Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Donald Trump berulang kali menyatakan Amerika Serikat tidak merencanakan perang melawan Iran dengan berbagai manuver yang dilakukan untuk menekan negara Teluk itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manuver terbaru Trump adalah menjatuhkan sanksi kepada Iran yang diklaim belum pernah terjadi pada hari Senin, 24 Juni 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sanksi itu menyasar pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei dan delapan pejabat tinggi di pasukan Garda Revolusi Iran.
AS membekukan seluruh aset Khamenei dan melarang transaksi keuangan dengan pihak lain.
Sebuah sinyal yang dinilai pengamat, Trump bermaksud menjatuhkan rezim berkuasa di Iran. Lagi-lagi Trump membantahnya.
"Sanksi akan berlaku terhadap pemimpin tertinggi dan kantor pemimpin tertinggi, dan mereka yang berafiliasi, dan memiliki akses ke sumber daya keuangan utama kantor pemimpin tertinggi," kata Trump, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Trump memutuskan Iran dihukum setelah insiden pasukan Garda Revolusi Iran dituding menembak jatuh drone pengintai Global Hawk milik Pentagon saat berada di ketinggian 20 ribu kaki dari atas permukaan air.
Drone senilai US$ 110 juta yang ditembak itu membuat panas AS. Situasi semakin tegang ketika Iran menuding drone itu telah memasuki perairan Iran, tepatnya di dekat kota Kouh-e Mobarak. Sementara militer AS mengklaim drone itu berada dalam jarak 34 kilometer dari wilayah terdekat Iran, itu artinya drone berada di luar wilayah Iran.
Iran yang selama ini hidup dalam tekanan AS hampir kehabisan rasa sabar setelah AS tahun lalu menarik diri dari kesepakatan perjanjian nuklir Iran dengan 6 negara digdaya pemilik senjata nuklir yang diteken tahun 2015. Untunglah, 5 negara lainnya berusaha menenangkan Iran untuk tidak menarik diri dari perjanjian itu.
Sanksi yang dijatuhkan Trump kemarin, sepertinya tidak lagi menyisakan rasa sabar Iran. Juru bicara Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Mousavi mengatakan, sanksi AS telah menutup pintu diplomasi secara permanen antara Teheran dan Washington.
"Memberlakukan sanksi tak berguna kepada pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dan Komandan diplomasi Iran (Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zahri) sebagai cara menutup pintu diplomasi secara permanen," kata Abbas Mousavi, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran melalui Twitter sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, 25 Juni 2019.
P"emerintahan putus asa Trump tengah menghancurkan mekanisme internasional yang didirikan untuk membangun perdamaian duni anda keamanan," kata Mousavi.
Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif yang juga ikut dikenai sanksi oleh AS mengungkapkan ada sekelompok orang di sekeliling Trump yang haus perang. Kelompok yang disebutnya Tim B berupaya menolak diplomasi.
Zarif kemudian menyebut nama-nama kelompok tim B yang haus perang itu di antaranya penasehat keamanan nasional AS, John Bolton dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Melihat sikap Iran yang tidak terpancing untuk menggunakna kekerasan menjawab sanksi AS, merupakan salah satu indikator Iran masih berupaya menolak menggunakan kekerasan perang terhadap sikap pemerintahan Trump.
Dewan Keamanan PBB menyerukan kedua negara untuk menahan diri agar ketegangan di sini dapat diredakan dan membuka dialog untuk membahas perseteruan tajam Iran - AS. Dewan Keamaman PBB mengatakan, semua pihak yang berkepentingan di kawasan itu harus menahan diri secara maksimal dan mengambil tindakan untuk mengurangi eskalasi dan ketegangan. Semua pihak yang peduli telah mengkalkulasi biaya yang timbul jika perang di Teluk pecah.