Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta menargetkan proyek pembangunan infrastruktur MRT fase I Lebak Bulus-Bundaran HI sepanjang 15,7 kilometer akan selesai 93 persen pada akhir Desember 2017. Namun, Corporate Secretary PT MRT Jakarta, Tubagus Hikmatullah, mengatakan sampai kemarin pihaknya baru menyelesaikan 90,14 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rinciannya, 85,20 persen untuk pekerjaan pembangunan jalur layang dari Lebak Bulus hingga Jalan Sisingamangaraja, dan 95,13 untuk pembangunan jalur bawah tanah dari Senayan hingga Bundaran HI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedikit melesetnya pengerjaan dari target, Hikmatullah beralasan, pihaknya terkendala persoalan lahan di Jalan Fatmawati dan hujan deras pada akhir tahun. "Tapi sekarang sudah beres, yang lain tidak masalah," ujar Hikmatullah kepada Tempo, Ahad, 24 Desember 2017.
Meski mengalami keterlambatan, Hikmatullah optimistis pembangunan tersebut masih bisa dikebut, sehingga selisihnya yang 3 persen tergantikan pada awal 2018. Dia memperkirakan, seluruh pekerjaan MRT Jakarta fase I mencapai 100 persen pada pertengahan 2018. “Direncanakan pada Juli 2018,"ujar Hikmatullah.
Pembangunan angkutan massal yang terdiri atas 13 stasiun itu menelan dana sekitar Rp 14,2 triliun yang berasal dari pemerintah pusat dan Pemerintah DKI Jakarta. MRT digagas pada 1996, namun sempat kandas akibat krisis ekonomi dan moneter pada 1997-1998.
Departemen dan Gubernur Sutiyoso mencoba menghidupkan kembali rencana pembangunan MRT dengan presentasi di hadapan Peresiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005. Yudhoyono setuju. Gubernur Fauzi Bowo meletakkan batu pertama pembangunan proyek MRT di Lebak Bulus, 26 April 2012.
Pembangunan fisik proyek MRT dimulai era Gubernur Joko Widodo pada 31 Agustus 2013. Lantas diresmikan Jokowi dengan memasang tiang pancang pertama MRT di Dukuh Atas, Jakarta Pusat, 10 Oktober 2013. Pembangunan MRT dilanjutkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Pembangunan MRT pada 2017 dibuka dengan laporan Direktur Utama PT MRT Jakarta, William P. Sabandar, yang mengatakan progres pembangunan konstruksi jalur layang dan bawah tanah dalam proyek mass rapid transit sudah 62 persen. "Tahun ini waktunya mempercepat konstruksi," kata William pada 6 Januari 2017.
Agar proyek berjalan lebih aman dan lancar, William meminta kepada Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta, Sumarsono, menyediakan dasar hukum berupa peraturan gubernur turunan dari Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang pembentukan PT MRT Jakarta. Alasannya, perusahaan sudah mulai menyusun fasilitas penunjang sebelum beroperasi pada Maret 2019.
"Akan repot kalau dasar hukumnya baru didapat setelah menunggu konstruksi selesai atau beberapa bulan sebelum beroperasi," ujar William. Dasar hukum itu juga berkaitan dengan pembangunan dan pengelolaan transit-oriented development (TOD). Sumarsono berjanji akan membuat dasar hukum sebelum akhir tahun.
Pada kesempatan itu, Sumarsono, meminta kepada PT MRT agar mengubah desain lokomotif keretanya dari bentuk yang mirip jangkrik menjadi lebih sporty dan aerodinamis. Usul Sumarsono disetujui William, asalkan tidak berimplikasi pada penambahan biaya, dan mumpung pembuatan kereta akan dimulai pada awal Februari.
Belum selesai persoalan pembangunan MRT fase I, tiba-tiba Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta akan membentuk panitia khusus (pansus) perpanjangan rute MRT. Wakil Ketua DPRD Mohamad Taufik mempertanyakan alasan pemindahan lokasi depo dan stasiun MRT dari Kampung Bandan ke Ancol Timur, Jakarta Utara.
Sumarsono beralasan, perpindahan lokasi depo ke Ancol Timur karena PT Kereta Api Indonesia (KAI) telah bekerja sama dengan pihak lain di lahannya yang terletak di Kampung Bandan. Sedangkan William berharap pembentukan pansus tak menghambat pengerjaan proyek yang ditargetkan. Akhirnya, depo akan dipindhakan ke Ancol Timur, dengan alasan lahan seluas 6 hektare itu milik pemerintah dan PT Pembangunan Jaya Ancol.
Progres pembangunan MRT menggiurkan kawasan yang akan dilalui MRT. Sampai September 2017, PT MRT Jakarta telah menerima 41 proposal kerja sama pengelolaan kawasan pembangunan berorientasi transit atau transit-oriented development dari para pemilik properti dengan tujuan agar gedung mereka terintegrasi dengan Stasiun MRT.
Setelah dibahas, pada pertengahan Oktober PT MRT ditugasi Pemertintah DKI Jakarta sebagai operator utama yang akan mengelola kawasan terintegrasi berbasis moda transportasi massal. Menurut William, tugas itu menjadi dasar perusahaannya untuk mempercepat pembangunan kawasan terpadu di delapan stasiun MRT fase I.
Pembangunan MRT bukan tanpa kendala. Beberapa orang warga di Jalan Fatmawati sempat menolak lahannya digunakan untuk pembangunan Stasiun MRT di Haji Nawi dan Cipete pada masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Namun, setelah dilakukan negosiasi oleh Gubernur Anies Baswedan, akhirnya mereka menerima.
Kelalaian juga sempat menghiasi perjalanan proyek MRT. Pada Mei 2017, kontraktor megaproyek MRT tersebut dianggap berbuat lalai. Contoh kasus, bocornya cairan kimia serupa salju, penerobosan oleh tiga remaja ke dalam terowongan yang merupakan bagian dari jalur bawah tanah MRT.
Foto ketiga remaja itu diunggah di media sosial. "Itu ilegal, kami layangkan surat ke kontraktornya," kata Sekretaris Perusahaan PT MRTJakarta, Tubagus Hikmatullah. Akses ke lokasi proyek pun diperketast. "Setiap kunjungan harus minta persetujuan kami," kata Hikmatullah.MRT juga memecat operator crane proyek MRT akibat jatuhnya tembok pembatas jalur layang pada awal November 2017. Menurut Direktur Konstruksi PT MRT, Silvia Halim, crane jatuh disebabkan oleh kelalaian prosedur. Sanksi diberikan berupa pemecatan terhadap operator truk crane dan pemberian demerit point kepada kontraktor.
Untuk memuluskan rencana pembangunan jaringan bawah tanah MRT serta proyek transit oriented development (TOD) di sejumlah stasiun, PT MRT meminta pemerintah membuat peraturan pengelolaan bawah tanah di Jakarta.
Seiring hampir rampungnya proyek MRT fase I, wujud dan fungsi rangkaian kereta MRT terus dipoles di pabrik Nippon Sharyo Toyokawa Plant, Aichi, Jepang. Ketika Tempo mengunjungi pabrik kereta MRT pada akhir November lalu, mereka tengah diproduksi 96 kereta atau 16 set rangkaian kereta senilai Rp 1,2 triliun untuk MRT fase I. Pekerjaan pembuatan kereta MRT Jakarta ditargetkan selesai pada 16 Desember 2017.
Setiap kereta memiliki lebar 2,9 meter, tinggi 3,6 meter, dan panjang 20 meter, dengan pintu darurat berada di masing-masing ujung rangkaian. Saat dioperasikan nanti, kereta dapat melaju dengan kecepatan maksimum 100 kilometer per jam di jalur layang dan 80 kilometer per jam di bawah tanah. "Pada Januari 2018, sebanyak enam kereta (gerbong) pertama akan dikirim ke Indonesia," kata Manager Plant Nippon Sharyo, Hiroyuki Idei.
Uji coba MRT fase I dijadwalkan pada akhir Agustus 2018 di Depo Lebak Bulus, dan pada pekan ketiga September 2018 di jalur utama. Sedangkan pengoperasiannya pada Maret 2019, dengan target mengangkut 200 ribu penumpang per hari. Setelah fase I beroperasi, akan dibangun MRT fase II jalur Bundaran HI-Ancol Timur sepanjang 13,5 kilometer sejak 2019 sampai 2021.