Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan surat yang ia kirimkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait polemik pencalonan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang atau Oso, adalah prosedur yang biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, Istana hanya meneruskan surat dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Pratikno menjelaskan ketentuan ini merujuk pada Pasal 116 Ayat 6 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2019 tentang PTUN.
"Jadi intinya setiap kali ada surat dari Ketua PTUN, Mensesneg atas nama Presiden itu mengirim surat kepada pihak yang diwajibkan oleh PTUN untuk menindaklanjuti. Itu selalu begitu," katanya saat ditemui Tempo usai salat Jumat di Masjid Baiturrohim, Kompleks Istana Negara, Jakarta, Jumat, 5 April 2019.
Pasal 116 UU tersebut mengatur ketua pengadilan harus lapor kepada Presiden jika ada pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan. Hal ini bertujuan agar presiden bisa memerintahkan pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan pengadilan.
Ia menjelaskan surat kepada KPU terkait putusan PTUN bukan lah yang pertama kali. Sebelumnya, kata dia, ada surat-surat lain dari Mensesneg kepada pihak manapun perihal putusan PTUN. "Itu sudah berkali-kali. Kepada siapa saja, kepada menteri, kepada KPU, dan seterusnya," kata dia. "Makanya di situ, kan, kalimatnya, kan, karena kami diminta oleh undang-undang untuk mengawal tindak lanjut. Makanya kami kirim suratnya itu."
Simak kelanjutannya: Bagaimana isi surat Istana kepada KPU terkait Oso?
Pratikno membantah jika surat tersebut dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah kepada KPU. Ia memastikan jika KPU adalah lembaga yang independen.
"Enggak-enggak. Kami paham betul bahwa KPU lembaga independen. Makanya, kan, rujukannya di situ sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kami sadar ada beberapa undang-undang yang harus dirujuk oleh KPU. Itu nanti telaahnya KPU," ujarnya.
Sebelumnya beredar surat dari Pratikno kepada Ketua KPU terkait polemik pencalonan Oesman Sapta. Berikut kutipan dari surat yang beredar luas di kalangan wartawan:
'Bersama ini dengan hormat kami sampaikan bahwa dengan berdasarkan Pasal 116 ayat (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah beberapa kali dibahas terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan surat Nomor W2.TUN1.704/HK/III/2019 tanggal 4 Maret 2019 kepada Presiden menyampaikan permohonan agar memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (Tergugat) untuk melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) yaitu Putusan Pengadiian Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT.
Sehubungan dengan hal tersebut, dan berdasarkan arahan Bapak Presiden, maka kami sampaikan surat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dimaksud beserta copy Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Saudara untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Atas perhatian Ketua Komisi Pemilihan Umum, kami ucapkan terima kasih.
Baca kelanjutannya: Bagaimana KPU merespon surat ini?
Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Supandi menganggap KPU telah melanggar hukum karena tidak menjalankan putusan pengadilan mengenai Oso.
Simak juga: KPU Lapor Polisi Soal Video Hoax Server KPU
"Oso sudah memegang putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dia juga sudah meminta pejabatnya untuk merealisasikan, kalau pejabatnya tidak mau berarti sedang melakukan perbuatan melanggar hukum," kata dia di MA, Jakarta, Jumat, 5 April 2019.
Putusan MA terkait pencalonan Oso sebagai caleg DPD berawal dari gugatan terhadap Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018. Beleid itu melarang pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD. Aturan KPU dibuat atas keputusan MK usai uji materi Pasal 128 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945.
Gugatan Oso dimenangkan MA karena PKPU itu dianggap tidak berkekuatan hukum tetap. Meski dalam aturan, putusan MK bersifat mengikat sehingga PKPU yang dibuat seharusnya sah. Oso juga menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) lantaran namanya dicoret dari daftar calon anggota DPD. Dia mendesak namanya dimasukkan kembali. Dampaknya, KPU kini dihadapkan pilihan antara putusan MA dan MK yang saling bertentangan.
Kendati demikian, didasari keputusan MK, KPU berkukuh tidak akan memasukan nama Oso dalam DCT anggota DPD Pemilu 2019. KPU meminta Oso harus mundur dulu posisinya sebagai pengurus parpol jika ingin namanya dicatat di DCT.
Komisi Pemilihan Umum angkat bicara terkait polemik ini. Komisioner Komisi KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, mereka tetap tidak akan memasukkan nama Oso untuk Pemilu 2019.
KPU tetap akan menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan Oso tidak bisa mencalonkan sebagai anggota DPD RI, karena merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Partai Hanura.
“Terdapat alasan hukum yang kuat bagi KPU untuk tidak mencantumkan Oesman Sapta dalam daftar calon tetap perseorangan peserta Pemilu anggota DPD tahun 2019,” kata Hasyim melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Jumat, 5 April 2019.
Hasyim mengakui, KPU mendapat surat dari Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) terkait putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) soal OSO. “KPU tetap pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018,” katanya.
Menurut dia, putusan MK tersebut sudah berkekuatan hukum tetap. Sehingga, putusan tersebut bersifat mengikat dan sudah sesuai dengan Undang-undang. “Apabila suatu lembaga tidak tidak menjalankan putusan MK hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” ujarnya.
AHMAD FAIZ IBNU SANI | ROSSENO AJI