Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nelayan Perempuan Jadi Korban Proyek Reklamasi

Selain berdampak pada proyek reklamasi, Solidaritas Perempuan mencatat nelayan perempuan juga menanggung beban kerja domestik, dengan kerja rata-rat

18 Oktober 2017 | 02.36 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wartawan foto komunitas Jurnalis Joran Indonesia (Jojoners) membagikan bingkisan terhadap anak nelayan saat acara Sahur on the Boat dikawasan Tanjung pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, 4 Juli 2015. Acara ini juga diisi dengan memeberikan bantuan kepada anak dan istri nelayan di lingkungan pesisir pantai. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Program Solidaritas Perempuan (SP), Dinda menjelaskan proyek reklamasi berdampak negatif bagi nelayan perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tidak hanya terjadi di Jakarta, di berbagai daerah pesisir yang ada proyek reklamasi juga seperti Lampung, Makassar, Kendari, dan Palu," kata Dinda saat menjadi pembicara dalam diskusi Tolak Reklamasi di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Selasa 17 Oktober 2017.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mewawancarai seorang perempuan penangkap kerang di Teluk Jakarta. Perempuan itu mengaku kondisinya secara ekonomi mulai membaik saat moratorium (penghentian) proyek reklamasi diterapkan di Teluk Jakarta.

Dua pekan lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Panjautan mencabut moratorium yang dikeluarkan Menko Kemaritiman sebelumnya, yakni Rizal Ramli.

Menurut Dinda, wanita itu mengaku kondisi ekonominya kembali memburuk setelah Luhut Panjaitan mencabut penghentian sementara proyek reklamasi. "Soal tangkapannya juga, membaik saat tidak ada proses pengerjaan reklamasi," kata Dinda.

Untuk itu, Dinda meminta Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta yang baru, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno segera merealisasikan janji kampanyenya. Ia merasa tidak ada alasan lagi bagi Anies-Sandi untuk menunda penolakan reklamasi.

"Sudah cukup, kajian sudah cukup," ujar Dinda.

Selain itu nelayan perempuan juga belum mendapatkan pengakuan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan.

"Padahal 15 persen nelayan yang bertugas dalam penangkapan primer adalah perempuan," ujar Dinda. Ia juga menyampaikan bahwa dalam proses pengolahan tangkapan, sebanyak 90 persen pengolah adalah perempuan.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016 tentang Pemberian Jaminan Hak-hak Nelayan, perempuan tidak disebutkan secara spesifik. Menurut Dinda, dalam peraturan tersebut nelayan perempuan hanya disebut sebagai istri nelayan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus