ADA banyak variasi pengobatan spiritual, dari doa, zikir, hipnotis, sampai tenaga prana. Tak semua model pengobatan ini memiliki penjelasan rasional yang memadai. Bahkan banyak yang masih belum bisa dijelaskan secara medis. Keberhasilan—kalau bisa dibilang begitu—lebih merupakan pengalaman pasien yang tak disertai bukti secara ilmiah. Karena itu, beberapa metode pengobatan spiritual biasanya dikombinasikan dengan pengobatan medis. Berikut ini beberapa contoh jalur pengobatan spiritual yang dijumpai TEMPO.
Jalur Sufistik Pak Muh
Gaby Scoth, 27 tahun, sedang tepekur menanti kedatangan Muhammad Zuhri ketika ditemui TEMPO. Ustad yang kerap dipanggil Pak Muh inilah yang mengobati Gaby, penderita kanker payudara. "Kini tak ada lagi rasa sakit yang luar biasa di dada kanan saya," kata perempuan berkebangsaan Irlandia ini.
Ingatan Gaby, karyawan sebuah perusahaan minyak Amerika di Indonesia, pun melayang ke masa dua tahun silam. Kala itu, dokter menyatakan ada kanker tumbuh di payudara kirinya sehingga ia harus menjalani operasi pengangkatan payudara. Apa daya, jaringan kanker ternyata tetap tak terbendung dan merambah ke payudara sebelah kanan. November lalu, Gaby pun dijadwalkan kembali menjalani pengangkatan payudara.
Di tengah rasa putus asa menunggu saat operasi, tanpa sengaja Gaby menemukan artikel mengenai Pak Muh ketika menyusuri internet. Ustad yang juga pemimpin Yayasan Al-Barzakh, Jakarta, ini menggunakan pendekatan sufistik—dengan zikir, doa, dan salat—untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Tak sedikit pasien kanker tahap lanjut, pengidap HIV/AIDS, diabetes, gangguan kejiwaan, dan pecandu narkoba yang ditangani—konon hingga sembuh—oleh Pak Muh yang juga penulis buku renungan sufi Langit-Langit Desa ini.
Singkat kata, akhir November 2001, Gaby mendatangi Pak Muh. Kala itu, ustad lulusan Pesantren K.H. Fahrul Rozi, Kajen, Pati, Jawa Tengah, ini meminta Gaby sungguh-sungguh mengucapkan ikrar sesuai dengan keyakinan Nasraninya. Sementara itu, Pak Muh berdoa dengan cara Islami dan sejenak meletakkan tangannya di atas payudara Gaby yang sakit. Pak Muh mengiringi prosedur ini dengan melakukan salat hajat 12 rakaat. "Sakitnya berat sehingga membutuhkan salat yang agak panjang," kata Pak Muh.
Ternyata, Gaby merasa kondisinya membaik setelah dua kali mengikuti terapi ala Pak Muh. Bahkan, berdasarkan pemeriksaan dokter, jaringan kanker di dada Gaby sudah menipis secara misterius. "Dokter saya juga bingung, kok, bisa ini terjadi," kata Gaby, yang tinggal di kawasan Jakarta Selatan.
Sementara itu, bagi Pak Muh, tak ada yang misterius dalam proses pengobatan yang diterapkannya. Menurut dia, hanya doa, zikir, salat, serta hati yang bersih yang dia gunakan untuk memohon kesembuhan kepada Allah. Cara ini bisa dilakukan siapa saja, baik Islam maupun bukan, karena semua agama punya konsep berdoa.
Pak Muh, yang sehari-hari tinggal di Desa Sekarjalak, Mergoyoso, Pati, Jawa Tengah, menekankan bahwa ada satu syarat yang mesti diikuti pasien: harus ikhlas dan sungguh-sungguh berdoa sesuai dengan keyakinannya. "Ini bukan jurus menyalurkan arus energi positif, tapi semata-mata memohon kesembuhan," katanya.
Jalur Energi Listrik Surtedjo
Tangan Surtedjo bergerak melingkar di sekitar kepala Dewi, 23 tahun. Telapak tangannya juga "menyapu" sekitar tubuh pasiennya itu. Lalu Surtedjo membungkuk dan mengibaskan tangannya ke dalam ember berisi air garam di depannya. Air yang dipakai untuk mengusap penderita kelainan kelenjar endokrin itu pun menjadi cokelat keruh.
Begitulah sekilas pengobatan yang dilakukan Yohakh Surtedjo, 52 tahun. Meski Surtedjo mulai masuk dunia pengobatan dari ketertarikannya membaca buku berjudul Prana untuk Penyembuhan karya Choa Kuk Sui, metode yang dipergunakannya tak termasuk dalam pengobatan jalur prana. Sejak membaca buku karya ahli prana dari Filipina itu, pada 1998, Surtedjo memang mencoba mempraktekkan pengobatan prana, yang pada pokoknya menghidupkan jaringan atau organ tubuh yang rusak akibat penyakit dengan menggunakan energi yang berasal dari alam semesta. Namun, Surtedjo, yang merasa tangannya seperti dialiri listrik, ternyata bisa "memindahkan" penyakit pasien ke air garam hingga air garam tersebut menjadi tampak keruh, terkadang menjadi berpasir. Dalam metode prana, hal seperti itu tidak mungkin terjadi.
Menurut Surtedjo, kemampuannya itu memang bukan berasal dari kepiawaiannya sendiri. Penganut Katolik itu yakin bahwa ia hanya dipakai Tuhan untuk menyembuhkan pasien. Penyakit gawat seperti AIDS, kanker ganas, atau sakit jantung ia atasi dengan baik. Bahkan santet pun pernah ditanganinya. Pak Tedjo, begitu ia disapa, juga pernah mengeluarkan pecahan kaca dari mata Romo Sandyawan, pastor yang selama ini dikenal akrab dengan kaum gelandangan. Namun, kadang-kadang, bila memang bukan kehendak Yang Di Atas, penyakit remeh pun tidak bisa ia apa-apakan.
Surtedjo berkisah, pernah suatu ketika dengan penuh semangat ia berusaha menyembuhkan penderita alergi yang tergolong ringan. Walaupun ia berupaya sekuatnya, pasien tetap tak sembuh. Kali lain, ia pernah didatangi seseorang sekitar pukul 1 dini hari yang memintanya mengobati istrinya. Ketika ia tiba di rumah sakit, pasien yang menderita sakit jantung kronis itu sudah koma. "Kondisi pasien itu sudah tak mungkin tertolong. Dokter sudah angkat tangan," katanya. Saat itu Surtedjo hanya bisa pasrah kepada Tuhan. "Saya hanya minta agar pasien itu sembuh atas kehendak-Nya atau agar segera meninggal dalam damai jika memang dikehendaki oleh-Nya." Eh, pagi harinya ternyata si Ibu siuman, lalu bisa jalan kaki ke kamar mandi, dan mandi sendiri. Siang harinya, ia bahkan langsung jalan-jalan ke pertokoan bersama suaminya.
Surtedjo yakin benar bahwa kesembuhan itu bukan dari tangannya sendiri. "Sejak itu, saya sadar bahwa saya tak bisa apa-apa. Kesembuhan itu datang dari Tuhan," ujar bekas guru bahasa Inggris yang kini total bekerja menangani pengobatan ini. Dan sepanjang pengalamannya, iman atau kepercayaan kepada Tuhan sangat besar pengaruhnya terhadap proses kesembuhan pasien.
Jalur Hipnotis Prorevital
Liani Hendranata, 39 tahun, pernah kesakitan luar biasa gara-gara kanker rahim yang dia derita tujuh tahun silam. Pengobatan kemoterapi dan penyinaran yang telah dia jalani selama tiga tahun membuahkan efek samping yang tak nyaman. Rambutnya rontok dan ia mengalami perdarahan seperti sedang menstruasi. "Tiap bangun pagi, saya sedih menyaksikan perlak alas plastik penutup seprai terkena bercak darah," katanya.
Kemudian Liani berinisiatif mengajak bicara tubuhnya. "Darah, sekarang kamu boleh keluar. Besok tidak lagi," katanya setiap pagi. Sugesti ini secara perlahan ternyata membantu perbaikan kondisinya. Setahun kemudian, perdarahan berhenti dan Liani tidak lagi mengonsumsi obat-obatan. Liani pun menerapkan sugesti baru. Tiap kali mandi, dia berkata kepada dirinya sendiri bahwa rambutnya akan pulih. Dua tahun kemudian, rambut Liani telah tumbuh seperti dulu kala.
Menurut Erwin Kusuma, psikiater di Klinik Prorevital, Jakarta, pengalaman Liani adalah contoh hipnotis yang dilakukan diri sendiri. Metode ini membuat seseorang mengerahkan segala daya—pikiran dan emosi—untuk meringankan beban penyakit. Berbekal kisah nyata ini, Klinik Prorevital merekrut Liani menjadi juru bicara pentingnya pendekatan hipnotis dalam membantu proses penyembuhan.
Hipnotis sendiri berkembang sebagai metode penyembuh sejak dua abad silam. Ada yang dilakukan dengan bantuan psikiater yang menolong seseorang melepaskan beban yang terpendam. Ada juga yang dilakukan sendiri seperti pengalaman Liani.
Namun, Erwin, yang juga psikiater di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, menjelaskan bahwa autohipnotis lebih cocok untuk melawan penyakit ringan yang disebabkan oleh stres seperti pusing, gatal-gatal, dan susah tidur. Sementara itu, untuk penyakit berat seperti kanker, kecanduan narkoba, dan gangguan jiwa parah, hipnotis sebaiknya dilakukan dengan bantuan ahli. Di Klinik Prorevital, yang berdiri pada 1997, tenaga profesional akan memadukan hipnoterapi dengan pengobatan medis sesuai dengan kebutuhan pasien. Walhasil, tercapailah pendekatan yang menyeluruh, baik fisik maupun mental.
Jalur pendekatan yang menyeluruh ini, Erwin menjamin, jauh lebih efektif dibandingkan dengan cara kedokteran konvensional yang hanya berprinsip mengobati gejala penyakit tanpa membasmi akarnya.
MCh, Handriani Pudjiarti, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini