Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan anak muda berusia 20-30-an tahun itu berkerumun di depan disc jockey booth Beer Garden, Radio Dalam, Jakarta Selatan, Sabtu dua pekan lalu. Mereka asyik berjoget mengikuti iringan musik yang dimainkan para DJ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lagu-lagu yang diputar pada malam itu terhitung tak lazim untuk klub malam yang biasanya menyuguhkan musik elektronik. Para DJ menyuguhkan lagu dari era 1980-1990-an, seperti Barcelona dari Fariz R.M., Ini Rindu karya Farid Hardja, dan Thriller milik Michael Jackson. Toh, anak-anak dari generasi milenial itu ramai-ramai "melantai". Mereka yang berajojing itu baru lahir ketika lagu-lagu tersebut menjadi hit pada era itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada empat DJ yang tampil di Beer Garden. Mereka adalah Iramamama, Agrikulture, 2 Lampu Neon, dan Diskopantera. Para penonton mulai panas ketika 2 Lampu Neon beraksi membawakan sejumlah tembang hit, seperti Dancing Queen dari grup ABBA, lalu Bis Sekolah dari Koes Plus, dan Bento dari grup Swami dengan vokalis Iwan Fals.
Semuanya dibawakan dengan irama disko yang mengajak penonton bernyanyi dan berdansa. 2 Lampu Neon tampil dengan kaus kutung dan celana pendek. "Sekarang DJ-DJ seperti ini yang disukai," kata Dian, 28 tahun, seorang penonton, saat ditemui di Beer Garden.
Dian, yang datang bersama kawan-kawannya, mengatakan generasi milenial saat ini sedang keranjingan musik-musik disko dari masa lalu, yang juga bisa dinyanyikan bersama-sama di lantai dansa. "Lagunya di-mix gitu, kan. Makanya jadi suka," kata dia.
Anak-anak muda seumuran Dian inilah yang kini menyesaki klub malam di kota-kota besar. Mereka tersedot oleh musik disko 1980-an yang kembali ngetren. Di setiap klub yang mendatangkan para DJ favorit, puluhan hingga ratusan anak muda melantai. Bahkan The Pallas di kawasan SCBD Jakarta Selatan, yang mendatangkan Diskoria Selekta, pernah dijubeli 2.800 penonton.
Pada Sabtu malam itu, penampil utama bukanlah 2 Lampu Neon, melainkan Diskopantera. "Saya sengaja datang demi Diskopantera," ujar Dian.
Sebelum tampil, Diskopantera membagikan headband khas era 1980-an kepada penonton. Penonton pun bersorak. Lalu nomor Cerita Cinta dari Kahitna yang dirilis pada 1994 mengentak. Diskopantera juga memutar lagu Aku Bukan Pengemis Cinta dari Jhonny Iskandar serta Madu dan Racun dari Arie Wibowo.
Diskopantera dan musik yang diputarnya memang tengah digandrungi anak muda. Ia bahkan sering bermain di acara anak-anak sekolah. Salah satu yang pernah mengundangnya adalah para siswa dari SMA 3 Tangerang Selatan. Sania Sri Darmi, salah seorang panitia, mengatakan panitia menggelar voting ke seluruh siswa untuk menentukan bintang tamu yang akan diundang. "Walau lagu zaman dulu, banyak yang ikut bernyanyi juga," katanya saat ditemui pada Selasa lalu.
Penggemar lain musik disko, Ria Rahma, 26 tahun, mengaku menyukai musik ini lantaran jenuh dengan musik-musik non-arus utama di Jakarta. Ia melihat panggung-panggung musik kerap menampilkan pengisi acara yang itu-itu saja. "Musik non-arus utama malah sekarang terasa seperti arus utama," katanya, Rabu lalu.
Ria mengaku memang menyukai musik yang bisa membuatnya bergoyang sembari bernyanyi bersama-sama. Ia merasa kemunculan Diskopantera membuat banyak DJ dengan musik sejenis bermunculan dengan ciri khas masing-masing.
Diskopantera merupakan proyek musik yang dijalankan Rahmat Dwi Putranto sejak 2012. Ia termasuk salah satu yang mempopulerkan musik disko 1980-1990-an kembali digemari anak muda. Awalnya, ia diajak seorang teman untuk menghibur di acara nostalgia "Decade of Decadence" bertemakan era 1980-1990-an pada 2012. Itu pertama kalinya Rahmat Dwi Putranto tampil di atas panggung menggunakan nama Diskopantera, yang diambil dari nama akun Twitter miliknya.
Saat tampil di acara itu, ia mencoba membuat konsep dari pemilihan lagu sampai busana yang dikenakan. Ia meminjam busana dari Cliff, gitaris band Clubeighties, dan memilih lagu-lagu yang bisa menimbulkan guilty pleasure di benak penonton. "Saya putar lagu yang bikin orang bereaksi, 'Sialan, lagu ini lagi'," kata Anto-nama panggilan Rahmat Dwi Putranto-saat ditemui di Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat dua pekan lalu.
Acara itu sukses. Temannya meminta agar proyek musik ini diteruskan. Ia tahu akan sulit menghadapi kerasnya industri musik di Jakarta. Tapi ia terus mengenalkan Diskopantera sebagai cara membawa musik dari masa lalu ke era sekarang. "Diskopantera seolah-olah perwakilan dari masa lalu di masa sekarang," ucap Anto.
Anto mengaku tak sulit mendapatkan panggung, terlebih electronic dance music atau EDM tengah menjadi perhatian anak-anak muda. Ia bersama manajernya pun memilih Bandung sebagai ajang untuk "menjual" Diskopantera. Sambutan luar biasa ia dapatkan. Tawaran tampil terus berdatangan, bahkan banyak orang mengira Anto berasal dari Bandung. "Akhirnya Diskopantera mulai sering (tampil) di Jakarta," tutur Anto.
Ia tak pernah mengira musik disko yang dimainkannya akan memiliki dampak sebesar ini. Ia awalnya menyangka proyek musik tersebut hanya untuk acara reuni atau event bertema 1980-1990-an. Dugaannya ternyata meleset. Generasi milenial justru menyukai apa yang disuguhkannya. "Saya sempat dua-tiga kali manggung di pentas seni SMP," kata Anto. "Saya tak mengira mereka mengenal lagu yang saya putar, karena mereka belum lahir saat lagu itu populer. Tapi mereka bernyanyi semua."
Anak-anak milenial, kata Anto, ternyata gemar mencari tahu ihwal sesuatu hal yang disukainya, bahkan sampai mengulik lebih mendalam. Banyak dari mereka, misalnya, mengoleksi piringan hitam dan kaset. Mereka juga mempelajari gaya hidup ketika musik masa lalu itu tengah menjadi hit.
Bukan cuma Diskopantera, manajemen juga melahirkan kelompok musik disko lain, yaitu 2 Lampu Neon. Grup ini terdiri atas dua DJ, yaitu Janur Kusuma dan Firmansyah yang akrab disapa Firboy. Mereka mulai memainkan musik disko dari masa lalu pada Desember 2017. Awalnya, mereka merupakan tim dari manajemen Diskopantera. Berbekal kemampuan menjadi DJ, keduanya kemudian tampil.
Meski lahir dari manajemen Diskopantera, 2 Lampu Neon memiliki perbedaan dengan Diskopantera. Perbedaan itu, kata Janur, terletak pada musik yang dibawakan. "Kami membawakan disko klasik," ujarnya saat ditemui, Rabu pekan lalu.
2 Lampu Neon sudah berkali-kali tampil di Jakarta dan Bandung. Pada Juli ini, mereka akan tampil di Banjarmasin. Setidaknya dalam sebulan, mereka bisa mendapatkan lima kali tawaran manggung.
DJ lain yang juga tengah mencuri perhatian adalah Diskoria Selekta. Diskoria terdiri atas Merdi Leonardo Simanjuntak dan Fadli Aat. Mereka mengkhususkan diri membawakan lagu-lagu Indonesia dari era 1980-1990-an.
Diskoria berawal dari ajakan Daiva Prayudi kepada Merdi dan Aat untuk tampil dalam acara bernama Suara Disko. Acara itu merupakan sebuah pesta yang memainkan musik Indonesia dari era 1980-1990-an. Setelah acara pertama sukses, mereka akhirnya bersepakat membentuk Diskoria.
Merdi dan Aat memang gemar mengoleksi piringan hitam pemusik Indonesia. Pada saat mencari piringan hitam, mereka menemukan banyak lagu Indonesia dari era itu yang memiliki tempo upbeat atau ada sedikit rasa disko. Hal ini membuat mereka semakin tertarik mengetahui lebih jauh musik Indonesia dari masa lalu.
Pada masa awal mereka menjadi DJ, ada klub malam di Jakarta Selatan yang melarang DJ-DJ tampil membawakan lagu Indonesia. Larangan itu tertulis di DJ booth klub itu. "Teman-teman bertanya, musik ini mau main di mana? Kami jawab saja di acara reuni orang tua atau ulang tahun bapak-bapak," ucap Merdi sembari terkekeh.
Merdi bercerita, Diskoria pernah diundang di sejumlah pentas seni dan prom night siswa SMA. Suasana saat itu, kata dia, sangat seru dan para siswa bisa mengerti lagu-lagu yang dibawakan, bahkan mereka sampai meminta diputarkan lagu-lagu tertentu. "Mereka minta lagu yang jarang didengarkan orang," katanya, Kamis lalu.
Merdi pernah bertanya kepada para siswa itu tentang alasan mengundang mereka. Ternyata para siswa merasa jenuh dengan lagu-lagu populer yang sering diputar di radio, dan mereka melihat ada pergerakan musik lain di luar arus utama. "Mereka tidak sengaja terpapar ke pergerakan yang kami lakukan melalui media sosial," kata dia.
Menurut Aat, Diskoria hadir pada saat yang pas di tengah derasnya musik elektronik dari luar masuk ke Indonesia. Ia melihat musik dan bahasa Indonesia lebih bisa diterima anak-anak muda. "Jadi, mereka menyanyikan suara isi hati mereka."
Lebih jauh, Merdi menyampaikan bahwa faktor bahasa memegang peran penting karena musik yang dimainkan dalam bahasa Indonesia bisa membuat berjoget dan bernyanyi dengan senang, bahkan baginya seperti memindahkan ruang karaoke ke lantai dansa. "Tren disko karaoke menggantikan disko EDM," kata Merdi. "Disko dipilih sebagai bahasa yang dirasa lebih 'awam' dalam format presentasi DJ set."
Merdi pun bungah ketika dalam beberapa penampilan melihat sejumlah perempuan berhijab datang menyaksikan penampilan mereka. Baginya, pemandangan seperti itu di klub malam merupakan hal yang jarang terjadi. Sekalipun tak meminum alkohol, para perempuan berhijab itu bisa melebur dengan penonton lain. "Kami senang sekali, artinya musik kami untuk siapa saja," kata dia.
Ketika ditanyakan apa istilah yang tepat untuk menggambarkan musik yang tengah digemari ini, Anto menjawab tak mengetahuinya. Hal yang penting baginya adalah penonton bisa bersenang-senang dan bernyanyi bersama. "Disebut disko karaoke, saya oke saja. Saya tak masalah dengan pelabelan orang." MUHAMMAD KURNIANTO | DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo