Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Sampai kemarin, draf final dari Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disahkan DPR RI pada Senin, 5 Oktober 2020 belum juga diterbitkan.
Namun, aksi penolakan terhadap Undang-Undang sapu jagat itu di seluruh kota begitu besar, bahkan berujung anarkisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Rektor Universitas Pertahanan Profesor Syarifuddin Tippe menjelaskan alasan Omnibus Law langsung dapat penolakan besar dari masyarakat, walaupun draf finalnya belum ada yang menerbitkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Letupan dan penolakan Undang-Undang Cipta kerja atau Omnibus Law wajar terjadi karena proses awalnya yang kurang massif dalam hal sosialisasi," ujar Syarifuddin saat dihubungi Tempo, Ahad, 11 Oktober 2020.
Selain kurangnya sosialisasi kepada masyarakat, pengesahan Undang-Undang tengah berkonsentrasi menghadapi pandemi Covid-19. Situasi ini bukan hal ideal bagi DPR menerbitkan aturan hukum baru yang kontroversial tersebut.
“Setiap undang-undang yang dibuat, pasti ada pihak yang kontra, itulah pentingnya dialog dan menyikapi semua isu di media sosial dengan arif dan bijak,” kata dia.
Lebih lanjut, Syarifuddin menyayangkan pidato Presiden Joko Widodo yang baru muncul setelah kerusuhan terjadi di Jakarta dan sejumlah kota.
Padahal, menurut dia, jika Jokowi muncul memberikan keterangan di masyarakat sebelum kerusuhan terjadi, masyarakat mungkin dapat memahami alasan pentingnya Omnibus Law diterbitkan dan kerusuhan dapat terhindarkan.
Guru Besar Manajemen Stratejik Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Negeri Jakarta itu meminta pemerintah menjadikan kejadian ini sebagai momen evaluasi. Ia menyarankan saat akan mengeluarkan kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak, pemerintah harus selalu merangkul berbagai pihak secara komprehesif dan memperhatikan faktor sejarah buruh dengan baik.
Sebelumnya, aksi besar penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja terjadi di Jakarta dan sejumlah daerah pada 5 - 8 Oktober 2020. Aksi tersebut berakhir rusuh dan bentrok antara massa dengan pihak polisi dan TNI. Total 36 polisi dan 30 pendemo dirawat di rumah sakit.
Selain mengakibatkan korban luka dari kedua pihak, kerusuhan juga membuat sejumlah fasilitas umum rusak. Di Jakarta, ada 9 pos polisi rusak berat dan 9 lainnya dibakar. Total kerusakan fasilitas umum milik Pemprov DKI yang rusak juga besar. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan dibutuhkan Rp 55 miliar untuk perbaikan seluruh fasilitas yang dirusak massa.
Saat ini polisi telah menetapkan 47 tersangka dalam kasus kerusuhan itu, dengan 14 di antaranya ditahan karena ancaman hukuman di atas 5 tahun.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus Yusri menerangkan ke-14 tersangka yang ditahan itu dikenakan Pasal 170 KUHP tentang menyerang petugas dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun. Mereka terbukti melakukan pengeroyokan terhadap aparat kepolsian.