Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan Berliku Menuju Hidup Minimalis

Sejumlah anak muda memilih gaya hidup minimalis untuk diterapkan dalam keseharian. Bisa berhemat dan tak mudah stres.

2 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi hidu minimalis. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Istiany Tribunda tak lagi takut ketinggalan sebuah tren.

  • Lailatul Izzah sejak remaja biasa menyortir barang-barang milik orang tuanya yang menumpuk.

  • Maurilla Sophianti Imron memulai proses hidup menimalis ketika tinggal di luar negeri.

Perasaan Istiany Tribunda seketika lega melihat kamar kosnya tak lagi dipenuhi barang-barang dari mantan kekasih. Pada 2018, perempuan asal Surabaya ini putus cinta setelah menjalin kasih selama lima tahun. Niat ingin melupakan sang mantan ia salurkan dengan memilah dan membuang barang-barang perintilan yang sentimental.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melihat perubahan pada Isti, seorang temannya lantas memperkenalkan sebuah gaya hidup di mana penganutnya bisa selalu merasa cukup atas apa yang dimiliki. Belakangan, Isti baru tahu bahwa gaya hidup yang dimaksudkan itu adalah minimalis. Pintu masuk memulai gaya hidup ini adalah melakukan decluttering atau menyortir barang yang tak lagi digunakan—seperti yang dilakukan Isti terhadap barang yang mengingatkannya pada sang mantan. “Sejak itu, aku menganut gaya hidup minimalis,” kata Isti kepada Tempo, Selasa, 28 Maret 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah mengeliminasi barang-barang tak terpakai, Isti mendalami gaya hidup minimalis dengan membaca buku Marie Kondo, menonton seri televisi realitas Tidying Up with Marie Kondo di Netflix, hingga mengikuti akun-akun yang berkaitan dengan minimalis. Marie Kondo merupakan artis dan konsultan tata ruang asal Jepang yang mempopulerkan Konmari, yaitu metode membersihkan tempat tinggal.

Adapun akun-akun media sosial yang menjadi referensi Isti dalam mempraktikkan minimalis adalah Lyfe with Less—komunitas gaya hidup minimalis—juga sejumlah figur publik, seperti Raditya Dika dan Marissa Anita. Menurut Isti, minimalis menjadi gaya hidup yang cocok untuk diterapkan. Sebab, ia jadi belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Dampaknya, ia, yang awalnya boros, kini bisa berhemat. Bahkan, Isti mengaku tak lagi FOMO (fear of missing out) atau takut ketinggalan sebuah tren. Sebelum mengenal gaya hidup minimalis, ia rajin memburu barang-barang flash sale di marketplace hingga tengah malam. “Setelah jadi minimalis, sudah, deh, mending tidur saja. Kalau butuh tapi lagi enggak flash sale, ya, beli saja,” kata dia. Isti mengaku hidupnya juga lebih berkesadaran. Misalnya dengan memutuskan sesuatu tanpa terburu-buru.

Penggiat minimalis, Istiany Tribunda. Dok pribadi

Praktik minimalis ini tetap dijalani Isti hingga berumah tangga dan memiliki satu anak. Meski gaya hidup pasangannya bertolak belakang, Isti tak terlena untuk kembali jadi konsumtif. Salah satu contoh nyatanya dapat terlihat dari lemari pakaian. Ia mengaku hanya memiliki satu lemari baju ukuran 1 x 2 meter untuk sekeluarga.

Isti juga menunjukkan foto lemari pakaiannya yang tak memiliki pintu. Lemari berkelir putih itu terisi pakaian yang tersusun rapi. Bahkan, baju-baju yang digantung pun bisa dihitung jari dan masih menyisakan ruang kosong. Walau begitu, Isti mengaku merupakan tipe yang cepat bosan soal pakaian. Namun, karena ingin mempertahankan konsep minimalis, ia menerapkan prinsip "masuk satu keluar satu". Artinya, jika membeli pakaian baru, Isti harus mengeluarkan pakaian lamanya. Baju-baju lama ini biasanya ia jual kembali di media sosial.

Bagi Isti, minimalis bermakna mengurangi distraksi. Gangguan yang dimaksudkan salah satunya memilih baju. Dengan jumlah bajunya yang hanya 30 potong, Isti tak lagi membuang waktu dan energi untuk memilih busana yang akan dikenakan pada hari itu. Ada kalanya, Isti tergoda untuk belanja impulsif bila sedang banyak duit. Tapi ia berhasil menahan diri. Cara mengeremnya adalah mencari bacaan ataupun konten tentang minimalis.

Meski gaya hidup ini tak terbilang baru, Isti menuturkan, masih banyak orang yang meremehkan minimalis. Ketika ia membuat konten di TikTok, misalnya, banyak warganet yang menyebutnya ribet atau pelit. Minimalis di mata mereka, kata Isti, hanya bisa dilakukan ketika sudah punya banyak uang. “Padahal enggak mesti kaya. Justru kalau enggak punya duit, lebih bisa minimalis harusnya.”

Pengalaman serupa dialami Lailatul Izzah. Perempuan berusia 29 tahun ini dibilang pelit oleh sang kakak karena enggan membeli sesuatu yang sedang tren. Izzah mengatakan bahwa penganut minimalis juga bisa membeli hal yang sedang kekinian, tapi lebih mengutamakan fungsinya. Gaya hidup minimalis, kata Izzah, memilih untuk mengurangi belanja impulsif.

Izzah sendiri mengenal gaya hidup ini sejak dua tahun lalu dari komika Raditya Dika. Setelah ditelusuri, gaya hidup ini rupanya sudah cukup lama dipraktikkan Izzah. Tanpa disadari, Izzah sebetulnya sudah rutin melakukan decluttering. Sejak remaja, perempuan asal Sidoarjo ini menyortir barang-barang milik orang tuanya yang menumpuk. Saat itu, kata Izzah, ia sudah berpikir untuk hidup biasa-biasa saja, simpel, dan tidak punya banyak barang. Sebab, melihat barang-barang menumpuk sudah membuatnya stres.

Penggiat gaya hidup minimalis, Lailatul Izzah. Dok pribadi

Dengan melakukan decluttering, Izzah mengaku ada banyak hal positif yang didapat, terutama pada kesehatan mental. Hal ini juga didukung dengan latar pendidikannya di bidang psikologi bahwa orang yang konsumtif cenderung gampang stres. “Jadi, kesimpulannya, gaya hidup minimalis sesuai dengan apa yang saya pikirkan dari dulu. Memang sudah ada dan sekarang nemu dan sreg,” ujar ibu satu anak ini.

Setelah mengenal minimalis, Izzah pun semakin lihai dalam memilah barang-barang dan melipat baju setelah merujuk pada metode Marie Kondo. Selain itu, gaya hidup ini sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, yaitu hidup kanaah, sederhana, tidak berfoya-foya, dan tidak berlebihan.

Selain bisa mengurangi stres, gaya hidup ini membuat Izzah menjadi lebih berfokus pada dirinya sendiri, bukan dengan barang yang dipunyai. Menurut dia, memiliki satu barang lebih mudah untuk menjaga dan merawatnya. Ketika membeli barang pun, ia lebih mengutamakan fungsi dan memaksimalkan penggunaannya. Hasilnya dapat dilihat dari dapurnya yang bersih dengan peralatan memasak secukupnya. Izzah mengaku tak pernah mengoleksi panci seperti ibu rumah tangga pada umumnya.

Gaya hidup minimalis juga diterapkan Izzah pada sang anak. Ia kerap memisahkan pakaian anaknya yang sudah kekecilan, lalu didonasikan ke saudara atau orang yang membutuhkan. Apabila bajunya sudah tidak layak, Izzah bakal memotongnya jadi perca dan dijadikan kain lap. “Biar menghemat tisu juga. Jadi, jarang beli tisu.”

Walau gaya hidup minimalis baru menjadi tren dalam beberapa tahun terakhir, ada juga yang menerapkan gaya hidup ini sejak dulu. Salah satunya adalah Maurilla Sophianti Imron. Perempuan berusia 31 tahun itu mengungkapkan bahwa prosesnya dimulai 2011 ketika dirinya menetap di luar negeri. “Di situ gimana caranya kita bisa hidup dari koper yang dibawa. Dari situ mulai meredefinisi kebutuhan, tapi masih di tahap permukaan,” kata pendiri Zero Waste Indonesia tersebut.

Sebelum total menjadi seorang minimalis, Maurilla mengaku suka dan pernah bekerja di bidang fashion selama lima tahun. Di bidang tersebut, ia harus mengikuti tren dan membuatnya terus belanja. Apalagi ketika sudah bisa menghasilkan uang dari kerja paruh waktu, ia gunakan penghasilannya untuk bersenang-senang.

Saat baru mengenal minimalis, pengetahuan Maurilla sebatas menentukan barang-barang yang akan disortir. Kemudian, pada 2015, ia membaca buku Marie Kondo dan mempelajari cara melakukan decluttering. Buku tersebut juga mengajarkan agar menggunakan barang-barang yang bisa membawa kesenangan. Perjalanan menuju konsep minimalis ini berlanjut sampai akhirnya Maurilla menemukan The Minimalist, gerakan yang diusung dua penulis Amerika Serikat, Joshua Millburn dan Ryan Nicodemus.

Maurilla. Dok. Pribadi

Ada berbagai metode decluttering yang digunakan Maurilla. Pertama kali, ia memakai metode Marie Kondo yang mengkategorikan barang, baru dipilah. Misalnya ada tiga kotak yang disiapkan. Kotak pertama untuk barang yang akan didonasikan atau dijual. Kotak kedua untuk barang yang masih belum tahu akan diapakan. Di kotak kedua ini, apabila dalam enam bulan tidak dipakai, artinya harus direlakan. Sedangkan kotak ketiga untuk menaruh barang yang disimpan.

Metode lainnya bisa dengan per ruangan. Contohnya adalah melakukan decluttering mulai dari dapur atau laci. Untuk metode ini, Maurilla mengaku tak lagi memakainya karena sudah berada di tahap barang-barang miliknya saat ini adalah yang dibutuhkan. Kendati demikian, ia menjadwalkan decluttering tiap 3-6 bulan sekali. “Atau di kamar punya anak kecil harus lihat mana barang-barang yang sudah kekecilan. Saat beres-beres baju, aku cek mana yang aku tahu sudah enggak bisa dipake,” ucapnya.

Setelah melakukan decluttering, Maurilla mengeliminasi sumber-sumber yang bisa membuat diri bertanya-tanya tentang seberapa perlu barang tersebut. Contoh yang perlu disingkirkan adalah akun-akun media sosial pemengaruh atau newsletter yang menginformasikan diskon sebuah barang. Ibu dua anak ini bisa mengerem niat belanja dengan mencatat kebutuhan. Saat hendak membeli barang di marketplace pun, Maurilla punya aturan tersendiri. Ia biasanya tidak akan langsung checkout atau membelinya, melainkan didiamkan di bagian keranjang belanjaan selama dua pekan.

Hal yang perlu diterapkan bagi seorang minimalis, kata Maurilla, adalah belanja kualitas, bukan kuantitas. Praktik berikutnya adalah digitalisasi banyak hal, seperti bon belanja, film, dan buku. Tak kalah penting, ia menerapkan bahwa setiap barang memiliki rumah. Dengan begitu, barang-barang tidak akan tercecer dan lebih mudah dibersihkan.

Setelah lebih dari satu dasawarsa menjadi penggiat minimalis, Maurilla mengaku lebih berfokus pada tujuan yang bisa menjadikan dirinya autentik. Ia tidak mudah terpengaruh pada pencapaian orang-orang di sekitarnya. Terlebih di media sosial, bila tidak memiliki tujuan sendiri, seseorang akan mudah ditarik untuk mengkonsumsi suatu barang. “Jadi, buat aku, less stress dan hidup lebih tenang.”

Minimalis, kata Maurilla, tak hanya menyortir sesuatu yang terlihat secara fisik. Ada istilah mental clutter atau kondisi pikiran yang kacau dan berantakan. Maurilla mengatakan, banyak mental clutter terjadi karena seseorang terlalu sering bermain media sosial. Menurut dia, hal ini bisa diatasi dengan memilah sesuatu yang hanya sesuai dengan tujuan dan berani mengatakan “tidak”.

FRISKI RIANA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan kini bertugas di Desk Jeda. Ia sehari-hari melakukan peliputan yang berkaitan dengan tren gaya hidup, kesehatan, dan hobi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus