Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAYANGAN berita politik selama sepekan terakhir membuat para ketua umum partai anggota koalisi pemerintah perlu menemui Presiden Joko Widodo. Pertemuan pada Selasa pekan lalu itu digelar di Istana Merdeka. Politikus-politikus senior datang melalui pintu samping Wisma Negara, berangkat dari rumah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
"Kami menggelar rapat dulu sebelum bertemu dengan Presiden," kata Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan versi Muktamar Surabaya, Romahurmuziy.
Dari pemimpin partai koalisi pemerintah, hanya Surya Paloh yang tak hadir. Ketua Umum Partai NasDem itu menunjuk sekretaris jenderalnya, Patrice Rio Capella, hadir mewakilinya. "Pak Surya lagi ke luar negeri," ujar Patrice.
Megawati, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, serta Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Sutiyoso hadir. Wakil Presiden Jusuf Kalla duduk di samping Presiden Joko Widodo di ujung meja. Mereka awalnya membicarakan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat serta perpanjangan kontrak penambangan emas Freeport di Papua.
Pada akhirnya, status pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI juga dibahas. Menurut Sutiyoso, petinggi partai koalisi meminta Presiden memutuskan nasib Budi setelah putusan praperadilan. Jika putusan praperadilan menerima gugatan Budi, kata dia, koalisi mendesak Jokowi melantiknya. "Jika tidak, kami serahkan semuanya ke Presiden," ujar mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Politikus yang mengikuti pertemuan 75 menit itu menuturkan, Presiden Jokowi lebih banyak diam. Ia sesekali menjawab pertanyaan. "Mungkin karena Presiden sudah punya keputusan sendiri soal Budi Gunawan," katanya.
Seorang petinggi partai menceritakan, pertemuan di Istana mendadak digelar karena koalisi menangkap kecenderungan Jokowi membatalkan pelantikan Budi tanpa menunggu putusan praperadilan. Mereka juga mendengar Jokowi sudah meminta riwayat calon baru Kepala Polri. Situasi kian panas karena Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengimbau Budi Gunawan mundur agar kisruh segera selesai. Adapun Budi menolak mundur dan menunggu hasil praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut politikus yang lain, sudah lebih dari sepekan Jokowi memutuskan membatalkan pelantikan Budi Gunawan agar konflik antara KPK dan Polri tidak semakin keras. Ia mengikuti saran sejumlah tokoh—yang kemudian dikenal sebagai Tim Sembilan—agar tidak melantik calon Kepala Polri yang berstatus tersangka. Tim yang dipimpin mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif itu meminta Presiden segera mengambil keputusan soal Kepala Polri ini.
Alih-alih menjawab lugas permintaan pemimpin partai koalisi pendukungnya, Jokowi menelepon Syafii. Ia mengatakan keputusannya tidak melantik Budi Gunawan. Syafii menyebarkan informasi dari Presiden kepada anggota tim: Jimly Asshiddiqie, Erry Riyana Hardjapamekas, Tumpak Hatorangan Panggabean, Oegroseno, Bambang Widodo Umar, Imam Prasodjo, Hikmahanto Juwana, dan Sutanto.
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan Jokowi awalnya menyiapkan beberapa pilihan. Presiden telah dua kali meminta Budi Gunawan mundur, yakni setelah komisi antikorupsi mengumumkan status tersangkanya dan setelah Dewan menyetujui pencalonan Budi sebagai Kapolri. Namun Budi menolak dua kali permintaan itu.
Presiden juga pernah mempertimbangkan melantik Budi lalu segera menonaktifkannya dari jabatan Kepala Polri. Namun pilihan ini tak dijalankan karena tak sesuai dengan moral politik. Ada juga pilihan membatalkan pelantikan Budi Gunawan dan mencalonkan nama baru. "Ada juga pilihan status quo sambil menunggu kalkulasi baru," ujar Andi.
Pilihan status quo dianggap terlalu lama. Perhitungannya, perlu sedikitnya empat bulan hingga putusan praperadilan Budi Gunawan berkekuatan hukum tetap. Dalam waktu itu, hubungan Kepolisian dan KPK bisa saja semakin panas. Karena itu, pilihan Jokowi adalah membatalkan pelantikan dan mencalonkan nama baru.
Presiden Jokowi memanggil Komisi Kepolisian Nasional ke Istana Merdeka, Kamis dua pekan lalu. Ketua Komisi Tedjo Edhy Purdijatno, yang juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, hadir. Presiden menanyakan riwayat sejumlah jenderal polisi bintang tiga dan dua. "Pak Jokowi menanyakan bagaimana track record si A, B, C," kata anggota Komisi, Muhammad Nasser.
Sebagian nama yang ditanyakan pernah diusulkan Komisi Kepolisian dalam suratnya kepada Presiden, 8 Januari lalu. Di antaranya Inspektur Jenderal Pengawasan Umum Komisaris Jenderal Dwi Prayitno (lulusan Akademi Kepolisian 1982), Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Anang Iskandar (Akpol 1982), serta Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan Komisaris Jenderal Putut Eko Bayuseno (Akpol 1984).
Menurut Nasser, Komisi Kepolisian menyarankan Presiden memilih calon Kepala Polri dari angkatan 1982-1985. Jika paling banyak angkatan 1982-1984, sebaiknya itu yang dipilih. Sebab, "Jika terlalu muda angkatannya, masa pensiunnya masih lama," ujar Nasser.
Pertanyaan Jokowi menjadi sinyal bagi Komisi Kepolisian untuk menyeleksi calon pengganti Budi. Adrianus Meliala ditunjuk sebagai komisioner yang bertanggung jawab atas penelusuran riwayat calon. Kamis pekan lalu, dalam rapat yang digelar di kantor Tedjo Edhy, empat nama diusulkan. Mereka diwawancarai dan hasilnya akan diserahkan kepada Presiden pada Senin pekan ini.
Mereka adalah Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, Dwi Prayitno, Putut Eko Bayuseno, dan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Budi Waseso. Komisaris Jenderal Suhardi Alius, yang dicopot dari jabatan Kepala Badan Reserse Kriminal setelah kisruh ini, dicoret dari pencalonan. Alasannya, alumnus Akpol 1985 itu dianggap terlalu muda. Adapun Budi Waseso masuk bursa setelah Kamis pekan lalu resmi menyandang pangkat jenderal bintang tiga.
Sebenarnya, ada juga jenderal bintang dua angkatan 1984 yang masuk bursa, yaitu Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Anas Yusuf. Namun ia bisa masuk bursa hanya jika Budi Gunawan mengundurkan diri dari jabatan Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian. "Soalnya, tak ada posisi kosong yang bisa membuatnya naik ke bintang tiga untuk memenuhi syarat administratif calon," kata seorang anggota Komisi.
Sejak menggantikan Suhardi Alius sebagai Kepala Badan Reserse, Budi Waseso menjadi perhatian publik. Ia menuding ada pengkhianatan di Markas Besar Kepolisian dalam penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka. Ia juga ikut mendampingi Budi Gunawan pada saat uji kelayakan dan kepatutan calon Kepala Polri di DPR pada 14 Januari 2015. Soal kedekatannya dengan Budi Gunawan, Budi Waseso mengatakan, "Wajar karena saya anak buahnya."
Budi Waseso dan Budi Gunawan memang susah dipisahkan. Sebelum ke Badan Reserse Kriminal, Budi Waseso adalah Kepala Staf dan Pimpinan Polri di Lembaga Pendidikan Kepolisian yang dipimpin Budi Gunawan. Struktur itu langsung di bawah Budi Gunawan. Angkatan 1984 Akademi Kepolisian itu terhitung dua kali bekerja dalam satu garis komando. Pada April 2010, Budi Waseso menjadi Kepala Pusat Pengamanan Internal di bawah Budi Gunawan sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Saat menjabat Kepala Pusat Pengamanan Internal Mabes Polri, Budi Waseso menangkap mantan Kepala Badan Reserse Komisaris Jenderal Susno Duadji saat hendak terbang ke Singapura. Ketika itu, KPK menetapkan Susno sebagai tersangka korupsi dana pengamanan pemilihan Gubernur Jawa Barat.
Kini Budi Waseso masuk bursa setelah naik pangkat menjadi komisaris jenderal. Jika terpilih, ia bisa mengikuti jalur Jenderal Timur Pradopo untuk menjadi Kapolri. Pada Oktober 2010, Timur mendapat kenaikan pangkat menjadi jenderal bintang tiga ketika ditunjuk sebagai Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan. Posisi itu hanya dijabat sementara dari jabatan sebelumnya sebagai Kepala Polda Metro Jaya. "Secara hierarki, dipercepat satu bintang tak jadi masalah," ujar Tedjo Edhy Purdijatno.
Kemungkinan Budi Waseso dicalonkan tak ditutup oleh orang dekat Jokowi. Apalagi Budi Gunawan disebutkan bersedia mundur jika calon penggantinya Budi Waseso. Ia menambahkan, peluang Budi Waseso bergantung pada hasil penelusuran Komisi Kepolisian Nasional.
Komisi Kepolisian memiliki lima syarat untuk calon Kapolri: berpangkat komisaris jenderal, menjabat kepala divisi, masa pensiun tersisa dua-tiga tahun, pernah memimpin kepolisian daerah tipe A dan B, serta posisi angkatannya. Dari semua nama yang terjaring dan diwawancarai, menurut komisioner Adrianus Meliala, hanya dua calon yang akhirnya memenuhi syarat: Dwi Prayitno dan Putut Eko Bayuseno. "Badrodin dan Budi Waseso ada kelemahan," kata Adrianus.
Menurut Adrianus, meski sama-sama dari angkatan 1982, masa kerja Badrodin ternyata tinggal 17 bulan. Ini berbeda dengan Dwi, yang akan pensiun dua tahun lagi. Adapun masa dinas Putut masih lima tahun lagi. Sedangkan Budi Waseso akan pensiun pada 2018. Namun Budi Waseso, menurut Adrianus, bisa tak lolos karena belum pernah memimpin kepolisian daerah tipe A.
Dwi menolak berkomentar tentang pencalonannya. Ia mengaku menyerahkan sepenuhnya kepada Komisi Kepolisian untuk memutuskan. Jokowi memastikan akan mengakhiri kisruh Kapolri pekan ini, sepulang dari lawatannya ke Malaysia dan Brunei Darussalam.
Agustina Widiarsi, Ananda Teresia, Reza Aditya, Tika Primandari, Singgih Soares
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo