PENDIAM, tajam sorot matanya, dan kalem. Itulah Sumanto, 30 tahun, warga Desa Pelumutan, Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah. Tapi, di balik lahirnya yang tenang, Sumanto punya perilaku yang mengerikan: memangsa daging manusia.
Menurut tim psikolog dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah setelah melakukan pemeriksaan berikut sejumlah tes psikologi selama dua hari pekan lalu, Sumanto disimpulkan sebagai seorang psikopat. Perbuatan yang dilakukan Sumanto betul-betul dalam keadaan sadar, bahkan dengan sebuah perencanaan yang bagus.
Mengapa dia menjadi seorang psikopat? ?Ceritanya panjang, yang dimulai dari masa kanak-kanaknya, kemudian pada masa remajanya, hingga dia merantau ke Lampung,? kata Ajun Komisaris Besar Polisi Poernomo, yang memimpin tim psikolog tersebut. Tim tersebut juga sudah melakukan cek silang kepada anggota keluarganya.
?Namun dia tidak pernah mengalami gangguan jiwa atau kelainan jiwa. Semua jawaban yang diberikan juga konsisten meski terkadang sedikit dilebih-lebihkan,? kata Poernomo, yang juga Kepala Dinas Psikologi Polda Jawa Tengah. Tentang perilaku kanibal, pihaknya menduga itu berawal dari hobi pesta berburu kijang bersama sesama buruh saat dia merantau.
Para buruh tebu itu mabuk-mabukan, teler, nyanyi-nyanyi, dan ramai-ramai memakan kijang. Suatu hari, ada teman Sumanto yang memberi contoh melubangi lengannya, kemudian memasukkan daging kijang ke lengan itu. Sayatan daging yang dimasukkan ke dalam tubuh itu disebutkan bakal menambah kekuatan. Sumanto terpancing, lalu menyayat-nyayat tangannya dengan test pen. ?Dengan begitu, dia mendapat pengakuan dari temannya,? tutur Poernomo, yang menyebut perilaku Sumanto termasuk kasus mutilasi-kanibalisme.
Dalam ranah ilmu jiwa manusia, kecenderungan kanibalisme merupakan sisi gelap manusia. Kasus kanibal memang terjadi walaupun sangat langka. Disebut menyimpang karena tak ada norma manusia yang membenarkannya. Satu-satunya mungkin ritus khusus terkait dengan latar belakang budaya yang primitif pada suku tertentu di masa lampau.
Tapi hal itu tidak otomatis dikatakan sebagai gangguan jiwa karena biasanya dipraktekkan dalam keadaan trance atau kesurupan. Contohnya perilaku suku terasing di pedalaman Papua Nugini, yakni Malaveyovo, semacam tradisi pengorbanan kepada roh halus. Juga di kawasan Tahiti, di Selandia Baru, atau salah satu ritus bangsa Azteca, Amerika Tengah, yang sudah berakhir prakteknya pada 1970-an.
Menurut Prof. Dr. Sasanto Wibisono, psikiater dari Departemen Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, perilaku kanibal mungkin saja terjadi sebagai kepercayaan dalam latar belakang kultur. Tapi, dalam hal kasus Sumanto, penjelasan ini tidak begitu mengena. Kemungkinan besar itu karena masyarakat Indonesia masih banyak yang mudah terpengaruh dengan hal-hal magis. Misalnya (secara magis) praktek untuk mendapatkan kekuatan tertentu.
Lepas dari itu, Sasanto yakin ada sesuatu yang tidak beres dalam diri Sumanto, setidaknya suatu kelemahan, atau gangguan dalam kepribadian. Tipenya apa, Sasanto tidak berani menyimpulkannya tanpa pemeriksaan langsung. ?Ada yang enggak beres dengan kepribadiannya. Perlu pemeriksaan lebih jauh. Kanibal ala Sumanto yang memakan mayat sungguh ganjil,? kata psikiater senior itu kepada Majalah TEMPO.
Kasus Sumanto bertambah menarik karena banyak kasus mutilasi-kanibalisme merupakan perilaku menyimpang dan itu didasari latar belakang yang panjang. Misalnya kasus Issei Sagawa, 51 tahun, yang melakukan mutilasi dan kanibalisme terhadap teman perempuannya, Renee Hartevelt, di Paris pada 1981. Dua tahun kemudian, jaksa menuntutnya dikirim ke rumah sakit perawatan mental, bukan ke hotel prodeo untuk dieksekusi. Ternyata dia punya obsesi kanibalisme sejak berusia 3 tahun, saat bermain-main memangsa ikan segar bohongan bersama pamannya.
Hal yang mirip terjadi pada kasus pembunuh berantai Arthur Shawcross, 55 tahun, dari Amerika Serikat. Jagal 11 perempuan, kebanyakan wanita tunasusila, antara Februari 1988 dan Januari 1990 itu, sebagaimana catatan kantor berita BBC, Februari 2001 silam, mengungkapkan pengalamannya saat mencoba memangsa daging manusia kala bertempur di Vietnam.
Akankah Sumanto berujung pada hukuman berat seperti dieksekusi atau dikurung seumur hidup? Yang pasti, Sumanto kini berada di ruang karantina di bangsal Sakura, Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas, Purbalingga. Setidaknya selama 10 hari ia menjalani pemeriksaan kesehatan lanjutan yang intensif, sebelum dilakukan proses hukum akibat perbuatannya.
Dwi Arjanto, Syaiful Amin (Purbalingga)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini