Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tembakan beruntun itu tiba-tiba memecah keheningan ketika bus karyawan PT Freeport Indonesia melintasi Timika. Timah panas menerobos kaca dan mencabut tiga nyawa sekaligus: dua warga negara Amerika Serikat serta seorang warga Indonesia. Beberapa penumpang lain luka-luka. Dari Washington hingga Jakarta, orang mengutuk peristiwa tersebut. Tiga hari setelah insiden berdarah itu, The Washington Post melansir sebuah berita mengejutkan.
Mengutip informasi dari berbagai sumber intelijen Amerika, harian terkemuka Amerika ini melaporkan bahwa Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto adalah tokoh di balik serangan berdarah tersebut. The Washington Post bahkan meyakini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah menyusun operasi militer terhadap PT Freeport. Kisah itu didukung data adanya rapat sejumlah petinggi militer Indonesia yang membahas operasi militer untuk Timika.
Jenderal Tono?begitulah Panglima TNI itu biasa disebut?kontan merasa gerah setelah membaca laporan tersebut. Apalagi, sebelum kasus Timika muncul, korps TNI juga tengah menanggung coreng yang lain di kening. Letnan Kolonel Hartomo?dan enam anak buahnya?dari Satgas Tribuana Kopassus menjadi tersangka dalam pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay.
Lebih dari sekadar gerah, Endriartono menggugat perdata The Washington Post senilai US$ 1 miliar (setara sekitar Rp 9 triliun). ?Tuntutan itu saya lakukan karena berita itu tidak benar. Sejak awal sudah beredar rumor di luar negeri bahwa TNI-lah yang menyerang mereka,? ujarnya kepada TEMPO. Dia melanjutkan: ?Jelas ada upaya memojokkan TNI.?
Selain menggugat, sang Jenderal juga mengundang Biro Penyelidik Federal (FBI) Amerika agar bergabung dengan Polri dan Puspom TNI dalam menginvestigasi kasus Timika. Dia mengaku, langkah itu diambilnya untuk menjaga independensi tim investigasi tersebut. Toh sejumlah politikus di Senayan sempat mengecam tindakannya. Mereka menilai langkah itu, selain meremehkan kemampuan aparat kita, perlu dipertanyakan aspek nasionalismenya. Apa jawaban Endriartono? ?Kehadiran FBI diperlukan untuk menjamin fairness investigasi tersebut.?
Papua sesungguhnya bukan wilayah asing bagi Endriartono. Pada tahun 1994, ia pernah menjadi Komandan Korem 173 Kodam Trikora. Setahun kemudian, ia menjadi perwira menengah di kodam yang sama. Tapi bukan karena urusan nostalgia bila dua pekan lalu dia menyambangi pulau tersebut. Jenderal berusia 56 tahun itu dianugerahi brevet anggota kehormatan dari Korps Marinir TNI-AL yang tengah menggelar latihan Operasi Amfibi di Pantai Sorong.
Endriartono juga mendapat hadiah lain: gelar panglima perang dari pemuka adat Malamooi dan Radja Ampat. Tak mengherankan jika kemudian muncul spekulasi politik: Endriartono sedang pamer kekuatan (show of force) kepada kelompok separatis di Papua dan dunia internasional.
Pekan lalu, Bernarda Rurit dari Tempo News Room mewawancarainya dalam dua kesempatan. Ini adalah wawancara panjang pertama yang diberikan Endriartono kepada media massa sejak menjabat Panglima TNI. Pertemuan pertama berlangsung dalam sebuah bus tanpa AC yang ia tumpangi bersama rombongan Komisi I DPR di Sorong. Perbincangan tersebut dilanjutkan dalam kesempatan berikutnya di Markas Besar TNIÂ Cilangkap. Berikut ini petikannya.
Angkatan Laut kita menggelar latihan militer besar-besaran di Sorong, dan Anda terlibat secara langsung. Mengapa?
Kita ingin menunjukkan kepada dunia luar supaya tidak ada kelompok yang macam-macam dan ingin mengganggu Papua, terlebih kelompok yang ingin memisahkan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Siapa kelompok yang Anda maksudkan?
Sejauh ini, saya melihat ada saja yang mencobanya. Pelakunya bukan pemerintah, melainkan kelompok masyarakat tertentu di luar negeri. Mereka mendukung gerakan separatis seperti itu. Beberapa negara di kawasan Pasifik jelas-jelas memberi dukungan lepasnya Papua dari Indonesia. Juga ada negara lain lagi.
Apakah mereka adalah para jiran seperti Papua Nugini? Atau Australia?
Saya tidak menyebutkan begitu. Tapi, yang jelas, kita tidak menghendaki itu terjadi. Seyogianya kita saling menghormati kedaulatan dan kondisi negara lain.
Oke, itu soal gangguan dari luar. Bagaimana dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang berakar di Papua sendiri?
Saya tidak melihat OPM sebagai kekuatan yang besar secara fisik. Tapi tidak berarti mereka bisa diabaikan. Saya melihat kelompok itu pandai berbicara di forum-forum politik untuk mendapatkan dukungan masyarakat internasional. Karena itu, saya berharap masyarakat internasional jangan melibatkan diri hanya karena membela kepentingan politis mereka.
Bukankah mantan Panglima OPM, Alex Membri, mengatakan organisasi itu sudah bubar dan yang kini ada hanyalah Dewan Adat?
Saya belum mendengar kabar itu. Tapi, kalau benar, kita berterima kasih. Namun, kalau kemudian mengatasnamakan kelompok adat lalu tujuannya mau memisahkan diri dari Republik, itu menyimpang dan tidak bisa dibenarkan.
Tentang penembakan dua warga AS di Timika. Anda menyebut ada rekayasa pihak asing yang menyudutkan Anda dan TNI. Sejauh mana?
Saya tidak tahu persis. Saya hanya melihat fakta, jika ada satu kejadian, mereka cepat sekali memvonis pelakunya TNI. Saya baru saja mendapat informasi dari kedutaan Indonesia di Australia yang menyebutkan ada upaya-upaya dari kelompok masyarakat di sana, termasuk kalangan akademisi, yang mendukung gerakan separatis. Caranya, antara lain, dengan mendiskreditkan TNI melalui isu hak asasi manusia.
Menurut informasi yang Anda terima itu, apa tujuan upaya tersebut?
Agar masyarakat tidak lagi percaya pada TNI, dan meminta TNI keluar dari Papua. Mereka ingin Papua cepat lepas dari Indonesia.
Apakah itu bukan karena citra TNI yang selama ini negatif?
Ya, saya paham hal itu. Itu memang cara (mengeksploitasi Papua secara politis?Red.) yang paling efektif.
Maksud Anda?
Ibaratnya, kalau saya sudah dikenal sebagai maling, setiap ada kehilangan, tuduhannya pasti ke saya dan pasti pula orang akan percaya karena saya memang sudah dikenal sebagai maling. Dengan tersingkirnya TNI dari Papua, mereka untung besar. Maka, tuduhkan saja semuanya dan amat efektif karena opini negatif amat mudah terbentuk. Saya amat sadar bahwa mereka mengeksploitasi masa lalu kita yang kurang bagus.
Karena itu, Anda tetap menggugat harian The Washington Post?
Saya tidak akan mundur. Saya akan membuktikan bahwa tuduhan The Washington Post tidak benar. Kalau memang mereka punya fakta, silakan, saya akan lega menerimanya. Tapi kalau mereka tidak bisa membuktikan, ya, saya yang akan membuktikan bahwa itu rekayasa belaka. Kalau saya hanya membantah tulisan mereka tidak benar, orang bisa saja mengatakan ?mana ada maling mau mengaku?.
Bagaimana jika The Washington Post melobi untuk berdamai?
Opini yang mereka kembangkan adalah apa yang terjadi di Timika merupakan ulah TNI, dan saya pribadi merencanakannya. Tujuan saya sekadar membuktikan bahwa apa yang ditulis The Washington Post itu tidak benar. Sejauh kerusakan akibat pemberitaan seperti itu bisa diperbaiki, bagi saya sudah cukup.
Apa hasil investigasi Anda dalam kasus Timika?
Kita sudah empat kali memberangkatkan tim ke sana untuk mengusut siapa anak buah saya yang terlibat. Kalau memang betul ada anak buah saya yang terlibat, harus diberi sanksi hukum.
Kenapa sampai empat kali?
Karena sampai tim ketiga semuanya gagal meyakinkan saya. Mereka tidak mendapatkan siapa yang terlibat dan menurut mereka tidak ada keterlibatan anggota TNI. Tim keempat kami berangkatkan dan dipimpin langsung oleh seorang asintel.
Apa yang Anda minta dari asintel tersebut?
Saya katakan, kamu harus mendapat jawaban yang sebenarnya. Kalau kamu mengatakan tidak ada keterlibatan anggota TNI, yakinkan saya bahwa memang tidak ada yang terlibat. Kalau ada yang terlibat, yakinkan saya siapa yang terlibat. Saya sendiri yang akan mengumumkan hasil investigasi kami.
Kenapa hasilnya berbeda dengan investigasi polisi?
Kalau polisi menemukan hasil yang berbeda, kita adakan join investigasi.
Mengapa harus melibatkan Biro Penyelidik Federal (FBI) Amerika?
Ada warga Amerika Serikat yang menjadi korban. Jadi, wajar kalau Amerika merasa dirugikan. Biarkan mereka ikut terlibat dalam investigasi ini, biar adil. Kalau hasilnya menyebutkan keterlibatan anggota TNI, saya ikhlas menerima. Lega hati saya karena itu fakta. Sebaliknya, jangan katakan TNI melakukan tekanan kalau ternyata hasilnya menyatakan tak ada anggota TNI yang terlibat. Bagi saya, keterlibatan FBI sangat penting untuk menjamin fairness.
Siapa yang punya ide mengundang FBI?
Kami (TNI?Red.) yang berinisiatif meminta kepada polisi agar FBI dilibatkan. Saya sendiri yang meminta Kapolri mengundang mereka. Sejak awal saya mengatakan, silakan libatkan mereka. Biar semua orang melihat investigasi itu betul-betul independen dan adil, sehingga hasilnya nanti tidak bisa diganggu gugat.
Apa yang akan Anda lakukan jika ada prajurit TNI yang terlibat?
Seperti kasus Theys, saya melakukan investigasi sendiri tanpa diminta polisi. Kalau faktanya ada anak saya yang nakal, tidak perlu saya tutup-tutupi sekalipun tetangga saya tidak tahu. Saya pasti akan menghukum dia karena tidak sepantasnya dia berbuat itu. Sebaliknya, kalau faktanya mengatakan tidak ada anak buah saya yang terlibat, jangan paksa saya menghukum mereka. Seperti kasus Theys, saya melakukan investigasi sendiri tanpa diminta polisi. Realitasnya, kita tidak menemukan bukti keterlibatan TNI dalam kasus itu.
Seberapa jauh pengetahuan Mabes TNI tentang Letkol Hartomo?dan enam anak buahnya?dari Kopassus yang kini sedang diadili di Mahkamah Militer Tinggi Surabaya karena didakwa terlibat pembunuhan Theys?
(Sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.) Ya, kami (Mabes TNI) tidak tahu (keterlibatan Letkol Hartomo sejak awal).
Setiap tindakan anggota TNI selalu di bawah garis komando? Jadi, apakah bisa Mabes TNI tidak tahu?
Amat bisa. Begini, sebagai bos, saya sudah mengarahkan anak buah saya agar tidak melakukan tindakan begini-begitu. Lalu, di lapangan, situasi yang ada membuat anak buah saya harus berbuat sesuatu. Sementara itu, sebagai bos, mungkin saya berada di Jakarta. Wajar kalau saya tidak tahu. Itu amat mungkin terjadi.
Pertanyaannya, siapa yang memberikan informasi dan komando kepada Letkol Hartomo?
Wah, kalau soal itu, saya malah belum tahu. Saya akan tanyakan ke Danpuspom TNI.
Omong-omong, kami mendapat informasi Anda akan dimutasi dalam waktu dekat.
Mutasi? Ha-ha-ha, kenapa? Enggak senang sama saya, ya? Kok tanya soal mutasi.
Kabar itu cukup santer sehingga kami ingin mengkonfirmasinya?.
Di Mabes TNI belum ada rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi. Enggak tahu kalau di angkatan lain. (Panglima TNI lantas bertanya kepada Wakil KSAD Letjen TNI Sumarsono, dan dijawab belum ada.) Soal pergantian itu wajar dan alamiah karena pasti ada orang yang pensiun dan harus ada penggantinya. Mutasi itu ada setiap tahun karena selalu ada prajurit yang pensiun.
Tentang Jenderal (Purn.) Wiranto, informasi intelijen menyebut namanya sebagai salah satu tokoh di balik aksi demo yang berupaya menggulingkan Presiden Megawati. Apa komentar Anda?
Saya tidak bisa berkomentar karena bukan wewenang saya. Setiap orang ingin tercapai kepentingannya, cita-citanya. Itu hak setiap orang. Tapi harus melalui cara yang konstitusional, bermoral, dan beretika.
Walau bukan wewenang Anda untuk berkomentar, bukankah Anda tetap punya hubungan dengan para purnawirawan?
Kita memang punya hubungan emosional, tetapi tidak punya garis komando. Kita tidak bisa memerintah para purnawirawan, meski pangkatnya prajurit.
Bagaimana Anda menilai demonstrasi menentang kebijakan pemerintahan Megawati, yang terus berkelanjutan?
Kalau tuntutannya memang untuk rakyat banyak, tentu saya sependapat. Dan pemerintah jelas harus mendengar tuntutan itu. Nah, kalau itu sudah dipenuhi tapi demo masih terus-menerus dilakukan, malah akan berdampak buruk pada rakyat kecil.
Endriartono Sutarto
Tanggal lahir: Pendidikan: Karier: |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo