Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALI Moertopo rapi sore itu. Maklum, ia ngapel ke rumah pujaan hatinya, Wastoeti, di Klirong, Kebumen. Tak disangka, Ali malah ketiban malu. Saat di kakus, ia kejebur ke tempat pembuangan. Tak bisa menghilangkan bau tak sedap, ia pun pamit pulang. "Ia minta ini dirahasiakan. Ibu (Wastoeti) pun tidak tahu cerita ini," kata adik Ali Moertopo, Ali Moersalam, September lalu.
Namun kejadian itu tak menyurutkan langkah Ali meminang Wastoeti, yang lahir pada 6 Juni 1929. Keduanya menikah pada 25 Mei 1956 di rumah kakak Wastoeti, Karsono, di Jalan Jetis, Yogyakarta. Dua anak lahir dari pasangan ini: Harris Ali Moerfi (lahir pada 1959 dan meninggal pada 2010, dua tahun setelah Wastoeti) dan Lucky Ali Moerfiqin (lahir pada 1963).
Wastoeti sebenarnya bukan perempuan pertama di hati Ali. "Mas Mangkyo," demikian Moersalam menyebut abangnya, "orangnya gagah. Dia sangat populer." Saat di Pekalongan, hati Ali tertambat pada Sutriyah, putri tunggal pengusaha batik di sana. Sayang, hubungan keduanya kandas lantaran ayah Sutriyah emoh putrinya dipersunting Ali yang tentara, yang bisa saja ditugasi ke berbagai daerah.
Tak berhasil dengan Sutriyah, Ali kembali tenggelam dalam tugasnya sebagai kapten di Banteng Raiders di Slawi, Tegal. Sesekali, dengan mengendarai jip, ia bertandang ke kos-kosan adik-adiknya, Pranti Sayekti (anak kelima), Estri Utami (anak keenam), dan Ali Moersalam (anak ketujuh), di Jalan Mahameru 8, Yogyakarta. Pranti, Estri, dan Wastoeti, yang bersahabat, sama-sama mengajar di Sekolah Dasar Netral Yogyakarta.
Estri-lah yang punya ide menjodohkan Ali dengan Wastoeti. Ia merayu sang kakak untuk meminang karibnya. Apalagi Wastoeti yang anak keluarga berada dan lulusan HIS itu jago berbahasa Belanda. Wastoeti pun dibujuk. "Saya bilang ke Wastoeti, kamu itu cocoknya jadi mbakyuku saja," ujar Estri, mengingat omongannya kepada Wastoeti pada waktu itu.
Wastoeti, yang pintar dan luwes, memang kemudian membetot perhatian Ali. Apalagi perempuan keturunan Prabu Amangkurat I itu manis dan atletis. Maklum, selain menjadi guru, Wastoeti seorang atlet yang jago di atletik, terutama lempar lembing. Ia dua kali mewakili Jawa Tengah dalam Pekan Olahraga Nasional I dan II pada 1948 dan 1951.
Tak sampai enam bulan pendekatan, keduanya menikah. Wastoeti langsung diboyong ke Slawi, tempat Ali bertugas di Batalion Banteng Raiders. Menurut Moersalam, Ali bukan tipe pria romantis. Bahkan saat apel ke rumah Wastoeti pun Ali lebih sering ditemani Moersalam, Estri, dan Pranti. "Pacarannya biasa saja. Enggak ada gandengan dan rangkulan," kata Moersalam.
Dalam buku Ali Moertopo 1924-1984, Wastoeti mengatakan sejak awal memang sudah siap dengan konsekuensi menjadi istri tentara. "Ibu seperti perempuan Jawa pada umumnya yang nrimo dan perhatian sekali pada kebutuhan-kebutuhan kecil suaminya," ujar Lucky saat ditemui pada September lalu. Wastoeti selalu membuatkan teh nasgitel (panas, legi, kentel) atau kopi saat Ali yang suka membaca ini menghabiskan waktu di ruang kerjanya hingga larut. Juga makanan favorit Ali: ikan goreng dan sambal terasi.
Ali pun bukan orang yang suka bercanda. Meski demikian, oleh keluarga, Ali dikenal sebagai sosok penyayang. Pernah setelah memperbaiki sepeda yang rusak di Blora, Ali mengajak adik-adiknya mencobanya dengan mengendarai hingga Mantingan. Adik bungsunya, Ali Slamet, duduk di setang sepeda yang diberi bantalan. Ali di sadel serta adiknya yang lain, Ali Wahono dan Moersalam, duduk di boncengan. Kalau menanjak, Moersalam turun dan mendorong sepeda. Jarak 15 kilometer itu ditempuh selama empat jam, bolak-balik. Bahkan ketika adik-adiknya sudah berkeluarga pun Ali masih terus membantu. Estri-lah yang biasanya bertugas sebagai pengurus bantuan Ali untuk saudara-saudaranya.
MENURUT sanak kerabatnya, Ali selalu berusaha meluangkan waktu bersama famili. Makan bareng kerap dilakukan ketika Ali di rumah, terutama saat sarapan. Acara makan ini pun menjadi ajang ngobrol. Anak-anak ditanya soal pelajaran, perlu atau tidak les, dan lain-lain. Selain itu, main pingpong bareng anak-anak menjadi kebiasaan saat Ali di rumah.
Ali juga sering memboyong keluarga kecilnya saat berdinas ke luar kota ataupun luar negeri. Namun, karena kesibukan, ia tak sempat menemani istri dan kedua putranya jalan-jalan. Sebagai gantinya, Ali biasanya meminta anak buahnya menemani istri dan kedua anaknya. "Kami tinggal tunjuk kalau pingin ini-itu," ucap Lucky.
Lucky ingat saat dia dan Harris masih kecil. Sang ayah suka mendongeng kisah wayang, terutama soal Petruk dan Gareng. Dongeng yang dituturkan Ali dalam bahasa Jawa umumnya berujar soal ilmu. Kepada kedua putranya, Ali selalu menekankan pentingnya pendidikan.
Lucky mengenang bagaimana dia diomeli saat SMA karena berbisnis kecil-kecilan. "Kata Bapak, tugas seorang anak bukanlah mencari duit, melainkan belajar. Ilmu itu lebih penting daripada materi," ujar lulusan S-2 Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya itu. Ali dipandang Lucky bukan ayah pengekang. Saat muda, Lucky tak mendapat masalah beberapa kali sepekan bersenang-senang di diskotek terkenal pada masa itu, yang berada di Hotel Sahid. Pulang pagi pun tak jadi masalah asalkan tak melanggar aturan.
Cobaan dialami saat Harris menjadi tersangka penembakan Rudy Chaidir, 21 tahun, yang menyebabkan kematiannya dalam sebuah perkelahian, tak jauh dari sekolah Harris di SMA Negeri 4, Gambir. Menurut Lucky, siang itu Harris, yang sedang dalam perjalanan pulang bersama sahabatnya, Dody Aminos, dan ajudan, dicegat 10 anak Siliwangi Boys Club-geng dari asrama Angkatan Darat di Jalan Siliwangi. Sedangkan Harris tinggal di Matraman, yang terkenal dengan Geng Berlan. Kedua geng ini memang kerap berseteru.
Saat itu, ajudan terdesak, sementara Harris juga luka kupingnya akibat disabet botol pecah. Harris mengambil pistol ajudan dan menembak. Kembali dari luar negeri dan mendengar insiden ini, menurut Lucky, bapaknya langsung menyambangi asrama Siliwangi dan marah-marah. Menurut Lucky, akhirnya Harris kena hukuman percobaan.
Tapi menjadi putra Ali Moertopo, bagi Lucky, tak lantas membuat dia dan Harris memperoleh segepok kemudahan. Ketika tak lolos masuk Universitas Indonesia, misalnya, Lucky tak berusaha memanfaatkan bapaknya, dan mendaftar ke Universitas Trisakti. "Bonus" menjadi anak Ali yang dikenang Lucky adalah saat ia dan Harris sunatan. "Saat sunat, kakak saya mendapat hadiah mobil dan saya mendapat motor Honda kecil. Enggak tahu dari siapa."
Satu pelajaran yang ditanamkan betul oleh bapaknya, menurut Lucky, semuanya harus dilakukan sendiri dan dari bawah. Ali tak pernah memaksa Harris dan Lucky mengikuti jejaknya di bidang politik. "Kamu boleh masuk organisasi politik, tapi mesti dari bawah," ujar Ali seperti ditirukan Lucky.
Harris dan Lucky lalu aktif di Komite Nasional Pemuda Indonesia di tingkat kecamatan. Harris kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat selama tiga periode. Sedangkan Lucky kini duduk di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Partai Golkar. Untuk Pemilihan Umum 2014, Komisaris Masima Corporation ini juga calon legislator untuk daerah pemilihan X Jawa Tengah, yakni Batang, Pemalang, serta Kabupaten dan Kota Pekalongan. "Bapak kan pendirinya, maka saya mengabdi di sini," kata Lucky.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo