Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tercekik Nomenklatur dan Anggaran

DPR dan Ombudsman khawatir masalah di tubuh BRIN menggerus kreativitas dan produktivitas peneliti.   

16 Januari 2023 | 00.00 WIB

Kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional di Jakarta, 12 Januari 2022. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional di Jakarta, 12 Januari 2022. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

JAKARTA Badan Riset dan Inovasi  Nasional (BRIN) memiliki seabrek persoalan sejak didirikan oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Mei 2021. Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi riset dan inovasi, Mulyanto, menilai masalah itu bermula dari perubahan nomenklatur lembaga hingga merembet ke pengelolaan fasilitas dan pendanaan riset. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Untuk nomenklatur, kata Mulyanto, BRIN telah membentuk Kedeputian Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi sebagai pusat pengelolaan semua fasilitas riset. Namun sentralisasi infrastruktur riset ini justru membuat ruang gerak peneliti menjadi terbatas. “Karena nomenklatur baru memindahkan penggunaan dan pengelolaan infrastruktur riset menjadi terpusat di Kedeputian Infrastruktur itu,” kata Mulyanto, kemarin. “Awalnya kan mandiri di masing-masing unit organisasi.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan, pengunaan alat, ruang kerja, dan infrastruktur riset atau penelitian yang dikelola secara sentralistik akan berdampak pada kreatifitas peneliti. Sebabnya, peneliti bergerak di wilayah ide dan gagasan, yang kemudian masuk ke invensi dan inovasi. "Dasar kreativitas itu otonomi. Jadi, ketika kehilangan otonomi, mereka sulit berekspresi,” katanya. “Itu yang mengganggu mereka.”  

Selain itu, urusan pemindahan aset ini rumit, terutama yang tersebar di berbagai daerah. Contohnya aset percobaan benih di Kementerian Pertanian, yang mesti dipusatkan di kedeputian yang telah dibentuk. “Aset seperti itu tidak bisa dipusatkan manajemen administrasinya di BRIN,” ucapnya. “Sedangkan penelitinya bergantung pada aset laboratorium mereka itu.”

Mulyanto khawatir perubahan sistem administrasi yang menjadi sentralistik di kedeputian BRIN dan lambannya akselerasi perubahan nomenklatur bakal berdampak pada produktivitas kinerja peneliti. Sebab, birokrasi yang harus dilewati semakin panjang sehingga peneliti tidak leluasa untuk bekerja.  

Mulyanto juga menyoroti peleburan kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama peleburan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) ke dalam BRIN. Peleburan itu dinilai telah melanggar Undang-Undang Keantariksaan dan Penerbangan serta Undang-Undang Ketenaganukliran. “Tidak cukup peleburan kedua lembaga tersebut dengan Perpres BRIN, seharusnya dengan undang-undang baru atau perpu,” katanya. “Kami usulkan bentuk kembali Lapan dan Batan.”

Dia menilai BRIN cenderung mengarah ke riset dan invensi. Dengan demikian, aspek pengembangan teknologi, perekayasaan, dan audit teknologi kurang mendapat perhatian. Di sisi lain, manajemen sumber daya manusia BRIN masih transisional. Apalagi BRIN juga terlalu cepat dalam penataan tenaga honorer, baik di eks ristek dan LPNK maupun Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. “Padahal Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sendiri belum mengambil langkah final untuk itu,” katanya.  “Akibatnya, gaduh dan kontraproduktif sampai sekarang.” 

Rapat kerja Komisi VII DPR RI dengan Badan Riset dan Inovasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. TEMPO/M Taufan Rengganis

Lembaga yang merumuskan kebijakan iptek saat ini dinilai tidak ada kejelasan antara BRIN ataukah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan-Riset dan Teknologi. Koordinasi iptek sangat lemah karena Kepala BRIN tidak hadir dalam rapat kabinet. “Presiden yang akan datang sebaiknya mengembalikan kelembagaan Kementerian Riset dan Teknologi  yang bertugas merumuskan, menetapkan, dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan riset dan teknologi nasional,” ujarnya.

Di sisi anggaran, kata Mulyanto, DPR mendapat banyak informasi dan keluhan dari peneliti karena mereka diwajibkan menulis karya ilmiah dalam bentuk jurnal internasional. Namun kewajiban itu tidak dibarengi dengan pendanaan yang memadai. Padahal biaya yang dibutuhkan untuk sebuah penelitian sangatlah besar. “Peneliti dengan basis rekayasa dari BPPT, BATAN, LAPAN, kinerjanya bukan hanya membuat paper ilmiah, tapi paten dan produk teknologi sebagai indikator kinerja mereka,” katanya. “Jadi, bukan cuma sekadar e-paper ilmiah. Apalagi pendanaan susah, sehingga jadi kontraproduktif.” 

Skema pendanaan yang semakin terpusat juga menjadi tantangan BRIN. Hingga saat ini, anggaran untuk penelitian atau riset masih berkisar di angka Rp 6 triliun. Padahal, dengan adanya peleburan lembaga, semestinya anggaran penelitian bisa naik menjadi Rp 24 triliun. “Ini sesungguhnya kegagalan peleburan lembaga litbang ke dalam BRIN,” kata Mulyanto.

Ketua Ombudsman Mochamad Najih mengatakan perubahan nomenklatur, struktur, dan birokrasi lembaga penelitian bisa menjadi hambatan. Apalagi, dalam dunia riset, lembaga yang menjadi wadah seharusnya independen dan otonom. “Badan riset dan inovasi harus lepas dari anasir-anasir intervensi,” ucapnya.

Najih sepakat dengan Komisi VII DPR bahwa salah satu persoalan utama yang dihadapi BRIN adalah sumber pendanaan. Idealnya, sumber pendanaan sebesar 80 persen harus datang dari dunia industri. Sehingga nantinya terdapat hubungan antara inovasi dan dunia riset atau dengan BRIN. Selain itu, perubahan struktur dan birokrasi setelah penggabungan berbagai lembaga harus dipersiapkan dengan matang. “Menurut kami, persiapannya tidak komprehensif dalam penggabungan di dalam BRIN,” ucapnya.

Najih melihat masih terdapat ego sektoral yang kuat di semua lembaga riset. Termasuk yang berada di dalam kementerian dan lembaga yang telah digabung. Sebab, masih terlihat beberapa kementerian yang tidak mau menyerahkan fasilitas dan aset yang semestinya diserahkan kepada BRIN.  

IMAM HAMDI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus