Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bogor – Permasalahan yang menimpa pengembang Sentul City, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengenai pengelolaan lingkungan dan air bersih membuat Wakil Ketua Umum Bidang Tata Ruang Real Estate Indonesia atau REI, Hari Ganie, memberikan pandangannya.
Hari mengatakan, kisruh yang terjadi antara pengembang, pengelola, dan warga Sentul City akibat belum adanya aturan atau payung hukum yang mengatur pengembangan kota mandiri.
Baca: Menko Polhukam Mediasi Sentul City, Warga: Tak Hormati Hukum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, kota mandiri atau lebih umumnya disebut kota baru merupakan konsep pengembangan perumahan skala besar. "Mulai berkembang sejak 1980-an tapi ini belum didukung aturan,” kata Hari melalui siaran tertulis yang diterima Tempo hari ini, Rabu, 19 Juni 2019.
Hari membandingkan dengan konsep hunian yang dibangun developer hingga 1970-an hanya mengandalkan tanah 5 hingga 20 hektare. Sedangkan pengembangan kota mandiri dilakukan di atas lahan berskala kota, lengkap dengan fasilitas dan prasarananya. Konsep kota mandiri dimulai dengan proyek Bumi Serpong Damai (BSD) pada 1980 kemudian menjamur di beberapa wilayah Jabodetabek hingga kini, termasuk Sentul City.
Konsep yang ditawarkan oleh pengembang kota mandiri, pengurus REI ini melanjutkan, bukan hanya fasilitas umum dan prasarana untuk lingkungan. Pengembang harus meyiapkan fasilitas dan prasarana kelas kota, baik luasan maupun kualitasnya.
“Misalnya, sarana pendidikan lengkap dari TK, SD hingga universitas harus dibangun dan beberapa fasilitas lain layaknya kota,” tutur Hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga: Turun Tangan di Kasus Sentul City, Ini Alasan Kemenkopolhukam
Perseteruan Sentul City dengan masyarakat bermula pada September 2016. Saat itu, perwakilan warga Komite Warga Sentul City (KWSC) membuat petisi di laman Change.org karena menganggap PT Sentul City,Tbk. membuat negara di dalam negara dan melanggar Permendagri Nomor 9 tahun 2009 tentang pedoman penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Pemukiman. “Setiap kasus yang kita laporkan ke pihak kepolisian maupun pihak lain enggak pernah ada dampaknya,” kata juru bicara KWSC, Deni Erliana, kepada Tempo pada Senin, 17 Juni 2019.
Hari mengungkapkan konsep pengelolaan kota mandiri membutuhkan waktu yang sangat panjang, berbeda dengan developer yang mengembangkan kawasan di atas tanah kecil yang hanya mampu membuat satu cluster. Hari berpendapat, kalau pengembang perumahan skala kecil akan selesai pekerjaannya dalam 3-4 tahun dan tak perlu pengelolaan kemudian. Sedangkan kota mandiri harus terus dikelola dalam jangka panjang, contohnya BSD teris dikelola oleh pengembang sampai sekarang sejak 1984.
Adapun misi yang diemban para developer kota mandiri adalah membantu pemerintah dalam menyediakan kekurangan perumahan atau housing backlog yang mencapai sekitar 14 jutaan secara nasional. Selain itu juga membantu pengembangan wilayah.
Berdasarkan data REI, proyek kota mandiri di Jabodetabek mencapai 34, seperti BSD, Alam Sutera, Sumarecon, Paramount, Lippo Karawaci, Bintaro, Citra, Citra Raya, Jababeka, Grandwisata, Deltamas, Sentul City, Rancamaya, dan Kota Wisata.
Baca: Ombudsman: Privatisasi Air Sentul City, Negara Rugi Rp 24 Miliar
Hari menyatakan meski begitu belum ada aturan yang spesifik soal pengembangan kota mandiri. Substansi Undang-Undang Perumahan dan Permukiman serta Permendagri Nomor 9 Tahun 2009 tentang PSU dinilainya sangat umum. “Sayangnya belum ada aturan khusus tentang kota mandiri."
Menurut Hari, saat ini Kementerian Dalam Negeri sedang menyusun peraturan pemerintah tentang perkotaan yang salah satunya mengatur kota mandiri. Tapi dia berharap aturan tentang kota mandiri berupa undang-undang.
"Mudah-mudahan dapat mengatasi kisruh-kisruh yang terjadi di Sentul City, misalnya,” kata Hari.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA