Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Situasi di Myanmar kian buruk. Militer Myanmar secara aktif membantai atau menangkapi para warga yang melawan rezim mereka. Menurut data dari Asosiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik, total sudah ada 510 korban jiwa dan 3000 lebih tahanan selama kudeta Myanmar berlangsung sejak 1 Februari lalu.
Selama kudeta itu berlangsung, kelompok etnis bersenjata di Myanmar relatif diam. Meski mereka menentang rezim Militer Myanmar, mereka tidak terlibat langsung dalam upaya perlawanan yang dilakukan warga. Mereka memilih berada di pinggiran sampai situasi membutuhkan mereka untuk terlibat. Situasi itu datang.
Pekan lalu, 28 Maret 2021, Militer Myanmar memperluas aksinya. Tidak lagi menyerang warga-warga di daerah perkotaan, mereka mulai menyasar daerah-daerah pedesaan dan perbatasan di mana berbagai kelompok etnis tinggal di sana. Salah satunya adalah desa di negara bagian Karen yang 3000 penduduknya terpaksa mengungsi ke Thailand untuk mengindari serangan jet tempur Militer Myanmar.
Salah satu penentang rezim Militer Myanmar, General Strike Committee of Nationalities, menyampaikan kabar itu ke berbagai kelompok etnis. Mereka langsung meresponnya dengan pernyataan bersama, meminta Militer Myanmar untuk segera mengakhiri kudeta. Jika tidak, mereka menyatakan bakal ada balasan untuk Militer Myanmar.
"Jika Militer Myanmar tidak mengikuti kemauan kami, maka kami akan bekerjasama dengan negara-ngeara lain yang bergabung ke revolusi Myanmar," ujar pernyataan bersama kelompok-kelompok etnis Myanmar tersebut, dikutip dari kantor berita Reuters, Selasa, 30 Menit 2021.
Seorang pria menggunakan ketapel saat mereka berlindung di belakang barikade selama protes terhadap kudeta militer, di Yangon, Myanmar, Ahad, 28 Maret 2021. Sejumlah senjata tradisional digunakan pendemo untuk melawan tindak kekerasan aparat. REUTERS/Stringer
Setidaknya ada tiga kelompok etnis bersenjata ternama dalam surat pernyataan itu. Mereka adalah Myanmar National Democratic Alliance Army, The Arakan Army, serta Ta'ang National Liberation Army.
Ketiga kelompok tersebut, selama ini, sudah memerang pemerintahan Myanmar. Menurut mereka, ada disparitas perlakuan terhadap kelompok-kelompok etnis yang tinggal di wilayah pinggiran. Oleh karenanya, mereka menuntut otonomi khusus agar bisa mandiri. Permintaan itu belum pernah sepenuhnya terwujud.
Min Aung Hlaing, panglima Militer Myanmar dan otak kudeta, sempat berupaya mengajak kelompok-kelompok etnis itu bergabung ke pemerintahan. Menurut Min Aung Hlaing, damai tidak akan pernah tercapai di Myanmar jika kelompok etnis masih memegang senjata dan tidak kembali terintegrasi ke masyarakat. Aung Hlaing gagal.
"Itu bisa memakan waktu hingga 5-10 tahun lagi agar terwujud," ujar Min Aung Hlaing pada 2015 lalu. Enam tahun kemudian, upaya itu masih belum terwujud. Kelompok etnis malah sekarang mensinyalkan perlawanan terhadap junta yang ia pimpin akibat kudeta Myanmar.
Jika kelompok-kelompok etnis itu serius dengan ancamannya, hal itu bisa menjadi pemicu perang saudara di Myanmar. Per berita ini ditulis, tanda-tandanya kian nyata. Pada pekan lalu, kelompok bersenjata Karen National Union balik menyerang Militer Myanmar yang membombardir mereka dengan jet tempur.
Hal itu bisa menjadi makin besar jika kelompok-kelompok etnis lainnya bergabung. Sinyalnya sudah ada, tinggal pemicunya saja. Pemicu itu bisa apa saja, bisa serangan langsung ke kelompok etnis atau penangkapan anggota-anggota kelompok etnis yang melawan Militer Myanmar.
Penduduk desa yang melarikan diri dari Negara Bagian Karen difoto di lokasi tak dikenal 28 Maret 2021 dalam gambar yang diperoleh dari media sosial ini. [Karen Teacher Working Group melalui REUTERS]
Perang suadara bisa membawa Myanmar ke situasi yang kian pelik. Tidak tertutup kemungkinan juga jumlah korban malah makin banyak lagi dibanding sebelumnya. Oleh karenanya, sejumlah pakar tidak merekomendasikan apabila organisasi-organisasi internasional ataupun negara mencoba mencegahnya dengan intervensi militer.
Chris Sidoti, mantan pencari fakta dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Myanmar, menyarankan PBB turun tangan menggunakan skema R2P, Responsibility to Protect. Menurutnya, itu skema paling versatil karena selain menawarkan opsi militer (peacekeeping force), juga sanksi seperti embargo persenjataan. Namun, ia menyakini opsi militer tidak akan dipilih berdasarkan pengalaman krisis Rohingtya
"Jika orang-orang berharap R2P digunakan untuk intervensi militer, mereka akan kecewa. Itu tidak akan terjadi dan belum pernah terjadi, bahkan saat krisis Rohingya tahun 2017. Padahal, saat itu, Rohinya diburu, dibunuh, diperkosa," ujarnya tanpa tanggung-tanggung. R2P sempat digunakan dalam situasi genosida di Rwanda dan Yugoslavia,.
Per berita ini ditulis, PBB belum menentukan langkah apapun untuk merespon situasi di Myanmar. Di sisi lain, pembentukan resolusi di DK PBB juga terganjal veto dari mereka yang memiliki kepentingan dengan Myanmar, Cina dan Rusia.
Tidak hanya PBB, negara-negara tetangga Myanmar pun belum menunjukkan niatan untuk melakukan intervensi secara militer. Amerika, misalnya, memilih untuk memberikan sanksi ke pejabat-pejabat militer dan memasukkan usaha-usaha militer ke dalam daftar hitam. Niatnya jelas, untuk memiskinkan Militer Myanmar agar mereka terdesak untuk mengakhiri kudeta.
Hal senada juga dinyatakan oleh Jepang. Duta Besar Jepang di Indonesia, Kanasugi Kenji, menyatakan pada Tempo dua pekan lalu bahwa intervensi militer bukanlah solusi. Menurutnya, hal itu malah akan memperburuk situasi di Myanmar. Oleh karenanya, Jepang akan fokus ke langkah-langkah diplomatis dan bertukar informasi dengan negara-negara sekutunya.
Sampai sekarang, pendekatan diplomatis ataupun sanksi belum memberikan hasil. Militer Myanmar sendiri mengatakan mereka sudah terbiasa dengan sanksi dan tidak akan khawatir kehilangan jaringan global. Tak mengherankan beberapa warga Myanmar meminta intervensi militer dilakukan atau mereka akan melakukannya sendiri.
"Harus berapa tubuh jenazah lagi?" ujar warga penentang kudeta Myanmar.
Baca juga: Jumlah Korban Jiwa Kudeta Myanmar Capai 500 Orang
ISTMAN MP | MYANMAR NOW | CNN | REUTERS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini