Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Menggarap Kampus demi Amendemen Konstitusi

MPR giat menggalang dukungan rencana amendemen konstitusi ke kampus-kampus.

18 Maret 2021 | 00.00 WIB

Suasana focus group discussion (FGD) bertajuk "Wacana Amandemen UUD NRI Tahun 1945 Khususnya Terkait Dihidupkannya Kembali GBHN" di Universitas Pajajaran, Bandung, Jawa Barat, 14 September 2020. Dok. Unpad
Perbesar
Suasana focus group discussion (FGD) bertajuk "Wacana Amandemen UUD NRI Tahun 1945 Khususnya Terkait Dihidupkannya Kembali GBHN" di Universitas Pajajaran, Bandung, Jawa Barat, 14 September 2020. Dok. Unpad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • MPR terus menggalang dukungan untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) lewat amendemen UUD 1945.

  • Dengan janji amendemen konstitusi terbatas, MPR menggalang dukungan ke kampus-kampus.

  • Sejumlah ahli hukum tata negara khawatir amendemen menjadi kuda troya yang ditunggangi banyak kepentingan politik.

JAKARTA -- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terus menggulirkan rencana amendemen Undang-Undang Dasar 1945 meski ditentang banyak kalangan. Dengan janji amendemen terbatas, hanya untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), belakangan ini MPR giat menggalang dukungan ke sejumlah universitas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Wakil Ketua Bidang Pengkajian Ketatanegaraan MPR, Sjarifuddin Hasan, mengatakan kampus memiliki peran strategis dalam inisiatif pengaktifan kembali GBHN, yang dimodifikasi namanya oleh MPR menjadi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Secara kelembagaan, MPR pun aktif menjaring masukan dari para akademikus di perguruan tinggi berkaitan dengan upaya menghidupkan kembali GBHN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut Sjarifuddin, masukan dari kampus diperlukan untuk mempertajam alternatif bentuk hukum yang akan dipilih MPR dalam menyusun GBHN. "Kami perlu mensosialisasi rencana menghidupkan GBHN ini ke para akademikus secara menyeluruh,” kata dia kepada Tempo, kemarin.

Sejauh ini, berdasarkan kajian Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR, ada dua opsi untuk mengaktifkan GBHN seperti pada era Orde Baru. Opsi pertama, memasukkan GBHN dalam Ketetapan (Tap) MPR melalui mekanisme amendemen UUD 1945. Pilihan kedua, haluan negara itu cukup diatur melalui undang-undang. Sjarifuddin mengatakan, hingga kini, belum ada kesepakatan berkaitan dengan opsi yang dipilih MPR. "Kami harus mendengar lebih banyak masukan dari masyarakat,” kata dia.

Wakil Ketua MPR Sjarifuddin Hasan dalam focus group discussion (FGD) bertajuk "Wacana Amendemen UUD NRI Tahun 1945 Khususnya Terkait Dihidupkannya Kembali GBHN", di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, 14 September 2020. Dok. MPR

 

Adanya penggalangan dukungan universitas untuk menghidupkan kembali GBHN juga diungkapkan anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Timur, Ahmad Nawardi. Menurut dia, amendemen UUD 1945 untuk mengembalikan GBHN membutuhkan konsultasi dengan banyak akademikus. "Perubahan konstitusi merupakan hal mendasar, sehingga pertukaran ide antara akademikus dan parlemen harus diperbanyak," kata dia.

Selain menggalang dukungan universitas secara kelembagaan, menurut Ahmad, DPD dan fraksi partai politik di MPR membuat pelbagai diskusi yang melibatkan para akademikus. Nantinya, hasil pembahasan itu menjadi bekal, baik buat DPD maupun fraksi partai politik, untuk menyuarakan usul di forum MPR. "Kami intens menggelar diskusi dengan para pakar hukum tata negara," kata dia.

Salah satu perguruan tinggi yang menjadi mitra MPR adalah Universitas Airlangga. Sejak 2016, MPR menggelar focus group discussion (FGD) bersama sejumlah guru besar Unair yang membahas wacana GBHN sebagai salah satu panduan dalam perencanaan pembangunan. Berdasarkan artikel yang dimuat di laman resmi Unair.ac.id, guru besar Fakultas Hukum Unair, Suparto Wijoyo, mengatakan perlu adanya pengembalian harkat MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sebab, dia menganggap selama ini MPR hanya menjadi institusi penonton yang tidak merepresentasikan kehendak rakyat.

Selasa lalu, melalui Pusat Studi Konstitusi dan Ketatapemerintahan (PSKK), Unair menggaet Universitas Islam Negeri Sunan Ampel menggelar seminar dengan topik senada. Seminar turut mengundang Kepala Biro Pengkajian MPR, Yana Indrawan.

Wakil Dekan Fakultas Hukum Unair yang juga peneliti di PSKK, Radian Salman, mengatakan seminar itu bertujuan untuk menjaring masukan perihal gagasan PPHN yang tengah dikaji MPR. Menurut dia, haluan negara yang digagas MPR saat ini berbeda dengan GBHN pada era Orde Baru, tapi dapat efektif sebagai media evaluasi dan akuntabilitas lembaga negara.

PSKK, menurut Radian, juga diminta mengkaji rekomendasi MPR periode 2014-2019. Rekomendasi itu, antara lain, memuat arahan penataan sistem presidensial, penataan kewenangan MPR, Dewan Perwakilan Daerah, serta kekuasaan kehakiman. "Kami sudah selesai mengkajinya dan sudah dilanjutkan dengan FGD," ujar dia, kemarin.

Bulan lalu, MPR juga menyambangi Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan tujuan serupa. Wakil Ketua MPR, Fadel Muhammad, menemui Rektor UGM, Panut Mulyono, dan menyerahkan berkas sebanyak sepuluh halaman yang berisi poin-poin tentang PPHN.

Kepada Tempo, Panut mengatakan Fadel meminta masukan UGM berkaitan dengan haluan negara. Fadel juga mengajak UGM terlibat dalam diskusi kelompok terbatas. Panut mengatakan UGM setuju atas tawaran Fadel ini. Soal bagaimana sikap UGM terhadap upaya menghidupkan kembali GBHN, kata Panut, hal itu akan sangat bergantung pada hasil diskusi kelompok terfokus. "Kami akan menggelar FGD dulu pada Maret ini, baru kemudian merumuskan sikap,” kata Panut.

Kampus lainnya yang didatangi MPR adalah Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung. Diskusi berkaitan dengan GBHN sudah dilakukan MPR bersama Unpar pada 2017. Acara serupa di kampus Unpar terlaksana pada akhir 2019, yang dihadiri oleh Fadel Muhammad dan Wakil Ketua DPD Nono Sampono.

Universitas Padjadjaran pun diminta melakukan riset tentang rencana pemberlakuan kembali GBHN ini. Guru besar hukum tata negara Unpad, Susi Dwi Harijanti, mengemukakan, Biro Pengkajian MPR meminta lembaganya mengkaji opsi penerapan GBHN, baik opsi melalui Ketetapan MPR maupun pembentukan undang-undang.

Namun Susi menolak tawaran itu. Alasannya, proses penelitian masalah mendasar dalam ketatanegaraan itu akan memakan waktu bertahun-tahun, tak boleh instan. "Itu riset yang multiyears menurut saya. Tidak bisa hanya tiga bulan seperti yang ditawarkan MPR,” kata dia.

Sebagai gantinya, Susi mengajukan kajian tentang bentuk ideal GBHN yang relevan dengan sistem ketatanegaraan saat ini. Kajian pun rampung dan menyatakan bahwa GBHN harus diatur sebagai bagian dari konstitusi dalam bentuk directive principles of states policy. Hal itu bertujuan agar haluan negara dapat menjadi norma tertinggi yang disepakati bersama oleh lembaga negara. Berkaca dari konstitusi India, Brasil, dan Filipina, Susi menilai bentuk ini dinilai lebih efektif dibanding GBHN yang ditetapkan MPR.

Tak hanya menyelenggarakan seminar di kampus-kampus, MPR juga menggandeng Forum Rektor Indonesia untuk menggaungkan rencana pengaktifan lagi haluan negara. Kedua lembaga itu berkongsi mengadakan seminar di kantor MPR, November lalu. Wakil Ketua Forum Rektor, Nasrullah Yusuf, menegaskan lembaganya mendukung penerapan haluan negara. "Ini agar pembangunan dapat sesuai dengan Pancasila,” kata dia.

Berbeda dengan sikap para pemimpin universitas, sejumlah ahli hukum tata negara justru cemas rencana amendemen konstitusi ini akan melebar. Mereka khawatir pembahasan PPHN akan menjadi semacam kuda troya yang akan ditunggangi banyak kepentingan politik. Misalnya, yang paling dicemaskan para ahli hukum adalah menggunakan pembahasan PPHN untuk memasukkan agenda memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Peluang untuk mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR juga terbuka lebar. "Sekali dibuka, agenda pembahasan bisa menjadi liar,” kata ahli hukum tata negara Universitas Airlangga, R. Herlambang Perdana Wiratraman, kemarin.

Di luar gedung parlemen, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan telah menggaungkan ide untuk menghidupkan kembali GBHN sejak kongres partai itu di Bali, Agustus 2019. PDIP ingin pengembalian GBHN diwujudkan lewat amendemen Undang-Undang Dasar 1945.

Anggota Badan Pengkajian MPR dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno, mengatakan pembentukan PPHN menjadi salah satu prioritas kerja MPR. "Setelah MPR periode lalu membuat kajian, MPR periode sekarang lebih berfokus pada PPHN,” katanya.

Upaya mewujudkan kembali GBHN memang telah digarap sejak MPR periode lalu. Ketua MPR periode 2014-2019, Zulkifli Hasan, menyerahkan draf amendemen untuk dibahas MPR periode sekarang. Tak lama setelah dilantik sebagai Ketua MPR pada Oktober 2019, Bambang Soesatyo pun bersafari ke pemimpin partai politik dan organisasi kemasyarakatan untuk menyuarakan rencana amendemen konstitusi ini.

SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA) | ROBBY IRFANY

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus