Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum enam aktivis Papua, Michael Himan menilai putusan hakim yang menolak gugatan praperadilan kliennya tidak adil. Michael berujar keenam aktivis yang menjadi tersangka dugaan makar itu sama-sama diperlakukan tak adil baik oleh instansi kepolisian atau pengadilan.
"Kami berpikir untuk mencari keadilan di persidangan ini. Tetapi kami diperlakukan sama juga," kata Michael usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 10 Desember 2019.
Hari ini hakim memvonis gugatan praperadilan yang diajukan oleh keenam aktivis Papua. Hakim menolak gugatan sehingga pokok perkara keenamnya tetap berlanjut di kepolisian.
Menurut Michael, rakyat Papua selama ini sudah diperlakukan tak adil di luar persidangan. Kini di persidangan, dia melanjutkan, perlakuan serupa juga dialami keenam aktivis. Buktinya, dia menambahkan, hakim tunggal perkara ini tak mempertimbangkan keterangan saksi ahli dan eksepsi pemohon.
Hakim justru mempersoalkan pemohon yang memasukkan lembaga kepresidenan dalam struktur lembaga penegak hukum sebagai salah satu pihak termohon atau disebut casu quo (Cq). Penjelasan yang menjadi salah satu alasan hakim menolak gugatan praperadilan pemohon.
"Hukum tidak berlaku untuk orang-orang Papua. Orang Papua harus mencari sendiri di luar keadilan dan hukum. Dengan cara apa, kami harus berbarengan di jalanan," jelas Michael.
Keenam tersangka itu adalah Surya Anta, Isay Wenda, Dano Tabuni, Ambrosius Mulait, Carles Kosay, dan Arian Lokbere. Mereka dituduh telah melakukan perbuatan makar.
Polisi menangkap mereka setelah mengibarkan bendera Bintang Kejora saat unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta Pusat pada Agustus lalu. Sebelum unjuk rasa, terjadi peristiwa pengepungan dan penyerangan asrama Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini