah Sakit Budi Kemuliaan. Di situ pindah ke ambulans dan dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.
Anda pingsan selama dalam perjalanan itu?
Saya masih sadar. Sampai RS Budi Kemuliaan masih sadar. Sewaktu dimasukkan ke ambulans juga sadar. Mulai berat ketika di dalam ambulans. Saya sudah tidak kuat memegang luka saya. Tapi sudah ada suster atau dokter di dalam. Saya sempat minta agar kepala saya ditegakkan, tapi dilarang karena nanti memperparah perdarahan. Saya sudah tidak kuat. Rasanya panas. Saya sampai berontak memegang rak di dalam ambulans.
Sampai RSPAD, saya masih sadar. Masih melihat dan mendengar dokter menyiapkan segalanya. Kata dokter, "Pak Budi, saya robek ya baju dinasnya?" Saya bilang, "Robek saja, Ndan!" Itu saya masih sadar. Saya sudah tidak kuat lagi dengan luka itu. Nah, mulai masuk lift untuk menuju ruang operasi, saya mulai tidak sadar. Selesai di situ.
Lalu kapan Anda sadar?
Awalnya hari Minggu, 17 Januari 2016. Saya masih kriyep-kriyep. Saya sadar berada di rumah sakit, tapi masih berat. Hari Senin itu baru terasa terang. Ketemu istri, saya tanya, "Ma, berapa hari saya tidur di sini?" Saya tahu saya tertembak. Saya ingin menceritakan semuanya, dari A sampai Z, tapi dokter menyarankan jangan bicara dulu. Ngomong seperlunya dan gerakkan tangan saja dulu.
Apa yang Anda rasakan saat itu?
Saya bersyukur. Tapi yang membuat saya senang sekali adalah saya bisa melihat istri saya lagi. Alhamdulillah, ada bidadari saya. Itu semangat saya. Juga dokter perempuan hamil yang melepas slang infus itu. Dokter dan istri saya adalah dua bidadari paling cantik di dunia. Itu refleks (pertama) saya, ha-ha-ha....
Kapan pertama kali bercerita ke istri?
Senin juga sudah cerita.
Anda mengikuti perkembangan berita dari televisi di situ?
Di ruang ICU tidak ada televisi. Saya di ICU sampai Selasa, baru setelah itu dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Saya tidak pernah mencari-cari berita. Istri saya mungkin yang mencari. Hari Senin, ketika saya sadar, ada yang membesuk, yaitu istri-istri pimpinan kepolisian. Ada istri Kepala Polri, Wakil Kepala Polri, Kepala Polda Metro Jaya, Wakil Kepala Polda, dan Kepala Polres. Mereka bertemu dengan keluarga saya, termasuk dua anak saya. Mereka memberi support. Sebelum saya siuman, kata istri saya, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti dan Kepala Polda Inspektur Jenderal Tito Karnavian juga datang. Bahkan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pun datang. Kepala Polres Jakarta Pusat sering membesuk saya.
Kapan pulang ke rumah?
Saya pulang tanggal 25 Januari 2016. Alhamdulillah, rasanya luar biasa. Allah masih sayang saya. Mungkin orang se-Indonesia mendoakan saya. Ini hasil doa orang banyak, dari kesatuan saya, teman-teman saya, dan lainnya.
Setelah itu, ada rasa trauma, misalnya rasa waswas ketika terbangun?
Sejak saya di rumah sakit, tidur ya tidur saja. Makan juga makan biasa saja, tidak ada pantangan.
Anda masih akan pergi ke daerah Sarinah?
Mau saja. Saya biasa saja. Itu wilayah kekuasaan saya juga; Sarinah, Bundaran HI (Hotel Indonesia). Biasa saja.
Bagaimana reaksi anak-anak Anda ketika tahu Anda ditembak pelaku?
Anak saya dua-duanya menangis. Mereka semakin mendekatkan diri sama Yang di Atas. Mereka mendoakan bapaknya cepat sembuh.
Anda sudah melihat foto-foto kejadian?
Iya, sudah. Ada yang mengirimi saya lewat telepon seluler.
Foto Anda ditembak dijadikan sampul majalah Tempo....
Iya, yang di samping mobil itu, kan? Banyak yang mengirim itu ke telepon seluler saya, tapi saya merasa biasa-biasa saja. Bahkan, sehabis operasi, dokter memperlihatkan gambar-gambar operasinya. Dari saya tidur sampai usus dipotong, termasuk lukanya. Saat ditanya trauma atau tidak, saya jawab, "Enggak, Dok, biasa saja." Saya jadi tahu luka saya di mana.
Anda dendam terhadap pelaku teror?
Enggak.
Anda siap kembali bekerja?
Siap. Saya tergantung pimpinan. Kalau dinas biasa, saya siap. Mau dipindahkan menjadi staf juga saya siap. Saya ini prajurit.
Berapa lama Anda diberi waktu untuk beristirahat?
Kantor meminta saya mengikuti rujukan rumah sakit. Tidak terbatas, sampai pulih saja. Hari Senin, 1 Februari 2016, masih konsultasi lagi di RSPAD Gatot Soebroto. Saya rencana ke sana untuk buka jahitan.
Sebelumnya seperti apa aktivitas Anda sehari-hari?
Saya bangun untuk salat subuh. Kalau dari sini berangkat jam 06.00 sudah terlalu macet. Sehabis subuh, pukul 05.15, saya sudah berangkat. Di kantor apel jam 07.00. Aktivitas sebagai provost, tergantung arahan pimpinan. Misalnya ke pos polisi, mengecek tahanan kepolisian sektor, dan lainnya. Kalau ada kunjungan pejabat, TNI, Polri, kami harus ada.
Anda punya hobi?
Sehabis pulang piket, istirahat. Bangun sore, anak paling mengajak makan bersama yang dekat-dekat sini. Yang murah meriah, misalnya seafood pinggir jalan. Saya kalau sudah di rumah malas ke mana-mana.
Apa saja kegiatan Anda kalau libur?
Ya, lihat kondisi keuangan dulu. Kalau ada duit, ajak anak-anak jalan-jalan. Kalau tidak, paling di rumah saja atau ke rumah mbah. Rumah mertua saya di Cimanggis. Kami naik motor bonceng-boncengan. Mamanya bawa satu, saya bawa satu. Tidak mungkin satu motor berempat.
Anda tidak memiliki mobil?
Tidak. Kalau yang itu mobil kakak saya (Budiono menunjuk mobil Kijang tua yang rongsok dengan ban terkelupas).
Sewaktu kecil, cita-cita Anda menjadi polisi?
Memang itu cita-cita saya dari kecil. Saya ingin menggantikan orang tua yang dulu anggota Brimob (Brigade Mobil) dengan pangkat terakhir kapten. Orang tua saya pensiun pada 1992 dan saya masuk pendidikan 1993.
Apa motivasi Anda jadi polisi?
Saya melihat sosok orang tua saya saja. Pakai seragam kesannya gagah. Gagah dalam melayani dan mengayomi. Dulu kan namanya bukan Brimob, tapi Mobrig atau Mobile Brigade.
Seperti apa pesan ayah Anda sebagai polisi?
Jadilah polisi yang baik. Jangan sekali-kali menyakiti hati rakyat, jadi polisi apa adanya. Lihat ke bawah, jangan lihat ke atas. Kalau lihat ke atas itu lihatlah Tuhan kamu. Saya ikuti pesan orang tua saya begitu. Saya sampai sekarang menjalaninya.
Dua anak Anda akan jadi polisi juga?
Tidak tahu, ha-ha-ha.... Yang perempuan lagi sekolah di madrasah tsanawiyah kelas III. Anak laki-laki kelas III SD.
Bagaimana pengalaman Anda awal-awal menjadi polisi?
Saya ditugasi di Pengaturan Lalu Lintas Polda Metro Jaya sekitar setahun. Setelah itu saya ditempatkan di Polres Jakarta Pusat tahun 1995 sebagai anggota Kesatuan Sabhara (Samapta Bhayangkara) atau Dalmas (Pengendalian Massa). Senjata saya tameng dan tongkat. Tugas saya misalnya menjaga pengadilan. Ketika itu demonstrasi tidak sebanyak sekarang. Sewaktu pecah kerusuhan 27 Juli, saya bertugas. Pasukan ketika itu harus siap. Karena genting, tidak boleh pulang. Makan-tidur di kantor.
Setelah itu ada pengalaman berkesan lain?
Kerusuhan Mei 1998, saya ada di Kantor Polres. Sebulan tidak pulang. Orang rumah datang hanya untuk mengantar pakaian dalam. Waktu itu harus standby terus di kantor. Hingga akhirnya tahun 2000 saya digeser menjadi anggota provost sampai sekarang.
Selama jadi polisi, Anda pernah menembak orang?
Tidak pernah. Yang pernah cuma tembakan peringatan, waktu itu untuk membubarkan tawuran. Itu tembakan antisipasi agar orang-orang mundur, jadi tembakannya tidak diarahkan ke orang. Saya menembak dua kali ke udara. Suara letusannya memang membuat orang mundur. Setelah itu saya masukkan lagi ke kantong.
Ada kasus menarik yang Anda tangani selama jadi provost?
Ada anggota polisi yang karena jarang pulang akan digugat cerai istrinya. Saya menjadi mediator menengahi mereka karena istri melapor ke provost. Lalu saya datangi si polisi, saya bilang, "Coba pikirkan lagi. Jangan sampai pisah." Hal-hal seperti itu jadi urusan provost. Saya bangga karena mereka tidak pisah dan akur lagi.
Anda pernah terima amplop?
Enggak. Saya itu provost, polisinya polisi. Saya cuma berhadapan dengan polisi, tidak ketemu orang luar.
Pendapat Anda tentang polisi dengan rekening gendut?
Saya bukan yang seperti itu. Saya bersyukur (tersenyum).
Ajun Inspektur Satu Budiono bin Soetoer Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 15 Desember 1972 Istri dan anak: Rina Perdina, 2 anak Pendidikan: l SMA Respati Jakarta Timur | Bintara lulusan Sekolah Polisi Negara (1994) Karier: Anggota Provost Kepolisian Resor Jakarta Pusat (2000-sekarang) | Anggota Sabhara Polres Jakarta Pusat (1995-2000) | Anggota Polisi Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya (1994-1995) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo