Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perempuan segala musim

Rose elizabeth fitzgerald kennedy,100, pernah terpilih sebagai siswi tercantik ketika di sma,boston ia telah menjadi bagian sejarah as, yang melahirkan salah seorang presiden as john f.kennedy.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahad kemarin, 22 Juli, Rose Elizabeth Fitzgerald Kennedy genap 100 tahun. Ia bukan cuma seorang ibu yang sukses membesarkan anak-anaknya dan mengalami naik-turunnya nasib yang luar biasa, tapi juga jadi bagian sejarah Amerika: anak keduanya, John F. Kennedy, jadi presiden Amerika yang selalu diperingati. Dua bagian tulisan berikut terutama disusun dari The Fitzgeralds and the Kennedys, an American Saga karya sejarawan Doris Kearns Goodwin, dan The Kennedys Dynasty and Disasters, buku John H. Davis. DI pantai Hyannis Port, sekitar 110 km tenggara Boston, Massachusetts, di pagi hari musim panas sering terlihat seorang wanita berjalan dekat tepi air laut. Berkaca mata hitam, berbaju dan celana putih, bersepatu putih. Berkerudung selendang syal bergaris-garis, untuk melindungi rambut dan telinganya dari terpaan angin. Ia berjalan memandang lurus ke depan. Sekali-sekali ia layangkan matanya ke arah laut. Beberapa menit kemudian wanita itu, dengan irama jalan yang tertatih-tatih, kembali ke rumahnya yang memang di tepi pantai. Ia akan duduk di beranda besar rumahnya, kadang sampai berjam-jam. "Ibu mengamati semua yang terjadi di situ, siap memperingatkan bila sesuatu terjadi, terutama bila cucu dan cicit-cicitnya sedang bermain di sekitarnya," tutur Eunice Shriver, salah seorang putri perempuan itu. Tapi boleh jadi perempuan itu tak cuma mengamati laut dan pantai. Mungkin ia pun sedang merenungkan, betapa banyak peristiwa berlalu di depannya. Dari yang menyedihkan sampai yang membahagiakan dari yang memeras air mata sampai yang membuat perut keras karena tertawa. Seorang wanita yang sempat meraih banyak dan kehilangan banyak. Hidupnya memang panjang. Ahad kemarin, 22 Juli 1990, wanita itu memperingati ulang tahunnya yang ke-100. Di rumah di Hyannis Port itu direncanakan berkumpul darah-dagingnya yang masih hidup: tiga anak perempuannya, seorang anak laki-lakinya, 28 cucu, dan 22 cicit. Bila sejumlah wartawan hadir dan meliput ulang tahun itu, sebab Rose Elizabeth Fitzgerald Kennedy, perempuan itu, memang tak cuma berusia panjang. Sedikit atau banyak ia sudah jadi bagian sejarah Amerika Serikat. Setidaknya, dialah yang melahirkan salah seorang presiden Amerika Serikat yang populer, John Fitzgerald Kennedy (JFK). Dia juga, menurut para penulis buku tentang keluarga besar ini, menjadi salah satu juru kampanye terhebat di masa anaknya berkeliling Amerika mencoba merebut hati rakyat. Waktu itu Rose menghadiri berbagai pertemuan, kadang empat sampai lima kali sehari. Semangat mudanya menyembunyikan usianya yang sebenarnya, yang sudah 70 tahun. Pidato-pidatonya tak langsung mengenai politik, tapi dianggap efektif menggerakkan orang untuk memilih Kennedy. Ia bicara tentang masa muda JFK, kebenciannya terhadap perang, dan belajarnya yang sukses memang pidato seorang ibu. "Jack tahu apa itu kesedihan, kesengsaraan, air mata, dan kesepian yang tiba-tiba hadir di tengah keluarga, ketika seorang ibu kehilangan anak sulungnya, ketika pengantin perempuan kehilangan suaminya. Itulah, saya tahu persis Jack tak akan membawa kita semua ke dalam peperangan," begitulah contoh rekaman pidato Rose, hingga seseorang berpendapat seumpama ia lahir terlambat 50 tahun, Roselah yang akan tampil sebagai calon presiden. Sebenarnya, tugas Rose memang lebih banyak di belakang. Suaminya, Joseph Patrick Kennedy, sibuk sebagai bankir, pemilik perusahan film, dan berbagai usaha lain. Maka, di tangan ibu ini kesembilan anaknya terbentuk pribadinya. Dan sesungguhnya ia menjalankan rumah tangganya dengan semangat matriarkat. Maka, ketika sebuah buku berjudul The Kennedys karangan Peter Collier dan David Horowitz terbit pada 1984, Rose, suatu hari di Hyannis Port ketika semua keluarganya berkumpul, sehabis makan malam, menyempatkan beramanat. "Aku ingin semuanya memperhatikan," katanya pelan tapi tegas, "bahwa kalian bukan cuma keluarga Kennedy, tapi juga keluarga Fitzgerald." Benar, dalam pelantikan J.F. Kennedy sebagai presiden, Januari 1961, dalam upacara yang megah itu Doris Kearns Goodwin, ahli sejarah yang menulis The Fitzgeralds and the Kennedys, an American Saga, mencatat bahwa satu-satunya dari semua anggota keluarga dari kedua klan yang hadir yang mendapat anggukan tanda hormat dari presiden baru hanyalah Patrick Joseph Kennedy, ayahnya. Tapi beberapa waktu kemudian, JFK kepada wartawan mengatakan bahwa ibunya, "Lem yang merekatkan kami semuanya." Dengan kata lain, karena Rose maka semua keluarga Kennedy dan Fitzgerald kala itu berkampanye dengan giat untuk kemenangan JFK. Rose Elizabeth Fitzgerald, anak sulung John Francis Fitzgerald, adalah cucu Thomas Fitzgerald. Ibu Thomas, Ellen Wilmouth, pada akhir 1940-an bersama anak-anaknya berada di sebuah kapal di antara ratusan orang Irlandia yang lain yang melarikan diri dari kelaparan yang menyerang. Panen kentang di negeri itu sejak 1945 mengalami kegagalan serius. Itulah yang dikenal sebagai bencana Kelaparan Besar dalam sejarah Eropa. Perjalanan laut mereka tak mudah. Setelah enam minggu terombang-ambing, akhirnya mereka mendarat di Amerika. Sebagaimana laiknya emigran dari Eropa, mereka semua mesti merangkak dari bawah. Anak-anak Ellen tak terkecuali. Bila mereka harus berjuang sendiri, hal itu karena Michael Fitzgerald, sang bapak, meninggal sebelum mereka beremigrasi. Ada yang lain, konon, dari keluarga Fitzgerald dibandingkan orang-orang Irlandia yang lain. Di samping mereka yakin bahwa benua baru memberi peluang yang sama bagi semua pendatang untuk sukses setinggi-tingginya atau bangkrut sedalam-dalamnya mereka percaya hanya ada satu tempat untuk mengadu: Gereja. Di luar gereja mereka mesti berjuang tanpa banyak menawar. (Semangat inilah yang kemudian diwarisi Rose Kennedy, hingga ia tak patah dinaik-turunkan gelombang sukses dan musibah.) Dan mereka memang termasuk di antara yang sukses, terutama si bungsu James Fitzgerald, yang akhirnya jadi orang paling kaya di North End. Berkat adiknya itu, Thomas yang semula bertani akhirnya ikut hidup di Boston, ikut mendirikan toko grosir, dan ikut sukses. Karena itu, mereka mampu memelihara dan mendidik ke-12 anaknya. Salah seorang di antara anak-anak itu, John Francis Fitzgerald (JFF), anak keempat, kemudian terjun ke dunia politik. JFF, si periang dan flamboyan itu, hingga dijuluki "Fitz yang memikat", memang mudah menarik perhatian orang. Setelah sukses terpilih sebagai senator dan kemudian wakil di Kongres, akhirnya pada 1906, ketika Rose berusia 16 tahun, terpilihlah ia sebagai Wali Kota Boston. JFF memang nyentrik. Biasanya seorang ayah menginginkan anak pertamanya laki-laki. Tapi ia mengharapkan anak perempuan -- dan terkabul. Bisa jadi, karena Mary Josephine Hannon, istrinya, demikian pemalu bila harus berada di tengah banyak orang, hingga tak bisa menyertai suaminya dalam berbagai resepsi, maka JFF bercita-cita mendidik seorang anak perempuan agar menjadi seorang public figure. Dan itu memang dilakukannya. Belum sepuluh tahun usianya, Rose sudah dibawa-bawa ayahnya ke pertemuan-pertemuan, dikenalkan pada teman-teman akrabnya, pada saudagar Inggris kaya-raya sampai pada Presiden Cleveland (1893-1897) dan Presiden McKinley (1897-1901). Maka, dalam diri remaja Rose berkembanglah dua kepribadian kuat yang saling melengkapi: karisma terhadap publik, yang diperoleh dari ayahnya, dan pengabdian yang dalam terhadap rumah tangga dan gereja dari ibunya. Dari ayahnya juga Rose belajar bagaimana menghadapi serangan lawan politik. Pada 1907 ayahnya dikalahkan oleh lawannya dalam pemilihan wali kota. Pada 1909 JFF kembali mencalonkan diri. Ketika itu lawannya begitu vokal dan agresif. Hampir tiap hari si lawan menyerang JFF lewat surat-surat kabar yang dibelinya. Dan hampir tiap pagi, Rose yang sudah 19 tahun marah membaca surat-surat kabar itu. Tapi setiap ia bawa surat kabar pada ayahnya, si ayah dengan kalem mengambil vulpen, lalu mencoret-coret hal-hal yang perlu dijawab dan dilawan, tanpa emosi sedikit pun. Tak lebih emosional dibandingkan ibunya ketika mencoret-coret iklan menarik yang perlu dibeli atau dilihat, katanya. Tampaknya dari pengalaman itulah, ketika si bungsu Senator Edward Kennedy mendapat kecaman dari publik AS -- setelah mobilnya tercebur ke sungai dan di dalamnya ia bersama seorang cewek, pada pertengahan 1969 -- nasihat Rose sederhana saja: "Yang terpenting ialah menguasai peristiwa yang menimpamu, bukan peristiwanya itu sendiri." Periode kedua ayahnya menjadi wali kota, bagi Rose, adalah masa "untuk tertawa dan menari". Soalnya, ia sudah cukup dewasa untuk mengerti dan menikmati berpartisipasi di samping ayahnya, mewakili ibunya. Apalagi bekal pengetahuan dan perkembangan pribadinya sudah cukup matang. Setahun belajar di sekolah Katolik di Blumenthal Belanda, ia merasa punya wawasan yang luas dibandingkan remaja seusianya. Rose pun mengabdikan diri pada kepentingan ayahnya. Ia membuat kliping surat kabar -- suatu hal yang membuatnya merasa perlu mengetahui perkembangan berita, sesuatu yang cukup aneh pada awal abad ke-20 bagi seorang gadis. Bahkan kemudian ia mendirikan dan memimpin klub sosial yang diberi nama Ace of Clubs. Kegiatan klub ini: mendiskusikan masalah nasional dan internasional mengajarkan agama Katolik pada kalangan bawah dan membantu menyeleksi buku-buku di perpustakaan umum. Bagi JFF, putri kesayangannya ini memang mengagumkan. Atletis, cantik, cerdas, dan mudah bergaul. Ketika masih di SMA di Boston, Rose yang berambut hitam itu terpilih sebagai siswi tercantik. Ia lulus SMA pada usia yang masih muda, 15 tahun. Maka, orangtuanya mencegah ketika ia berniat meneruskan ke sebuah college. Menunggu waktu, ia mengikuti kursus piano. Baru kemudian ia, bersama adiknya, Mary Agnes Fitzgerald, dikirimkan ke Blumenthal -- selain agar putrinya berkembang, alasan yang lain adalah agar Rose dan Agnes terhindar dari masalah skandal keuangan pemerintahan kota yang melibatkan ayahnya. Di Belanda itulah ia menguasai bahasa Prancis dan Jerman, dan mengembangkan minatnya pada musik ke opera. Setahun dalam sepi, jauh dari rumah, remaja Rose mengalami perkembangan pribadi yang jadi bekal penting dalam hidupnya selanjutnya. Ia seolah menemukan bagian lain dari pribadinya, yakni minatnya pada agama. Gadis yang periang itu ternyata menyimpan sesuatu yang dalam, rasa religiusnya. Di masa itu ia mengalami semacam "pertemuan dengan-Nya, bebas dari keduniawian yang semu dan merusak, saya menemukan dalam diriku tempat untuk Tuhan". Pribadi Rose kemudian berkembang dengan amat seimbang -- dan inilah yang membuatnya tak patah ketika sejumlah anaknya meninggalkannya secara tiba-tiba: anak sulungnya meledak bersama pesawat pengebomnya pada Perang Dunia II dalam usia 29 tahun Kathleen, anak keempatnya, tewas semasa masih 28 tahun, ketika pesawatnya jatuh di Prancis JFK, 45 tahun, anak keduanya, ditembak penembak gelap pada 1963: Robert, 43 tahun, anak ketujuhnya, pun ditembak pada 1968 dan Rosemary, anak ketiganya, ternyata terbelakang pertumbuhan mental dan kecerdasannya. Sebagai ibu, ketika ia menyaksikan Amerika makin sekuler, sementara para emigran Irlandia beramai-ramai berlomba untuk menjadi "Amerika", Rose memutuskan untuk tetap memelihara "jalan lama". Ia menekankan di rumah tangganya, pada anak-anaknya terutama, bahwa agama itu penting. Bukan masalah ritualnya, tapi menyadari dan merasakan kehadiran Tuhan. Tuhan bukan "hanya kita rasakan pada hari Minggu, tapi di seluruh hidup kita," tulisnya dalam memoarnya. Rose Kennedy bertemu pertama kali dengan calon suaminya ketika mereka masih kanak-kanak, di sebuah pantai yang jadi favorit keluarga Irlandia berlibur: Pantai Orchard Tua di Maine. Sebuah foto kenangan mengabadikan Rose, 5 tahun, duduk berdampingan dengan Joseph Patrick Kennedy, 7 tahun, di beranda hotel dikelilingi sanak-kenalan keluarga Fitzgerald dan Kennedy. Dan sekitar 10 tahun kemudian, Rose dan Joe -- nama panggilan Joseph -- bertemu kembali di tempat yang sama. Yang berbeda, waktu itu mereka tak lagi cuma berkejar-kejaran dan bermain pasir, tapi sesuatu tumbuh di hati masing-masing: roman mereka yang pertama. Di mata Rose, Joe, siswa Sekolah Latin Boston, yang tinggi dan pirang dan percaya diri sangat mengesankan. "Senyum itu sungguh menakjubkan, membuat wajahnya menjadi sepenuhnya berseri dan langsung memberi kesan pada siapa saja," itulah tulis Rose tentang remaja pria yang pandai bicara dan cerdas, yang berwibawa dan sangat menguasai diri. Sebaliknya, kesan yang baik-baik itu pula yang direkam dalam hati si pemuda. Perjalanan cinta mereka sungguh menarik karena ternyata ayah Rose tak begitu suka pada Joe -- pemuda yang dipandangnya kurang cocok dengan putrinya yang sangat berharga. JFF punya calon sendiri, anak seorang pengusaha konstruksi yang kay-araya, yang bertetangga. Bagi Rose inilah kedua kalinya ia bersimpang jalan dengan ayahnya. Pertama, ketika ia ingin masuk college begitu lulus SMA. Waktu itu ia mengalah karena usianya memang masih belum memenuhi syarat. Kini, ia bertekad untuk memilih kata hatinya sendiri. Bila JFF mengirim Rose ke Blumenthal, Belanda, juga karena ingin menjauhkannya dari Joe. Juga ketika ia mengirimkan anaknya ke New York. Tapi salahlah si bapak bila ia berharap jarak akan menjauhkan keduanya. Sepulang dari Blumenthal, Rose makin akrab dengan Joe, yang waktu itu sudah mahasiswa di Harvard, seorang pemuda dengan cita-cita tinggi: keagungan, kekayaan, dan sukses. Di halaman kampus Harvardlah cinta mereka terpupuk dan tumbuh makin kuat. Rose, yang memanfaatkan kesibukan bapaknya, selalu mencuri waktu menemui Joe. Hingga suatu hari, John Francis Fitzgerald tak bisa menolak kemauan putri pertamanya itu. Suatu hari ia pulang ke rumah dan disambut istrinya di ambang ruang tengah dengan wajah marah dan sepucuk surat di tangannya. Dan di belakangnya, putri kesayangannya dengan wajah angker memandang dingin kepadanya. JFF tahu, surat itu tentu tentang Toodles, gadis iklan rokok berusia 23 tahun yang menggairahkan, yang digosipkan ia cium di suatu malam. JFF membujuk anak-istrinya agar berkepala dingin. Ini pemerasan, katanya, untuk menjatuhkannya dari kursi wali kota. Toh, sejak itu tidurnya tak nyenyak, kesehatannya terganggu. Dan suatu hari ketika ia sibuk memeriksa rumah-rumah susun untuk kalangan bawah -- setelah terjadi kebakaran di sebuah rumah susun dan ia menyaksikan penghuninya yang terbakar atau tewas karena meloncat dari jendela, karena tak ada tangga penyelamatan -- ia terjatuh dan pingsan. Orang menduga karena ia terlalu capek menginspeksi perumahan. Tapi Rose -- dan mungkin ibunya -- tahu yang sebenarnya membuat capek JFF adalah soal Toodles. Maka, ditambah sukses Joe, yang kemudian jadi seorang bankir dan sukses, pertunangan Rose dan Joe (Juni 1914) berlangsung damai. Mereka menikah empat bulan kemudian. Pernikahan inilah yang menjadi peletakan batu pertama dinasti Kennedy yang populer itu. Sebenarnya kurang jelas siapa di antara keduanya yang pertama -tama berambisi membentuk "keluarga yang paling eksklusif di dunia", yang mendorong anak-anaknya memiliki ambisi politik, karena harta bukan lagi persoalan (mereka mewariskan US$ 1.000.000 untuk tiap anak). Yang jelas, istilah keluarga-eksklusif itu datang dari Joe. Ayah ini pula yang berada di belakang buku karangan JFK, Profiles in Courage, yang sesungguhnya ditulis oleh Theodore Sorensen. Dan berkat lobi si ayah pula akhirnya buku itu memenangkan Hadiah Pulitzer yang prestisius pada 1957. Tapi si ibu, Rose Kennedy, tak kurang ambisiusnya. Setidaknya, sejak Joe diangkat sebagai duta besar AS untuk Inggris, ia tak lagi cuma mengurus rumah dan anak-anak. Ia kembali jadi publicfigure, dan mendorong anak-anaknya untuk mengikuti jejaknya. John Kennedy (Junior), 29 tahun kini, seorang pengacara di New York City, bercerita pada majalah Life, Juli 1990. Ketika ia lulus SMA, ia pun mengadakan pesta semalam suntuk. Paginya, sementara orang-orang masih pulas, Rose, neneknya, yang tinggal tak jauh dari situ, datang. Ia langsung membangunkan yang tidur dengan tongkatnya, mengajak mereka pergi ke gereja. Ajakan itu, kata John, begitu mendesak hingga orang sulit menolaknya. Si nenek lalu menarik kursi, duduk, dan mulai membuka diskusi. Mengapa mereka masih tidur di pagi yang indah itu? Apa yang akan mereka lakukan dalam hidup ini? Akhirnya enam di antara mereka benar-benar ikut si nenek ke gereja. Rose Kennedy, dalam usia lanjutnya, ternyata, masih memegang kendali. Mungkin itu karena ia tak banyak menoleh. Ia menjalani hidup seperti berjalan lurus, dengan norma-norma lurus, dengan ambisi lurus. Mungkin tepat gambaran Gloria Swanson, aktris film yang hampir meruntuhkan keluarga Kennedy karena skandalnya dengan Joe. Swanson tak habis tahu mengapa Rose seperti tak tersentuh dengan petualangan asmara suaminya. Tak ada isyarat sedikit pun apakah ia marah, cemburu, sakit hati pada Swanson. Bahkan ia berbaik -baik dengan aktris itu ketika menyertainya dalam perjalanan sebuah filmnya ke Eropa sebagai istri produsernya. Kata Swanson mengenang: "Apakah ia tolol, atau ia seorang suci? Atau ia seorang pemain sandiwara yang sangat ulung?" Seperti tak ada yang layak diperhatikan kecuali ambisi, ambisi, dan ambisi mengorbitkan anak laki-lakinya ke puncak karier: jadi presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus