Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Kekeringan Ancam Kota Besar Dunia

Kota-kota besar di dunia terancam kekeringan. Kelangkaan air terjadi di Santa Cruz di California, AS; Sao Paulo, Brasil; hingga Cape Town, Afrika Selatan. Kota-kota di Indonesia tidak terkecuali.

30 Juni 2022 | 00.00 WIB

Warga mengambil air di cerukan aliran sungai Glagah di Sragen, Jawa Tengah, 2019. Tempo/Bram Selo Agung
material-symbols:fullscreenPerbesar
Warga mengambil air di cerukan aliran sungai Glagah di Sragen, Jawa Tengah, 2019. Tempo/Bram Selo Agung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Kota-kota besar di dunia terancam kekeringan.

  • Kelangkaan air terjadi di Santa Cruz di California, AS; Sao Paulo, Brasil; hingga Cape Town, Afrika Selatan.

  • Kota-kota di Indonesia tidak terkecuali.

JAKARTA – Ancaman kelangkaan air menjadi perhatian Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres. “Kekeringan terjadi di semua wilayah serta semakin sering dan parah,” ujar dia dalam peringatan Hari Penanggulangan Kekeringan Dunia pada 17 Juni 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kelangkaan air berdampak terhadap ratusan juta orang, termasuk berupa badai pasir, kebakaran hutan, gagal panen, dan konflik lahan. Seperti ditulis dalam 360info, situs web berita terbuka yang dikelola Monash University, Australia, kekeringan kebanyakan disebabkan oleh fenomena alam dan perubahan iklim. Hari-hari tanpa hujan membuat persediaan air, baik di permukaan maupun di dalam tanah, langka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Namun juga ada dampak dari cara kita memanfaatkan lahan,” kata Guterres. Aktivitas manusia mempengaruhi sumber air. Ledakan populasi, terutama di kota, membuat semakin banyak orang mendulang air dari sumber yang sama sehingga kebutuhan jauh melebihi ketersediaan. Karena pengerukan masif ini berlangsung terus-menerus, terjadilah kelangkaan air.

PBB mendorong semua pihak menggunakan air secara lebih efisien. Pemerintah diminta menerapkan kebijakan yang lebih ramah lingkungan serta mengucurkan modal untuk investasi dan penelitian penanggulangan masalah air oleh bisnis.

Warga mengambil mata air di sumur buatan di area Waduk Butak yang mengering, Jawa Tengah, 2019. Tempo/Bram Selo Agung Mardika

Upaya Penanggulangan Kekeringan di Bantul, Jawa Tengah

Indonesia tak lepas dari ancaman krisis air. Meski mengandung 6 persen dari potensi air dunia—air yang bisa digunakan langsung untuk kebutuhan harian—sebanyak 85 persen wilayah di Indonesia terancam kekeringan.

Jawa, salah satu pulau terpadat di dunia, telah memasuki tahap krisis. Annisa Mu’awana Sukmawati, dosen tata ruang di Universitas Teknologi Yogyakarta, mengatakan defisit air diprediksi berlangsung hingga 2070. Kualitas air di nusa seluas 128 ribu kilometer persegi itu terus anjlok, sedangkan pemanfaatannya serampangan.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan 99 persen area di Jawa terancam kekeringan dan 13 persen penduduknya tak memiliki akses ke air bersih. Beban lingkungan ini bisa diringankan oleh kesadaran publik akan penggunaan air. “Tapi kuncinya adalah intervensi pemerintah,” kata Annisa, seperti yang ia tuliskan dalam 360info.

Sejak tahun lalu, Pemerintah Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, telah memperingatkan warganya ihwal bahaya kekeringan. Berdasarkan data dari 12 stasiun cuaca, bagian timur, selatan, dan barat Bantul rentan ancaman krisis air. Curah hujan relatif rendah serta banyak hari sonder hujan antara Mei dan Agustus. Sebanyak 73 persen masyarakat Bantul mengandalkan sumur sebagai sumber air dan 14,5 persen dari perusahaan air minum.

Pemerintah daerah bertugas menyediakan infrastruktur air bersih. Dari penampungan, distribusi, hingga akses yang relatif merata. Annisa menyebutkan Pemerintah Kabupaten Bantul perlu menyalurkan lebih banyak anggaran untuk memastikan penyaluran air dan manajemen air bersih.

Dia menyarankan penggunaan sistem tadah hujan sebagai tambahan stok air yang dapat digunakan secara komunal. Bentuknya bisa kolam, sumur resapan di rumah-rumah, atau lubang biopori. Pemanfaatan air hujan dinilai tepat dilangsungkan di Bantul karena memiliki curah hujan tinggi, yakni lebih dari 1.500 milimeter per tahun saat musim basah. “Sejumlah daerah, seperti Sedayu, Piyungan, dan Pandak, telah menggunakan metode ini,” kata Annisa. “Penggunaan yang lebih luas bisa membawa perbaikan kondisi di Bantul.”

REZA MAULANA | 360 INFO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mohammad Reza Maulana

Mohammad Reza Maulana

Bergabung dengan Tempo sejak 2005 setelah lulus dari Hubungan Internasional FISIP UI. Saat ini memimpin desk Urban di Koran Tempo. Salah satu tulisan editorialnya di Koran Tempo meraih PWI Jaya Award 2019. Menikmati PlayStation di waktu senggang.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus