KULIT buku itu berwarna hitam dicetak luks, 205 halaman. Judulnya berwarna merah: Butir-Butir Budaya Jawa. Di bawahnya tertulis Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Benik (Mencapai Kesempurnaan Hidup. Berjiwa Besar, Mengusahakan Kebaikan Sejati). Tidak ada nama pengarang, penerbit, atau tahun penerbitan. Membuka buku tersebut barulah ketahuan: buku ini berisi kumpulan pituduh (petunjuk) dan wewaler (pantangan) yang dikumpulkan oleh Pak Harto untuk anak cucunya. "Buku ini saya berikan pada anak-anakku sebagai pegangan hidup," tulis Pak Harto dalam halaman depan buku ini, disusul tanda tangan dan coretan tanggal 8 Juni 1986 - persis di hari ulang tahunnya yang ke-65. Prakata ditulis oleh Hardiyanti Rukmana- putri sulung Presiden Soeharto, yang biasa dipanggil Tutut - mengatasnamai putra-putri, menantu, dan cucu-cucu. "Melalui buku ini kami ingin menghaturkan rasa terima kaslh yang sebesar-besarnya kepada Bapak dan Ibu tercinta yang selama ini telah mendidik, mengasuh, dan memberikan segala-galanya kepada kami," tulis Tutut. Riwayat lahirnya buku ini dikisahkan Tutut pada TEMPO pekan lalu. "Kami selalu diberi nasihat oleh Bapak sejak kecil. Lalu ketika saya menjelang dewasa, suka saya tulis. Lama-kelamaan Bapak juga kerso (berkeinginan) menulis. Kalau Bapak sih dari sejak beliau masih muda memang suka sekali baca dan mengumpulkan petuah-petuah yang bagus. Rupanya, setelah punya putra, beliau makin rajin mencatat, mungkin untuk nanti diberikan suatu saat." Nasihat itu diberikan tidak tentu, biasanya di waktu istirahat. "Kalau sekarang, yang waktu sore, sebelum acara tivi. Cuma ya nggak selalu tiap hari, karena kami juga tahu Bapak terlalu capek, kami nggak ingin mengganggu . Kata Tutut lebih lanjut. "Kalau Bapak memberikan wejangan, biasanya kami semua diam. Karena menarik sekali cara beliau menyampaikan. Biasanya Ibu menambahkan." Pada 1983 - tepat pada Rabu Kliwon 1 Syawal 1851 atau 13 Juli 1983, saat Pak Harto berusia 64 tahun (dalam hitungan Jawa disebut Tumbuk Ageng)--kumpulan wejangan itu tersusun. Mungkin untuk menandai hari itu, buku ini dihiasi ornamen naga, yang merupakan candrasangkala Jawa yang berarti Buntut Tinata Naga Raja (Ekor diatur oleh Kaja Naa), melambangkan angka (tahun) 1851. Candrasangkala ini bisa diartikan "Pengikut (anak-cucu) diatur (keselamatannya) oleh pemimpin (ayah)". Setelah diketik rapi dalam bahasa Jawa, naskah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. "Tahun 1986 kumpulan itu di-paring-kan (diberikan) pada saya. Setelah saya baca, saya merasa buku itu bagus sekali untuk disebarluaskan," kata Tutut. Tutut pun meminta izin pada sang ayah. "Bapak bilang boleh. Nah, dari situ mulai kami rintis, karena saya tahu yang namanya falsafah nenek moyang itu bagus. Jadi, saya ingin agar orang asing itu tahu bahwa falsafah bangsa Indonesia itu bagus dan tinggi sekali." Buku itu kemudian diterbitkan pada hari peringatan pernikahan Pak Harto dan Ibu Tien yang ke-40, pada 26 Desember 1987. Pertama dicetak seribu eksemplar. Setelah banyak yang meminta, dicetak lagi 5 ribu eksemplar. "Nanti pelan-pelan nambah," ujar Tutut. Mungkin karena salah satu tujuannya adalah agar orang asing juga bisa memahami, semua isi buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris - dan dilengkapi dengan naskah dalam huruf Jawa. "Pemakaian huruf Jawa itu untuk mengingatkan kembali bahwa kita punya tulisan Jawa. Lagi pula, sumbernya memang dari sana," ujar Tutut. Sumber pituduh dan wewaler ini memang dari kitab-kitab Jawa klasik dan baru, yang berasal dari 13 sumber. Di antaranya: Centini, Nitisastro, dan Wulangreh, ajaran Ronggowarsito, R.M. Said dan Jayabaya. Menurut ahli kebudayaan Jawa H. Karkono Partokusumo, 73 tahun, ada juga ajaran Sosrokartono dan Ki Hajar Dewantara yang dikutip dalam buku ini. Tradisi meninggalkan wasiat berupa petunjuk, maupun pantangan, menurut Karkono, memang dikenal dalam kehidupan orang Jawa, khususnya di kalangan para bijaksana, pendeta, raja, pujangga, dan orang terkemuka. Kitab-kitab Nitisastro (Jawa kuno), Wulangreh (Paku Buwana IV), Wedatama (Mangkoenagoro IV) adalah wasiat, peningalan bermutu. Menurut Karkono, mengingat usianya, Bapak Ibu Soeharto sudah sepatutnya meninggalkan wasiat kepada anak cucu. Dalam Nitisastro disebutkan, "Anak yang berumur 5 tahun, hendaknya diperlakukan sebagai anak raja jika berumur 7 tahun, dilatih supaya menurut. Jika sudah berusia 10 tahun, diajari membaca. Jika sudah 16 tahun, diperlakukan sebagai sahabat. Kalau kita mau menunjukkan kesalahannya, harus dengan hati-hati sekali. Jika sudah beranak, diamat-amati saja tingkahnya. Kalau hendak memberi pelajaran kepadanya, cukup dengan gerak dan isyarat." Gerak dan isyarat itu oleh Pak Harto rupanya diberikan lebih kongkret, berupa bacaan muha yang dapat ditelaah, diingat, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. "Dengan.wasiat itu Pak Harto suami-istri telah memenuhi kewajiban sebagai pendidik, khususnya kepada putra-putrinya," kata Karkono. Menelaah buku ini, Dr. I. Kuntara Wiryamartana, ahli sastra Nusantara dari UGM melihat sejumlah kesalahan kecil yang perlu diluruskan, yang mungkin terjadi sewaktu penyuntingan. Misalnya, tertulis kekenthelan, padahal seharusnya kekendelan (keberanian). Ada pula kalimat yang kurang lengkap dikutip. Misalnya seharusnya keset ngelmu, ditulis keset saja, hingga terjemahannya kurang tepat. Alasan Kuntara, Butir-Butir Budaya Jawa ini mungkin sekali akan dibaca masyarakat luas. "Untuk menghindari salah paham dalam cetakan berikutnya, ejaan dalam huruf Jawa, perumusan ucapan, dan terjemahannya perlu diperiksa kembali," katanya. Karkono sepakat. Ia juga melihat ajaran yang termuat dalam buku ini amat berguna bagi usaha menuju kesejahteraan hidup lahir batin yang hendak dicapai oleh pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. "Mengingat penghimpun butir-butir itu Presiden kita, wasiat untuk anak-cucu itu, setelah diperbaiki dan disusun kembali, patut ditingkatkan menjadi wasiat untuk rakyat," ujarnya. Susanto Pudjomartono, B. Harymurti, I Made Suarjana, Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini