Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Minyak Tanah Dan Pemerataan

Harga minyak tanah naik karena pemerintah mengurangi subsidi kepada Pertamina. Harga eceran minyak tanah melebihi harga jual Pertamina, sehingga masyarakat memikul beban subsidi/pajak pemerintah itu.

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENURUT SK Gubernur Kalimantan Selatan nomor 45 tahun 1979 ditetapkan HET (Harga Eceran Tertinggi) minyak tanah untuk sepuluh daerah di Kal-Sel. Antara lain, untuk Banjarmasin sebesar Rp 30 tiap liter sebagai daerah yang termurah dalam penentuan HET minyak tanahnya. Kotabaru sebagai daerah termahal dengan HET Rp 50, tiap liter. Sedangkan Tanjung dengan HET Rp 38 tiap liter merupakan daerah pertengahan menurut keputusan ini. Namun, menurut pengamatan wartawan yang berada di sana, harga penjualan dari tukang pikul keliling tidak kurang dari Rp 40 per liter, sedangkan kalau langsung membeli di agen cuma sebesar Rp 35 per liter. Pelajaran apa yang dapat kita tarik dari kenyataan ini? Subsidi BBM Dalam penerbitan Ekonomi dan Keuangan Indonesia No. 2, Juni 1979, LML Tobing mengemukakan suatu pembahasan yang menarik mengenai "Subsidi BBM". Mengamati bahwa jenis BBM yang disebut kerosene telah dipergunakan secara intensif oleh rumahtangga-rumahtangga, Tobing melihat hubungan antara harga minyak tanah ini dengan subsidi yang diterima oleh masyarakat. Mendasarkan perhitungannya sebelum ada kenaikan harga BBM, diperoleh gambaran bahwa biaya keseluruhan (total cost) untuk menghasilkan kerosene per liternya sebesar Rp 32 90, sedangkan harga jual Pertamina hanya Rp 18 tiap liter dan harga tukang pikul keliling sebesar Rp 30 tiap liter. Penyaluran minyak tanah, dalam prakteknya, dilakukan oleh dealers Pertamina. Dengan perhitungan di atas, balas jasa yang diterima para dealer ini sebanyak Rp 12 tiap liter sedangkan subsidi yang diberikan Pemerintah kepada Pertamina sebanyak Rp 14,90 tiap liter. Bagi konsumen yang membeli lewat tukang pikul keliling akan menerima "subsidi" sebesar Rp 2,90 tiap liter. Persoalannya, siapa yang menikmati "subsidi" terbanyak? Pada salah satu tabel yang terdapat dalam artikelnya tersebut, Tobing memberikan gambaran penyebaran pemakaian minyak tanah di daerah Jawa-Madura dalam tahun 1976 dalam liter per kapita tiap bulannya, sebagai berikut: Gol. Penduduk Kota & Desa Desa Kota Lapisan termiskin (pengeluaran per kapita/bulan s/d Rp 4.000) 1,9 1,4 0,5 Lapisan menengah (pengeluaran per kapita/bulan Rp 4.000 s/d Rp 8.000) 5,2 4,0 1,2 Lapisan terkaya (pengeluaran per kapita/bulan Rp 8.000 ke atas) 8,3 6,74 1,56 Jelas bahwa golongan terkaya, baik di desa maupun di kota, yang mempergunakan minyak tanah dalam relatif lebih banyak, ternyata telah menikmati "subsidi" dari Pemerintah tersebut dalam jumlah yang lebih besar pula. Kalau kita tetap mengikuti perhitungan Tobing, ternyata kota-kota di wilayah Jawa-Madura sendiri telah mengkonsumir sebanyak 3,922 liter per kapita setiap bulan dibanding dengan konsumsi rata-rata untuk Indonesia yang hanya sebesar 5,911 liter per kapita tiap bulan. Jelas wong Jowo inilah yang lebih banyak menikmati "subsidi BBM" tersebut ketimbang saudara-saudaranya yang berdiam di luar tanah Jawa. Aspek Pemerataan Dengan kenaikan harga-harga BBM, harga jual Pertamina juga ikut naik menjadi Rp 25 tiap liter, sedangkan harga tukang pikul keliling rata-rata menjadi sebesar Rp 40 tiap liter. Pemerintah memang masih memberikan subsidi kepada Pertamina sebesar Rp 32,90 tiap liter. Tetapi sekarang Pemerintah menarik "pajak" dari konsumen akhir sebesar Rp 7,10/liter dengan asumsi pula setiap pemakai bahan bakar minyak tanah harus membeli kepada tukang pikul keliling dan tidak langsung kepada agen. Sementara itu para dealer, yang memang tidak akan pernah rugi, menerima balas jasa Rp 15 tiap liter atau kenaikan sebesar 25% dari keuntungan semula. Kenaikan ini memang sudah patut diterima sebagai jerih payah usaha "wiraswasta" mereka. Nah, sekarang, kelompok terkaya yang merupakan pemakai terbesar dari minyak tanah tidak lagi menikmati subsidi Pemerintah, malahan harus membayar "pajak". Lalu, bagaimana dengan SK Gubernur Kal-Sel? Jelas 'kan. Masyarakat Banjarmasin masih diberi kesempatan menikmati "subsidi" sebesar Rp 2,90 tiap liter, sedangkan penduduk Kotabaru diminta membayar "pajak" sebanyak Rp 17,10 tiap liter. Jangan pula dilupakan, masyarakat banyak yang hanya bisa dan mampu membeli minyak tanah dari tukang pikul keliling, menurut laporan wartawan Kompas, telah membayar "pajak" sebesar Rp 7,90 tiap liter. Sementara itu, segolongan anggota masyarakat yang nampu dan dapat secara langsung membeli minyak tanah ini di agen, "cuma kena pajak" sebanyak Rp 2,10 tiap liter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus