Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gugur satu per satu

Sukses keluarga kennedy mencapai puncaknya ketika john f.kennedy menjadi presiden as. kini reputasinya turun setelah ketiga putra penerus kennedy tewas dan robert f.kennedy gagal dalam politik.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI sebagian besar masyarakat Amerika Serikat, keberhasilan keluarga Kennedy adalah tolok ukur. Dalam politik maupun dalam finansial. Sampai kini orang-orang Amerika seolah-olah ikut merayakan hari-hari penting keluarga yang kini dipimpin oleh nenek berusia seabad itu. Sukses klan Kennedy mencapai puncaknya ketika John Fitzgerald Kennedy (JFK) menduduki kursi presiden AS pada 1960. Langkah JFK yang terampil dan penuh kejutan sebagai presiden menutup rapat borok-borok dirinya. Langsung ataupun samar-samar, semangat Kennedy selalu muncul dalam setiap pemilihan presiden AS sampai sekarang. John F. Kennedy merupakan presiden termuda dalam sejarah AS. Ekonom lulusan Harvard ini dilahirkan pada 29 Mei 1917, di Kota Brooklyn, Boston. Ia mengawali kariernya di angkatan laut AS dengan pangkat letnan muda. Dalam Perang Pasifik -- Perang Dunia II -- ia adalah perwira komandan kapal pemburu torpedo (PT 109) yang beroperasi di Kepulauan Solomon. Entah karena keteledorannya atau dosa anak buahnya, kapalnya sempat terbelah dua. Peristiwa itu mencatat keberanian anak kedua dari pasangan Joseph P. Kennedy dan Rose Fitzgerald Kennedy itu. Daya tahan tubuhnya luar biasa. Selama empat jam dia berenang menggigit pelampung, sembari membopong Patrick McMahon, montir kepala yang terluka. Dalam operasi penyelamatan, dua wartawan dari Associated Press dan United Press ikut dalam rombongan. Semula kedua kuli tinta itu enggan meliput, tapi serentak mendengar Letnan Kennedy -- komandan kapal -- adalah putra Joseph P. Kennedy, duta besar AS untuk Inggris, mereka serta-merta terlibat. Ini membuktikan betapa hebat getaran nama keluarga Kennedy. Atas keberaniannya, JFK kemudian menerima penghargaan sebagai pahlawan perang. Tetapi bintang itu ternyata menyebar maut. Diam-diam ada persaingan terselubung di dalam keluarga Kennedy untuk menjadi yang terbaik. Joseph P. Kennedy Jr. -- kakak JFK yang sehari-hari dipanggil Joe -- waktu itu bertugas di angkatan udara AL AS. Ia ternyata merasa tertekan karena selama dinas belum bisa menghancurkan kapal musuh. Sewaktu roket V-1 Jerman mulai menghantam Kota London, kebetulan dibutuhkan sukarelawan untuk melakukan serangan udara menghancurkan instalasi roket itu. Tugas semacam itulah yang ditunggu-tunggu Joe untuk menyaingi bintang jasa yang diperoleh JFK. Malang, karena kecerobohan Joe kemudian -- tidak mengindahkan peringatan Letnan Olsen, perwira elektronik -- ia menebus ambisinya dengan nyawa. Karena kepergian Joe yang tiba-tiba plus ambisi dari ayahnya, Jack -- panggilan akrab JFK -- bersiap-siap memasuki kancah politik. Tampaknya Jack menyadari betul peran yang harus dilakukannya, sebagai ahli waris tradisi politik keluarga. Untuk itu, ia harus melepaskan ambisinya menjadi kolomnis yang mengulas masalah politik di salah satu surat kabar. "Saya dapat merasakan pandangan Ayah dari balik leherku," ujar Jack kepada sahabatnya, Paul B. Fay Jr., semasa dinas di angkatan laut. Tatkala majalah Time ingin membuat laporan utama mengenai keluarga Kennedy, Jack melarang Fay menceritakan perihal dorongan ayahnya dalam karier politiknya. Tapi akhirnya Jack toh tidak bisa menyimpan semua itu. "Joe adalah anggota keluarga yang secara logis harus terjun dalam politik, dan andaikata dia masih hidup saya akan meneruskan karier sebagai seorang penulis. Kalau saya mati kelak, Bobby -- maksudnya Robert F. Kennedy -- yang akan menjadi senator. Seandainya terjadi apa-apa dengannya, Teddy (Edward M. Kennedy) yang meneruskannya untuk kami," ucap Jack kepada Eleanor Harris dari majalah McCall's. Bagi Jack, bergelut dengan politik merupakan beban yang sangat berat. Apalagi kondisi fisiknya tidak sekukuh Joe, kakaknya. Hampir dalam separuh masa hidupnya, ia harus berjuang melawan penyakit. Menurut adiknya, Bobby, sekurang-kurangnya setengah dari hari-hari yang dilewatkannya adalah hari-hari dalam kesakitan fisik yang bukan main. Ia menderita seribu satu penyakit. Dia harus mengundurkan diri dari Universitas Princeton sebelum masuk ke Harvard, karena masalah kesehatan. Tapi keluarga dan sekutu-sekutunya selalu mengatakan bahwa Jack kuliah pada Perguruan Tinggi Ekonomi London, di bawah bimbingan Harold Laski. Kuliah musih gugur 1938 dilaluinya tanpa menderita sakit, sebelum mengundurkan diri pada musim semi 1939. Untuk mengisi waktu luangnya, dia bekerja sebagai sekretaris dan utusan ayahnya yang menjabat dubes AS untuk Inggris. Di sanalah dia mulai bisa memahami perkembangan politik di berbagai negara. Baru menjelang musim gugur 1945, Jack terjun dalam pemilihan anggota Kongres 1946. Dan semua anggota keluarga mendukung. Entah nasib baik atau kebetulan, muncul jabatan kosong di arena politik Massachusetts. Satu kursi di Dewan Perwakilan Rakyat mewakili Distrik XI Boston. Posisi itu sangat strategis dan dapat membuka peluang bagi masa depan kariernya. Khususnya karena dia tak perlu menunggu lama untuk memperolehnya. Kampanye dimulai. Tugas pun tidak ringan. Mengingat ia anak seorang jutawan yang sepanjang hidupnya belum pernah bekerja -- kecuali dinas di AL AS. Mengherankan juga. Kendati mencalonkan diri dari distrik yang mayoritas dihuni kuli pelabuhan, pegawai kereta api, sopir truk, pedagang kecil, dan pelayan bar, Jack sukses. Ia merebut kemenangan tanpa kesulitan berarti. Distrik XI jadi batu untuk meloncat ke jenjang berikutnya. Jack terus melaju. Ia pindah ke Washington dan mengambil peran di Kongres. Kantornya kemudian menjadi semacam markas kedua keluarga Kennedy di ibu kota. Dalam usia 29 tahun, Jack menjadi jutawan muda dengan penghasilan 100.000 dolar AS per tahun -- tanpa bekerja -- plus 20.000 dolar AS sebagai anggota Kongres. Ketika memasuki usia 34 tahun (1952), dia baru secara resmi mencalonkan diri sebagai anggota Senat. Banyak pengamat mengatakan bahwa keluarga Kennedy sekali ini salah perhitungan. Kok, berani-beraninya menantang Henry Cabot Lodge Jr. -- cucu senator Henry Cabot Lodge Sr. -- yang terkenal tangguh dan pernah mengalahkan kakeknya, Fitzgerald Kennedy. Persaingan politik telah berubah menjadi pertarungan kelas. Seluruh kehormatan keluarga dipertaruhkan. Jamuan minum teh bagi pemilih wanita diselenggarakan di setiap kota di Massachusetts. Bagi Jack, kampanye itu merupakan ujian sarat dengan banyak tekanan tak nyaman yang menyakitkan. Tetapi akhirnya toh kemenangan digondolnya. Sementara itu, Lodge terpesona, tidak menyangka hasilnya bisa seperti itu. "Pasti jamuan minum teh itu yang mengalahkan kami," ujar Lodge kepada wartawan. Perjumpaan Jack dengan Jacqueline Bouvier adalah kisah cinta tersendiri. Dimulai dengan sebuah wawancara. Jacqueline saat itu bekerja sebagai fotografer merangkap reporter surat kabar Washington Times Herald. Pada Januari 1953, ketika Jack mulai duduk di Senat, ia berjuang merebut Jacqueline. Ia sadar, masyarakat AS secara emosional menghendaki jabatan-jabatan tinggi negara dipegang oleh orang-orang dari keluarga terpandang. Jacqueline memenuhi syarat untuk itu. Ia cantik, berwibawa, cerdas, Katolik, dan keturunan dari dua keluarga terkenal -- Bouvier dan Auchincloss. Maka, pernikahan pun berlangsung pada musim panas 1953. Jacqueline Bouvier membawa angin segar bagi karier politik JFK. Film tentang kegagalannya merebut kursi wakil presiden tahun 1956, serta keberhasilannya menduduki kembali kursi Senat 1958, menumbuhkan harapan. Ia percaya bahwa ia bakal sampai ke "puncak". Intuisi itu yang membawa Jack mempersiapkan diri menghadapi pemilihan presiden pada 1960. Kampanye kali ini lebih melelahkan. Tingkat kesibukan begitu luar biasa. Dalam sehari Jack sempat berpidato 15 kali di 15 kota. Tentu saja tanpa melupakan maskotnya: jamuan minum teh bagi kaum hawa. Hasilnya luar biasa. Jack mampu mengumpulkan 1,3 juta suara (73,6%). Rekor tersendiri dalam pemilihan anggota Senat, dibandingkan lawannya yang hanya mendapat 488.316 suara. Atas dasar itu, Jack mampu meyakinkan pimpinan Partai Demokrat, bahwa ia layak sebagai calon presiden. Demikianlah, akhir kampanye untuk menjadi anggota Senat menjadi awal kampanye untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Timbul masalah, bagaimana caranya agar Jack lebih dikenal lagi oleh masyarakat luas dalam skala nasional. Jack mau tak mau harus membanting tulang. Pagi-pagi sekitar pukul 5.00 dia sudah harus bangun, untuk pergi ke pabrik daging atau depot KA, sekadar menyalami pekerja yang masuk pagi. Dia harus juga melayani suara sumbang dari Partai Demokrat sendiri, yang menentang pencalonannya. Namun, Jack tak gentar. Dalam pemungutan suara kemudian, Jack meraih 806 suara. Sedangkan Johnson, yang akhirnya diangkat untuk mendampingi sebagai calon wakil presiden, hanya mampu menggaet 409 suara. Kampanye Kennedy secara resmi dimulai dengan pidato pada hari buruh di Detroit. Ia masih sering nampak tegang. Malam hari, 8 November 1960, malam berlangsungnya pemilihan umum, seluruh keluarga Kennedy berkumpul di wisma keluarga di Hyannis Port, untuk menyaksikan hasil pemilu. Rumah Bobby dipakai sebagai pusat komunikasi dan analisa persuaraan. Semua menunggu dengan harap-harap cemas. Pukul 7.00 pagi keesokan hari, dinas rahasia AS mengirimkan pasukan ke rumah Kennedy untuk berjaga-jaga. "Oh, sayang, sekarang engkau jadi presiden," ucap Jacqueline. Kemenangan Kennedy atas Nixon sangat tipis, 49,7% berbanding 49,6%, hanya bertaut sepersepuluh persen. Dan itu pun berkat keputusan pengangkatan Lyndon B. Johnson sebagai wakil presiden. Bagaimanapun, hasil itu telah mewujudkan impian keluarga Kennedy. Tanggal 20 Januari 1961, John F. Kennedy diangkat sumpahnya menjadi presiden AS ke-35. Acara selanjutnya, jamuan makan siang di Hotel Mayflower. Situasi menjadi agak kikuk karena sebagian besar sanak keluarga Kennedy belum pernah bertemu dengan keluarga Jacqueline. Belum genap seratus hari di kursi presiden, Kennedy membuat kesalahan yang cukup menggemparkan. Yakni, rencana penyerbuan sekaligus membunuh pemimpin Kuba, Fidel Castro, yang dikenal dengan kasus Teluk Babi. Kennedy dan jajarannya mendapat kritikan dari kalangan Senat dan Kongres. Namun, peristiwa itu tidak mematahkan semangat JFK untuk terus memburu Castro. Operasi itu dikenal dengan nama "Operasi Musang", yang dilakukan pada musim panas 1961 dan boleh dikata gagal. Tapi keberaniannya untuk memaksa Soviet agar menarik peluru kendali dari Kuba membuat pamornya naik. JFK jadi semakin kebal dari dosa dan kesalahan sehubungan dengan kesengsaraan yang ditimbulkan oleh Perang Vietnam. Belum lagi getah asmaranya dengan beberapa wanita yang menurunkan pamornya di mata para pembantunya di pemerintahan. Daya tarik keluarga Kennedy terhadap kaum hawa memang sudah turun-temurun. Pria-pria Kennedy, dari ayah sampai anak-anak, di samping beristri juga memiliki teman kencan. "Ada main" Kennedy sudah tercium sejak masa kampanye untuk pencalonan distrik. "Kekuatan para wanita sebagai sumber yang belum digali," ujarnya satu ketika. Percintaannya dengan Judy Campbell sampai masuk ke Gedung Putih. Aktor Frank Sinatra-lah yang memperkenalkan Kennedy dengan Campbell sewaktu melakukan kunjungan ke Las Vegas. Penyelewengannya itu sekadar untuk melepas ketegangan serta beban penderitaan setelah melakukan kampanye. Jack dan Jacqueline pada dasarnya bertindak sendiri-sendiri. Jack menempuh kehidupannya sebagai petualang politik dan seks, sedangkan Jacqueline menempuh kehidupan sebagai seorang ibu rumah tangga. Hal itu tentu saja melukai hati Jacqueline. Tidak heran jika Jacqueline dikenal sebagai ibu negara yang banyak absen dalam sejarah Gedung Putih. Kritikan pun berhamburan dari berbagai kalangan. Musuh-musuh pun bertambah. Pada puncaknya, pahlawan nasional Perang Dunia II ini tertembak mati di Dallas, Texas, pada 22 November 1963. Kematian JFK yang sangat tidak diduga itu membuat Robert Francis Kennedy atau Bobby mewarisi tahta untuk melanjutkan garis politik keluarga. Bagi Bobby, terjun ke kancah politik bukan hal yang baru. Dunia politik sudah digelutinya sejak lulus dari Fakultas Hukum Universitas Virginia, saat usianya baru 26 tahun. Waktu itu dia ditunjuk sebagai pimpinan kampanye Jack Kennedy. Di bawah pimpinannya, kampanye Jack benar-benar mengalami lepas landas. Begitu Jack terpilih sebagai presiden, Bobby diangkat sebagai jaksa agung. Lyndon B. Johnson, yang menggantikan Jack Kennedy sebagai presiden, menjadi saingan berat Bobby -- delapan tahun lebih muda dari Jack. Bobby berambisi sekali meraih jabatan wakil presiden. Johnson mengeluarkan peraturan, bahwa anggota kabinet tidak boleh mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Peraturan itu menyebabkan Bobby mencalonkan dirinya untuk pemilihan anggota Senat di New York, pada 22 Agustus 1964. Dia menang dengan kelebihan suara 719.693. Dan itu adalah batu loncatan. Dari sana Bobby berusaha memperjuangkan agar kebijaksanaan almarhum Jack dilanjutkan. Ia berhasil mengegolkan disahkannya UU Hak-Hak Sipil tahun 1964. Namun tidak semua yang diidam-idamkan John F. Kennedy diperjuangkannya di Senat. Dalam bulan Juni 1966, Perang Vietnam memberikan kesempatan emas untuk menjadikannya seorang tokoh politik nasional. Sebagai anak ketujuh dari sembilan bersaudara dalam keluarga yang bersaing ketat, Bobby telah belajar bagaimana cara berjuang agar tetap maju. Ia paling bermoral dan paling berlaku adil di antara saudara laki-lakinya. Robert Kennedy lebih suka berpihak kepada kaum tertindas. Namun, simpatinya kepada orang-orang yang mengalami penderitaan bukan sifat yang dimilikinya sejak remaja. Pada pemilihan presiden 1968, Bobby membiarkan rambutnya tumbuh panjang dan kusut. "Andaikata saya bukan dari keluarga Kennedy, mungkin sekarang ini saya menjadi seorang remaja yang jahat atau seorang pemberontak," ujarnya. Ketidakmampuannya menentang kekuasaan Presiden Lyndon B. Johnson membuat ia mengundurkan diri dari pencalonan presiden 1968. Namun, keputusan itu diralatnya setelah melihat peluang. Hanya saja, ia tidak mendapat dukungan dari keluarga. Tapi bukan Robert Kennedy namanya jika harus mundur. Ia mulai melakukan perjalanan untuk kampanye. Pidatonya yang lebih pro-Israel dan merendahkan keberadaan Arab membuat banyak pemilih antipati. Ancaman pun berdatangan. Pada hari pemungutan suara, 4 Juni 1968 Bobby bersama keluarganya berada di pantai Malibu. Sore harinya, Bobby dengan ditemani John Frankenheimer kembali ke Hotel Ambassador, tempat markas Bobby. Hasilnya hebat. Bobby mampu mengalahkan Hubert Humphrey di Dakota, dengan perbandingan 50:30. Sedang di California dia mengalahkan Eugene McCarthy 46:42. Kemenangan itu membuat Bobby lengah. Ia tidak mendapat pengawalan waktu memberikan pidato kemenangannya. Usai berpidato, ketika bersalaman dengan petugas dapur, tiba-tiba dia dihujani tembakan. Pelakunya seorang penembak bayaran, bernama Sirhan, suruhan warga Arab Palestina. Pesta kemenangan berubah menjadi kegemparan dan histeria. Dua puluh enam jam kemudian Robert F. Kennedy mengembuskan napas terakhir dalam usia 43 tahun, di Rumah Sakit Good Samaritan, Los Angeles. Kematian Bobby membawa dampak yang lebih kuat terhadap keluarga Kennedy dibanding kematian Jack. Menghadapi kematian JFK, orangtuanya masih bisa tabah, tetapi ketika Bobby terbunuh, hati seisi keluarga benar-benar luluh. Berbeda dengan Jack, Bobby sangat dekat dengan istrinya, Ethel Skakel. Ia penuh kasih terhadap sepuluh anaknya. Di antaranya Kathleen Hartington, Joseph Patrick, Robert Francis, David, Courtney, dan Michael. Tak kurang dari 2.000 orang menghadiri pemakamannya itu. Sekalipun "pemujaan" terhadap Bobby tidak sehebat dan berlebih-lebihan seperti terhadap Jack, getarannya jelas. Nama Kennedy kemudian diabadikan dalam beberapa monumen dan lembaga, serta menjadi ilham terbitnya buku-buku pujaan terhadap klan Kennedy. Pada Konvensi Partai Demokrat bulan Agustus 1968, pendewaan pers terhadap mereka terasa berlebihan. Anak bungsu, Edward M. Kennedy, 36 tahun, seharusnya dapat memanfaatkan momentum itu untuk memenangkan pencalonan Partai Demokrat. Tetapi Ted -- panggilan akrab Edward -- ternyata tidak siap. Baru setahun kemudian, bintang Ted bersinar terang di dunia politik. Dia terpilih untuk memegang cemeti Partai Demokrat. Itu berarti penerus klan Kennedy tinggal selangkah lagi untuk menduduki kursi ketua Partai. Jabatan baru yang mempunyai prestise besar itu membuat suara Ted semakin lantang. Dia menentang kebijaksanaan Nixon dalam menangani Perang Vietnam dan mengecam program peluru kendali antarbenua. Sayang, kehebatannya hancur gara-gara wanita. Pada malam 18-19 Juli 1969, mobil yang dikemudikan Senator Edward Kennedy keluar dari jembatan sempit di Pulau Tanjung Cod, dan kecebur di dalam danau kecil. Akibatnya, seorang wanita lajang berumur 28 tahun tewas. Ada kesan, seolah-olah Ted meninggalkan tempat kejadian tanpa melapor kepada polisi. Seperti kakak-kakaknya, Teddy juga mengenyam pendidikan di Harvard. Tapi dia harus keluar dari universitas yang paling beken itu karena perbuatannya sendiri. Pasalnya, ia bernafsu sekali masuk dalam tim "sepak bola" universitas, tapi ia tidak lulus ujian bahasa Spanyol. Padahal, itu merupakan suatu keharusan untuk bisa masuk dalam tim. Ia benar-benar frustrasi dan menempuh jalan keluar yang paling mudah dengan membayar dua orang untuk ikut ujian atas namanya. Dasar nasib sedang sial, kedua orang itu tertangkap basah dan dia dikeluarkan. Peristiwa yang memalukan ini dapat disembunyikan oleh keluarga Kennedy selama 10 tahun. Dengan wanita, Teddy memang terlalu sembrono dan suka mengambil risiko. Sebenarnya dia telah menikah dengan Joan Bennett, wanita Katolik yang cantik berambut pirang. Tapi, seperti Jack, ia menganggap enteng rumah tangga. Dan sejak kematian Bobby, dia menjadi peminum kelas berat. Alkohol ini juga merontokkan reputasi keluarga Kennedy. Apalagi setelah pada 1981 ia bercerai dengan wanita yang telah dinikahinya selama 22 tahun itu. Sebagai anak bungsu, Teddy praktis sangat dimanjakan. Apalagi ayah dan kakak laki-lakinya jarang ada di rumah. Ia dibesarkan oleh empat orang wanita -- ibunya dan ketiga kakak perempuannya. "Rasanya seperti mempunyai banyak ibu di sekeliling saya," ujar Teddy. "Ibu adalah segala-galanya bagiku. Ketika kakak-kakakku meninggal, dialah yang mendorongku tetap teguh dan bisa berdiri sendiri. Ketika Ibu sakit, aku lalu berdoa untuk kesembuhannya." Kini sang ibu, Rose Kennedy, Ahad kemarin meniup 100 buah lilin ulang tahun. Bisakah sang senator Partai Demokrat yang kini berusia 58 tahun ini belajar dari kegagalannya? Mampukah ia mengembalikan reputasi Kennedy? Rudy Novrianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus