Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat elektronik alias surel itu melayang dari Singapura ke Detroit, Amerika Serikat, Rabu dua pekan lalu. ”Semua orang akan tiba dengan penerbangan yang sama,” tertulis dalam surat itu.
Dua hari kemudian, Ibrahim Amran, 46 tahun, si pengirim surel, mendarat di bandar udara Honolulu bersama tiga rekan bisnisnya: David Beecroft, Ignatius ”Igna” Ferdinandus Soeharli, dan Hadianto Djoko Djuliarso. Amran dan dua nama terakhir adalah pengusaha asal Indonesia. Mereka lalu meluncur ke pantai Hawaii. Bukan untuk berlibur-, di sana mereka menggelar pertemuan bisnis. Yang diperjualbelikan pun bukan barang biasa, melainkan sejumlah peralatan militer termasuk radar dan peluru kendali.
Tapi rupanya pertemuan ini sudah terendus dinas intelijen Amerika Serikat.
Korespondensi Amran cs dengan per-usahaan pemasok senjata di Amerika, termasuk surel tadi sudah disadap. Petugas intelijen juga telah melacak aliran uang dari para pengusaha itu.
Sejumlah petugas yang menyamar telah mengintai mereka saat rombong-an kecil itu tiba di bandar udara Honolulu. Para petugas juga terus menguntit ketika Amran dan kawan-kawan meng-adakan pertemuan. Mereka akhirnya menangkap calon pembeli senjata itu, Senin pekan lalu.
Amran cs dituduh mengatur pembelian senjata secara ilegal, yang melanggar Undang-Undang Peng-awasan Ekspor Sen-jata. ”Kami meng-ang-gap ini ancam-an yang serius ba-gi keamanan nasio-nal kami,” kata jaksa Stephen Murphy dari Detroit seperti dikutip Associated Press.
Mereka berbisnis dengan perusahaan asal Detroit, yang tak disebutkan nama-nya. Rencananya, senjata akan dikapalkan ke Indonesia melalui Singapura. Pertemuan di Hawaii itu merupakan tahap akhir proses transaksi yang telah dirintis sejak beberapa bulan sebelumnya.
Negosiasi dimulai setelah Amran dan Hadianto mengirim surel pada April tahun lalu. Kedua pengusaha berniat membeli peralatan pesawat militer untuk diekspor ke Indonesia. Amran kemudian terbang ke London, Inggris, pada bulan berikutnya untuk bertemu perwakilan perusahaan Amerika itu.
Kontak dagang itu berlanjut terus. Pada 5 Januari 2006, Amran memesan 245 Sidewinder, peluru kendali udara-ke-udara yang biasa disandang pesawat tempur. Ada pula 882 senapan mesin ringan Heckler&Koch MP-5, 800 senapan tangan H&K 9mm, dan 16 senapan khusus untuk penembak jitu. Harganya US$ 3,3 juta atau sekitar Rp 29,7 miliar untuk semua barang itu.
Dua bulan kemudian, petugas intelijen Amerika Serikat juga mendapat kabar bahwa Hadianto dan Amran juga memesan peralatan militer lainnya. Keduanya mengorder perlengkapan radar seperti pemancar, antena, amplifier, pelacak kesalahan, pengunci detektor, serta giroskop. Delapan hari berselang, mereka mentransfer US$ 447 ribu atau sekitar Rp 4 miliar sebagai uang muka.
Amran lalu mengatur pertemuan di Hawaii untuk menggolkan proses transaksi. Surel yang disadap itu merupakan konfirmasi atas kehadirannya. Pada hari pertama pertemuan, Amran memastikan lagi jumlah senapan mesin yang ia butuhkan. Sehari kemudian, perwakilan dari perusahaan di Detroit mempertontonkan senapan mesin MP-5.
Dalam pertemuan itu, Ignatius Soeharli mengaku sebagai penyedia dana untuk transaksi. Amran dan Hadianto memperkenalkan diri sebagai pemilik perusahaan yang meng-order peralatan militer. Sedangkan David Beecroft hadir untuk meng-atur pengapalan barang-barang pesanan.
Jaksa di Detroit menuduh keempat orang itu bersekongkol mengekspor- peralatan militer tanpa lisensi dari Departemen Luar Negeri Amerika. Ini melanggar Undang-Undang Pengawasan Ekspor Senjata. Mereka terancam- -hu-kuman maksimal lima tahun penjara dan denda US$ 250 ribu atau sekitar- Rp 2,25 miliar.
Amran dan Hadianto juga dituduh melanggar aturan ekspor dan melakukan pencucian uang. Sesuai dengan undang-undang di Amerika, orang yang menabrak aturan ekspor bisa diancam hukuman 10 tahun penjara dan denda US$ 1 juta atau Rp 9 miliar. Adapun pelaku pencucian uang bisa diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda US$ 250 ribu.
Setelah ditangkap di Hawaii, mereka dibawa ke Detroit untuk menjawab berbagai tuduhan itu. Juru bicara Departemen Luar Negeri Yuri Oktavian Thamrin menyatakan, Konsulat Jenderal Indonesia di Los Angeles akan mengirim tim pemantau saat kasus ini disidangkan di pengadilan Detroit. ”Kami belum tahu motivasi mereka dan kepada siapa senjata itu akan dikirim di -Indonesia,” katanya, Kamis pekan lalu.
Menurut sumber Tempo yang paham- bisnis senjata, barang-barang yang me-reka beli merupakan kebutuhan Angkatan Udara. Ia mencontohkan peluru kendali Sidewinder, yang memang ha-nya bisa dipakai oleh pesawat-pesawat tempur. Senjata lainnya biasa dipakai- pasukan elite. Contohnya, senapan mesin ringan Heckler&Koch MP-5 dan senapan khusus untuk penembak jitu yang hanya mungkin di-pakai Ko-mando Pasukan Khusus, Paskhas, atau -Detasemen Jala Mengkara. ”Pasukan seperti Kostrad hanya memakai senjata buatan Pindad,” kata sumber yang sama.
Ignatius Soeharli, 45 tahun, dan Ha-dianto, 41 tahun, memang dikenal se-bagai pemain lama bisnis senjata. Menurut sumber Tempo, keduanya memiliki lobi kuat di Markas Besar TNI Angkatan Udara. Kabarnya, ia juga sering mondar-mandir ke Departemen Pertahanan.
Soeharli adalah pemilik PT -Imaco Pratama Sentosa, perusahaan yang ber-gerak di bidang perdagangan dan -distribusi. Pada kartu nama, ia mencantumkan alamat perusahaannya di Jalan Maluku 71 B, Blok G, Cinere, -Jakarta Selatan. Ketika Tempo menelusurinya, di sana terdapat bangunan dua lantai tanpa papan nama. Pagar besinya bercat putih dan memiliki gerbang selebar mobil. ”Ini perusahaan kontraktor,” kata Tohari, 35 tahun, yang mengaku karyawan bagian operasional.
Tohari mengaku tak tahu banyak soal sejarah kantornya. Ia bahkan menolak memberi konfirmasi apakah benar per-usahaannya adalah PT Imaco. Ditanya soal Soerhali, ia menjawab: ”Tidak ada di sini, saya tak mengenalnya.”
Kantor itu hanya tempat nongkrong karyawan menunggu pekerjaan. Menurut Tohari, tugas biasanya diberikan oleh seorang staf administrasi. ”Mau kerja ini, tidak? Lalu dikasih surat jalan, begitu saja,” tuturnya. Pedagang rokok di sekitar rumah itu, Suleman, menuturkan, ada sekitar 10 karyawan bekerja di sana.
Adapun Hadianto adalah Managing- Director PT Ataru Indonesia, pemasok berbagai barang kebutuhan industri. Kantornya beralamat di Wisma Kali-manis, Jalan M.T. Haryono Kav 33, -Jakarta Selatan. Namun, saat Tempo menghubungi kantor itu, penerima telepon menyebutkan perusahaan tersebut sudah pindah.
Dalam penawaran yang disebarkan melalui internet, PT Ataru mengaku sebagai agen produk-produk aviasi dari berbagai negara. Mereka juga mengaku sebagai pemasok resmi militer Indonesia. PT Ataru mengklaim telah sukses memasok Pesawat Boeing VIP untuk Angkatan Udara.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan- Udara Marsekal Pertama Sagoem -Tam-boen membenarkan PT Imaco dan PT Ataru sebagai rekanan institusinya. -PT Ataru pernah memasok suku cadang OV-10, pesawat pengebom ringan milik Angkatan Udara. ”Jadi, memang benar, Ataru salah satu mitra kami,” katanya.
Sagoem mengaku tidak tahu apa-kah senjata yang hendak dibeli oleh dua -perusahaan itu bagian dari pesanan Angkatan Udara. Menurut dia, kontrak antara Angkatan Udara dan -perusahaan rekanan dalam peng-adaan suatu -peralatan tidak mengatur cara per-usahaan itu memperolehnya. ”Bagaimana cara rekanan memperolehnya, bukan urusan kami,” kata Sagoem.
Budi Setyarso, Purwanto, Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo