Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dicegat Serangan Keempat

Ali pecandu rokok dan kopi. Ia juga pecandu kerja. Sayangnya, semua itu tak dibarengi dengan olahraga teratur.

14 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selasa, 15 Mei 1984. Sore yang deras oleh hujan.

Lucky Ali Moerfiqin, putra kedua Ali Moertopo, ingat betul peristiwa yang terjadi pada hari itu. Ia sedang berada di rumah pacarnya di kawa­san Kebayoran. Dia ditelepon, diberi tahu bahwa ayahnya terkena serangan jantung. "Saya diminta segera ke kantornya," kata ­Lucky mengenang kembali detik-detik sore itu.

Ia pun segera melaju ke kantor Dewan Pers di Jalan Kebon Sirih. Banjir besar di Jalan Sabang membuat Jalan Kebon Sirih ditutup. "Sedan sudah ketutup air tinggi," ujarnya. Tapi Lucky berkeras menerjang banjir. Begitu sampai di gedung Dewan Pers, ia diberi tahu bahwa bapaknya sudah diantar pulang. Lucky pun curiga. "Orang sakit kenapa dibawa pulang, tidak ke rumah sakit?"

Setiba di rumahnya di Jalan Matraman 18, kini menjadi restoran Ampera dan Soto Sadi milik keluarga Lucky, ia melihat mobil jenazah. Bapaknya telah wafat. "Kami tidak menyangka. Kan, sudah operasi bypass," kata Lucky, yang saat itu berusia 20 tahun. Apalagi pagi itu ia masih mengantarkan sang bapak dengan mobil sambil berbincang. Lucky tak melihat tanda-tanda penyakit bapaknya kambuh.

Serangan jantung pada sore itu memang bukan yang pertama kali. Ali Moertopo, yang saat itu menjabat Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), sebelumnya telah mendapatkan tiga serangan.

Serangan pertama terjadi pada 1978 saat Ali sedang di Kuala Lumpur, di masa pemilihan umum. Menurut Jusuf Wanandi dalam buku Shades of Grey, A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998, pagi itu Ali direncanakan menemui para pendukung temannya, Menteri Dalam Negeri Malaysia Ghazali Shafie, di Pahang. Tapi, sekitar pukul empat pagi, ia terkena serangan jantung.

Pada 1978 itu, Lucky masih duduk di Sekolah Menengah Pertama 1, Cikini, Jakarta. Dia dijemput dari sekolah ketika bapaknya terkena serangan jantung. Bersama ibu dan kakaknya, Harris Ali Moerfi, Lucky terbang ke Kuala Lumpur dengan pesawat khusus. Anggota keluarga besar lainnya menyusul.

Selama sekitar enam pekan Ali dirawat di Kuala Lumpur, banyak orang dari Jakarta menengoknya. "Ibu Tien (Siti Hartinah) datang, dikirim Pak Harto," ucap Ali Moersalam, adik Ali Moertopo yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi ABRI selama lima periode.

Menurut Ali Moersalam, Siti Hartinah membawa surat dari suaminya yang dimasukkan ke amplop tanpa alamat. "Saya ditunjuki surat itu," katanya.

Ali Moersalam ingat ada sejumlah poin isi surat yang menggunakan bahasa campuran Indonesia dan Jawa. Tapi hanya beberapa yang ia ingat isinya, di antaranya mendoakan Ali segera sembuh sehingga bisa segera pulang. Ali juga diberi tahu bahwa di Jakarta sedang terjadi gegeran, jenderal-jenderal sudah ikut-ikutan. Kalau ia tidak menengahi, bisa jadi malapetaka.

Begitu sembuh, Ali Moertopo diingatkan dokter agar berhenti merokok. Ali memang dikenal sebagai perokok berat, selain peminum kopi. Setiap hari, asbaknya yang sebesar piring selalu penuh puntung rokok. Di meja kerja dan meja tamu di rumahnya memang selalu tersedia kaleng rokok yang diberikan oleh orang secara rutin. "Bapak merokok Gudang Garam," ujar Lucky. Tapi, setelah mendapat peringatan dokter, Ali berhenti merokok.

Menurut Joseph Halim, dokter dari Operasi Khusus yang kerap mengikuti Ali Moertopo bertugas ke luar negeri, kalau Ali sedang pergi, tasnya bukan penuh pakaian, melainkan rokok. Saat bertugas ke New York, ia memberikan tip rokok kepada pegawai hotel. Ali memang tak pernah membawa uang. Halimlah yang selalu menyiapkannya. Mereka pernah janjian sarapan bersama. "Sialnya ada perubahan jam," kata Halim. Ia pun datang terlambat dan Ali sudah makan. Saat memesan makanan, Halim baru sadar tak membawa uang. Gudang Garam-lah penggantinya, tapi ditolak oleh pegawai hotel.

Yang membuat kondisi Ali semakin buruk, selain kecanduan rokok dan kopi, ia tak lagi berolahraga. Padahal dia gila kerja. Jenderal TNI Purnawirawan Agum Gumelar, yang pernah menjadi ajudannya, mengisahkan, setiap malam, Ali selalu meletakkan setumpuk dokumen sekitar pukul delapan. Pada pukul enam pagi, semua dokumen sudah penuh coretan dan disposisi. Padahal hampir setiap malam Ali bertemu dengan orang-orang. Kerap pertemuan itu berakhir hingga pukul dua pagi. "Gila, dia tidur jam berapa," ucap Agum saat itu.

Lucky pun mengaku tidak tahu jam berapa bapaknya tidur. Setiap malam, jika sedang di rumah, bapaknya yang gemar membaca itu masuk ruang kerja. Selain mengurusi pekerjaan, ia selalu membaca buku. "Kalau bahasa Inggris, dia membaca dengan dilafalkan," kata Lucky.

Dua tahun kemudian, 14 Juli 1980, serangan kedua terjadi. Saat itu, ia terjatuh di atas tangga kantor Departemen Penerangan.

Ali lantas dibujuk untuk ke Amerika Serikat buat melihat kemungkinan operasi bypass. Perjalanan ini juga direncanakan untuk mengecek matanya yang sensitif dengan sinar, yang membuatnya kerap mengenakan kacamata gelap bahkan di ruangan tertutup.

Dalam bukunya, Jusuf mengisahkan, rombongan Ali Moertopo mengunjungi Cleveland, Ohio, untuk melakukan pengecekan jantung. Pada saat prosedur operasi dijelaskan oleh tim dokter, Ali bertanya, "Setelah bypass, apakah saya bisa melakukan semuanya yang biasa saya lakukan sebelumnya?" Dokter menjawab tegas: tidak.

Ali pun mengatakan, "Lalu kenapa saya harus melakukan ini?" Ia kemudian menutup obrolan, "Mari kita pulang."

Jusuf Wanandi langsung pulang ke Jakarta, sementara Ali dan keluarga meneruskan perjalanan ke New York dan Los Angeles. Saat ia di Los Angeles, serangan ketiga terjadi. Tak ada lagi negosiasi, Ali harus dioperasi. Ia pun diterbangkan ke Houston, Texas. Ia kembali selamat setelah serangan jantung ketiga.

Meski demikian, rupanya keluarga sudah "dipersiapkan" untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Sebelum ke Amerika, keluarga dikumpulkan dan membicarakan soal pengobatan yang mengandung risiko ini.

Harris Ali Moerfi (almarhum), dalam buku Ali Moertopo 1924-1984, mengungkapkan pesan bapaknya pada suatu hari setelah serangan kedua, "Ris, bagaimanapun, kamu anak sulung. Prepare for the worst."

Mungkin pesan untuk putranya itu sekaligus untuk dirinya sendiri. Ali menyerah pada serangan keempat, yang terjadi pada 15 Mei 1978. Saat itu, ia sendirian di ruang kerjanya. "Ketika jatuh sempat terbentur di meja ini, dan kemudian ke sofa itu," tutur Lucky sambil menunjuk meja dan sofa tanpa sandaran yang berada di Ruang Ali Moertopo di Centre for Strategic and International Studies, pekan ketiga September lalu. Kali ini Ali benar-benar pergi.

Seperti diberitakan Harian Merdeka pada 17 Mei 1984, anggota DPA, Barlianta Harahap, mengatakan Ali Moertopo masih hadir pada rapat panitia kecil Komisi Pertahanan dan Keamanan DPA, yang berakhir sekitar pukul 12.30. Sebelum itu, Ali berbincang dengannya tentang ceramah yang akan diberikan kepada peserta penataran Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila serta kepemimpinan Pemuda Muslimin Indonesia di Ciawi, Bogor. Ali dijadwalkan berbicara pada Rabu.

Tapi Ali Moertopo tak sempat membacakan makalahnya. Ia dikubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer. Ia pergi seperti keinginannya. "Bapak pernah bilang ingin mati sewaktu bekerja, karena itu seperti tentara mati waktu perang," kata Harris kepada wartawan tentang kepergian bapaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus