Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Program Solidaritas Perempuan (SP), Dinda menjelaskan proyek reklamasi berdampak negatif bagi nelayan perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tidak hanya terjadi di Jakarta, di berbagai daerah pesisir yang ada proyek reklamasi juga seperti Lampung, Makassar, Kendari, dan Palu," kata Dinda saat menjadi pembicara dalam diskusi Tolak Reklamasi di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Selasa 17 Oktober 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mewawancarai seorang perempuan penangkap kerang di Teluk Jakarta. Perempuan itu mengaku kondisinya secara ekonomi mulai membaik saat moratorium (penghentian) proyek reklamasi diterapkan di Teluk Jakarta.
Dua pekan lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Panjautan mencabut moratorium yang dikeluarkan Menko Kemaritiman sebelumnya, yakni Rizal Ramli.
Menurut Dinda, wanita itu mengaku kondisi ekonominya kembali memburuk setelah Luhut Panjaitan mencabut penghentian sementara proyek reklamasi. "Soal tangkapannya juga, membaik saat tidak ada proses pengerjaan reklamasi," kata Dinda.
Untuk itu, Dinda meminta Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang baru, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno segera merealisasikan janji kampanyenya. Ia merasa tidak ada alasan lagi bagi Anies-Sandi untuk menunda penolakan reklamasi.
"Sudah cukup, kajian sudah cukup," ujar Dinda.
Selain itu nelayan perempuan juga belum mendapatkan pengakuan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan.
"Padahal 15 persen nelayan yang bertugas dalam penangkapan primer adalah perempuan," ujar Dinda. Ia juga menyampaikan bahwa dalam proses pengolahan tangkapan, sebanyak 90 persen pengolah adalah perempuan.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Pemberian Jaminan Hak-hak Nelayan, perempuan tidak disebutkan secara spesifik. Menurut Dinda, dalam peraturan tersebut nelayan perempuan hanya disebut sebagai istri nelayan.