Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

IM57+ Institute Anggap Putusan Sela Gazalba Saleh Bermasalah, KPK Seolah-olah di Bawah Kendali Jaksa Agung

IM57+ Institute menganggap putusan eksepsi terhadapa Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh oleh Pengadilan Tipikor menandakan pelemahan KPK.

29 Mei 2024 | 11.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar
(Dari kanan) Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha dan mantan penyidik KPK Novel Baswedan usai mengajukan uji materiil terhadap UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat pada Selasa, 28 Mei 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - IM57+ Institute menganggap putusan eksepsi terhadapa Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh oleh Pengadilan Tipikor menandakan adanya pelemahan terhadap independensi Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. “Ini melemahkan indepedensi fungsi penindakan KPK, di mana ternyata Hakim berpotensi ikut serta di dalamnya,” kata Ketua IM57+ Institute, M. Praswad Nugraha dalam keterangannya, Rabu, 29 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada putusan eksepsi itu, kata Praswad, hakim mempertimbangkan Direktur Penuntut Umum KPK harus mendapatkan delegasi dari Jaksa Agung. Padahal salah satu pilar dari independensi KPK adalah one roof enforcement system. Artinya proses pengaduan masyarakat, penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan berada di satu atap dan tak boleh diintervensi oleh lembaga lainnya. “Karena tujuan awal pendirian KPK untuk mengakselarasi pemberantasan korupsi ketika lembaga lain tak optimal menjalankan fungsinya,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebab itu, Praswad menganggap desain kekhususan tercemin dalam UU KPK sebagai lex specialis dari UU lainnya. Apabila ini diterapkan, kata dia, maka indepedensi KPK akan hilang karena setiap proses penuntutan harus mendapatkan persetujuan dari Jaksa Agung melalui delegasi. “Artinya otoritas penuntutan KPK berada di bawah Jaksa Agung,” ujarnya.

Tak hanya itu, Praswad juga menuturkan dampak putusan sela Gazalba Saleh itu yang signifikan, karena mampu menimbulkan upaya para tersangka dan terdakwa KPK menggunakan pendekatan yang sama. “Pada akhirnya akan terjadi banjir upaya eksepsi dengan menggunakan dasar yang sama, sehingga pada akhirnya upaya penuntutan KPK menjadi sia-sia,” ujar Praswad.

Ia pun mempertanyakan tujuan dari rangkaian itu karena sebelumnya hakim mengabulkan praperadilan terhadap Wamenkumham Eddy Hiariej dengan dasar proses penyidikan KPK harus mengikuti proses yang umum dan tak sesuai dengan definisi dalam UU KPK. Menurut dia, indikasi itu menjadi sinyal adanya upaya pelemahan KPK yang berpotensi terjadi secara sistematis pasca revisi UU KPK. “Perlu didalami adanya potensi konflik kepentingan dalam penanganan perkara hakim agung ini karena dilakukan di luar kewenangan eksepsi dan didasarkan pada alasan yang tak sesuai UU KPK,” ujarnya.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menilai Direktur Penuntutat Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tak mendapatkan delegasi kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung guna menuntut Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh, sehingga mengabulkan eksepsi yang diajukan Gazalba. “Silakan dilengkapi surat-suratnya, administrasinya, pendelegasiannya. Kalau ada diajukan lagi bisa kok, ini hanya formalitas saja,” kata Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri saat membacakan putusan sela di PN Jakarta Pusat, Senin, 27 Mei 2024.

Hakim Anggota Rianto mengatakan kendati KPK secara kelembagaan memiliki tugas dan fungsi penuntutan, namun Direktur Penuntutan KPK tak pernah mendapatkan pendelegasian kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi sesuai dengan asas Single Prosecution System. “Artinya, tak disertai pendelegasian wewenang sebagai penuntut umum dan tak adanya keterangan (penjelasan) tentang pelaksanaan wewenang serta instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang. Sehingga dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat pendelegasian tersebut di atas,” ujarnya.

Berdasarkan pertimbangan  majelis hakim, setiap jaksa pada KPK yang bertindak sebagai penuntut umum dalam melakukan penuntutan setiap perkara Tipikor dan TPPU adalah berdasarkan surat perintah Direktur Penuntutan KPK, sementara yang bersangkutan tak memiliki wewenang. “Surat perintah Jaksa Agung harus terlebih dahulu diterbitkan penunjukan penuntut umum untuk menyelesaikan perkara dari Direktur Penuntutan KPK berdasarkan Pasal 18 Ayat 1 UU No 11 Tahun 2021,” katanya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus