Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menunjuk sejumlah BLU untuk memfasilitasi transaksi benih lobster.
BLU membeli benih lobster dari nelayan seharga minimal Rp 8.500 per ekor.
Transaksi lewat BLU memperpanjang rantai pasok dan merugikan nelayan.
TUGAS baru kini dihadapi oleh M. Tahang, Kepala Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang, Jawa Barat. Tahang dan para stafnya bakal mengelola benih bening lobster untuk dijual kepada pembudi daya, termasuk perusahaan asing yang membuka bisnis pembesaran hewan krustasea itu di Indonesia. “Kami masih dalam tahap persiapan karena prosesnya tidak mudah,” katanya kepada Tempo pada 19 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan, investor asing yang akan membudidayakan lobster di Indonesia harus bekerja sama dengan badan layanan umum perikanan budi daya atau BLUPB. Investor dapat membeli benur atau benih lobster dari BLUPB berdasarkan perjanjian. Sedangkan BLUPB mendapat pasokan benur dengan membelinya dari nelayan. Selain di Karawang, ada dua BLUPPB yang menjalankan tugas ini, yaitu di Jepara, Jawa Tengah; dan di Situbondo, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Tahang, pedoman umum dan mekanisme transaksi jual-beli benih lobster masih disempurnakan di tingkat pusat sehingga belum dapat diterapkan. Apalagi, dia menambahkan, BLUPPB Karawang belum berpengalaman mengelola benih lobster. Selama ini BLUPPB Karawang mengelola benih udang vaname, ikan nila, patin, dan kakap putih. “Untuk menjalankannya butuh sumber daya manusia, sarana, dan prasarana. Paling cepat baru akhir tahun bisa dimulai,” ujarnya.
BLUPPB Karawang ditetapkan sebagai badan layanan umum alias BLU di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan pada pertengahan tahun lalu. Sebelumnya, lembaga itu berstatus balai produksi perikanan dan budi daya. Sejak menjadi BLU, Tahang mengungkapkan, BLUPPB Karawang dibebani target pendapatan baru yang harus dipenuhi. “Sebelum menjadi BLU targetnya Rp 2 miliar dan tercapai 100 persen, setelah menjadi BLU tahun ini kami ditargetkan bisa menghasilkan pendapatan Rp 86 miliar,” tuturnya.
Abdullah, salah seorang nelayan budidaya, menunjuk ke arah keramba budidaya lobster miliknya, di kawasan pantai Telong-Elong, Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 13 April 2024. Tempo/Abdul Latief Apriaman
BLU menempati posisi krusial setelah pemerintah kembali mengizinkan ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024. Dalam regulasi tersebut, pemerintah memperbolehkan “pengeluaran” atau ekspor benih lobster dengan syarat tertentu, antara lain untuk kebutuhan pembudidayaan. Pemerintah mensyaratkan investor yang akan membudidayakan benih lobster di luar negeri membuka usaha serupa di Indonesia.
Kepala Biro Hukum Kementerian Kelautan dan Perikanan Effin Martiana mengatakan penangkapan benih lobster dapat dilakukan untuk pembudidayaan dengan dasar kuota penangkapan tertentu. Tata kelola ini berlaku baik untuk skema budi daya di dalam maupun di luar Indonesia. Menurut Effin, investor wajib memenuhi sejumlah syarat, di antaranya bekerja sama dengan BLU untuk memperoleh benih. Kehadiran BLU, dia menambahkan, dapat menjadi cara untuk mengontrol pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga mencegah transaksi ilegal.
Effin mengatakan penetapan harga patokan terendah benih lobster telah melalui proses survei lapangan dan kajian akademis yang memadai. “Pengaturan harga patokan terendah BBL menjadi jaminan agar nelayan tidak rugi,” ucapnya pada 10 Februari 2024. Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2024, pemerintah menetapkan harga patokan terendah benih lobster di tingkat nelayan Rp 8.500 per ekor.
Pemerintah punya ekspektasi besar kepada BLU perikanan budi daya untuk menambah PNBP dari budi daya lobster. Namun, di mata nelayan dan pembudi daya, BLU itu malah memperpanjang rantai pemasaran benih. “Mekanismenya seperti tengkulak, nelayan wajib jual ke BLU dengan harga yang ditetapkan lebih dulu,” kata Ketua Serikat Nelayan Indonesia Budi Laksana pada 19 April 2024.
Menurut Budi, harga benih lobster Rp 8.500 per ekor tak cocok untuk nelayan. “Ini di bawah standar karena benih di tingkat nelayan ada yang sampai Rp 15 ribu, bahkan di waktu tertentu bisa Rp 30 ribu, tergantung cuaca, gelombang, dan permintaan,” ujarnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh Tempo, BLU akan mengutip margin dari transaksi ini sedikitnya Rp 3.000 per ekor. Namun belum ada tanggapan soal skema ini.
Budi menilai kehadiran BLU sebagai pihak ketiga dalam transaksi jual-beli benih lobster janggal karena ada intervensi harga yang cenderung merugikan nelayan. “Penentuan harganya tidak jelas. Kenapa tidak bisa langsung saja dari pembeli ke nelayan?” tuturnya. Lebih jauh, Budi mengatakan model bisnis ini rawan korupsi jika investor lebih dulu menyetor uang kepada BLU untuk mengepul benur dari nelayan.
Kehadiran BLU milik Kementerian Kelautan dan Perikanan di sisi lain mengundang reaksi pemerintah daerah. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat Muslim mengatakan keberadaan BLU sebagai perantara kontradiktif dengan tugas dan fungsi kementerian dalam melayani masyarakat serta mendukung pemberdayaan nelayan. “Ini kok kementerian jadi pedagang,” katanya.
Menurut Muslim, pemerintah daerah seharusnya turut dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah setempat. “Daerah tidak dapat apa-apa, selama ini hanya kebagian merawat dan menjaga laut, giliran hasilnya masuk semua ke kementerian menjadi PNBP,” ucapnya. Dana untuk pengawasan dan restorasi lingkungan memang menjadi tanggungan daerah.
Sejumlah nelayan beraktivitas di kawasan budidaya lobster di Pantai Telong-Elong, Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 13 April 2024. Tempo/Abdul Latief Apriaman
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta, Suhana, menyebutkan desain BLU sebagai pelaku tunggal yang membeli benih dari nelayan dan menjualnya kepada eksportir rentan terhadap praktik monopoli. Dia pun sangsi PNBP dapat sepenuhnya mengalir untuk negara. Praktik ekspor ilegal bakal tetap marak ketika penadah menawarkan harga beli benur yang lebih tinggi kepada para nelayan dibanding tawaran BLU.
Di sisi lain, Suhana melanjutkan, ada celah penyelewengan dan bahaya moral atau moral hazard karena pemerintah turut menjadi pelaku bisnis benur sehingga mekanisme kontrol sulit diwujudkan. “Tugas utama BLU bukan berbisnis dan mencari keuntungan,” ujarnya pada 18 April 2024. Menurut Suhana, BLU seharusnya berdiri untuk memberikan pelayanan berupa penyediaan barang dan jasa tanpa mengutamakan keuntungan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Pada edisi cetak, artikel ini berjudul "Badan Layanan Rasa Tengkulak". Caesar Akbar, Abdul Latief Apriaman di Lombok, dan Ahmad Suudi di Banyuwangi berkontribusi pada artikel ini.