Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penolakan dari berbagai pihak tak membuat Kementerian Kesehatan mundur untuk mendukung penerapa cukai minuman berpemanis. Kemenkes berkeyakinan angka penderita diabetes dan obesitas dapat ditekan jika pemerintah memungut cukai minuman berpemenis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pengaturan cukai adalah salah bentuk upaya intervensi pengendalian penyakit tidak menular. Dalam hal ini adalah pengendalian kadar gula," kata juru bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi kepada Tempo pada Kamis, 21 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nadia menegaskan bahwa gula merupakan penyebab obestitas dan pemicu diabetes melitus. Keduanya sangat beresiko mengundang penyakit jantung, stroke, ginjal, dan bahkan organ lainnya. Untuk itu menurut Nadia, pembatasan konsumsi gula oleh masyarakat harus dilakukan seoptimal mungkin.
"Cukai adalah salah satu upaya kontribusi pengaturan dari sisi fiskal untuk kesehatan masyarakat," ujarnya.
Sikap Kemenkes didukung oleh Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman. Menurut dia, minuman berpemanis sudah terbukti memicu gangguan kesehatan. Bahkan, Dicky menjelaskan, tren konsumsi gula berlebihan sudah menjalar ke orang berusia muda, termasuk anak-anak.
"Riset telah menunjukkan hubungan yang erat antara konsumsi minuman berpemanis atau surgary drinks dan diabetes tipe II serta obesitas," kata Dicky saat dihubungi Tempo, Jumat, 15 Maret 2024.
Dicky menyatakan, konsumsi minuman berpemanis berlebihan dapat memberikan dampak negatif yang signifikan bagi kesehatan, mulai dari karies gigi, jantung koroner, hingga kematian. Berdasarkan riset ilmiah soal aspek kesehatan itu, jelas Dicky, cukai minuman berpemanis dapat menjadi solusi untuk menekan konsumsi gula masyarakat. Sebab dengan cukai, produk minuman jadi lebih mahal dan membuat masyrakat mengurangi konsumsinya. Persis seperti tujuan cukai rokok.
"Penerapan cukai minuman berpemanis berpotensi mengurangi angka diabetes, obesitas, dan masalah kesehatan lainnya," tuturnya.
Namun demikian, kelompok industri minuman berpemanis menolak jika produknya disebut biang keladi penyakit tak menular seperti diabetes.
"Kita tahu industri minuman atau produk minuman siap saji bukan kontribusi utama dari sisi kalori," tutur Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) Triyono Prijosoesilo di Hotel Mercure Jakarta, Rabu, 13 Maret 2024.
Menurut Triyono, alih-alih mencapai tujuan kesehatan, rencana penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) justru akan menggerus pertumbuhan industri. Pertumbuhan industri minuman disebut bakal melambat jika cukai diterapkan.
"Kalau kami menaikkan harga, apakah menjadi terjangkau oleh konsumen. Mau enggak konsumen membeli?" ujarnya.
Salah seorang konsumen minuman berpemanis, Kharisma Balkis, 25 tahun, juga keberatan jika cukai minuman berpemanis diterapkan. Gadis itu kerap membeli minuman berkemasan dalam jumlah banyak, mulai dari kemasan botol maupun karton. Menurut dia, penerapan cukai minuman berpemanis justru memberatkan para konsumen seperti dirinya. Karyawan swasta sekaligus content creator itu menilai bahwa minuman berpemanis pun tak serta merta menyebabkan diabetes dan obesitas, selama dikonsumsi sewajarnya.
"Semua makanan dan minuman yang dikonsumsi berlebihan akan menyebabkan diabetes juga. Sebagai konsumen, kita harus bisa membatasi diri," tuturnya kepada Tempo, Ahad, 17 Maret 2024.
Seorang konsumen lain, Mariana Silaban, 19 tahun, mengusulkan cara selain cukai untuk membatasi konsumsi gula masyarakat. Daripada cukai, kata mahasiswi hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengusulkan pemerintah membuat kebijakan pembatasan kadar gula dalam minuman berpemanis, jika memang bertujuan untuk menurunkan angka penderita diabetes dan obesitas.
"Karena ketika seorang konsumen sudah memiliki loyalitas tinggi pada suatu barang, seperti minuman berpemanis dalam kemasan, harga bukan lagi faktor penentu yang mempengaruhi pembelian," kata Mariana saat dihubungi Tempo, Minggu, 17 Maret 2024.
Polemik cukai minuman berpemanis ini merembet ke Senayan. Dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Keuangan pada Selasa, 19 Maret 2024, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit, menanyakan rencana penerapan cukai minuman berpemanis dan plastik kepada Menteri Keuangan. Menurut dia, Menteri Keuangan Sri Mulyani belum pernah menjelaskan rencana tersebut padahal sudah ditaragetkan sebagai salah satu penerimaan negara pada APBN 2024.
Rencana pemerintah menerapkan cukai minuman berpemanis terungkap dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2023 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2024. Di sana pemerintah menetapkan pendapatan cukai produk plastik sebesar Rp 1,84 triliun, dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) Rp 4,38 triliun.
Merespon Dolfie, Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengungkapkan, regulasi pungutan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik belum rampung dibahas.
"Kebijakan mengenai ekstensifikasi cukai tersebut masih didiskusikan di internal pemerintah," kata Askolani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Senayan pada Selasa, 19 Maret 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, cukai MBDK merupakan aturan yang kompleks. Pasalnya, undang-undang mengenai kesehatan menyaratkan bahwa masalah cukai MBDK masuk di undang-undang kesehatan. Nantinya, akan ada pembahasan antarkementerian atau lembaga seperti Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian. Tepatnya pembahasan soal kadar gula yang dianggap sehat oleh Kementerian Kesehatan versus industri.
"Jadi, ini makanya memang sudah mulai muncul berbagai reaksi, karena adanya pembahasan antarkementerian dan lembaga. Tapi sebetulnya dari sisi kami sebagai yang harus melaksanakan, kami juga perlu untuk konsultasi," kata Sri Mulyani.
Rencana penerapan cukai minuman berpemanis sebetulnya bukan barang baru. Dia juga pernah tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 Tentang Rincian Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023. Namun akhirnya dibatalkan dan direvisi menjadi nol dalam Perpres 75 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Perpres 130/2022. Jadi apakah tahun ini akan dibatalkan lagi?
"Kebijakan tersebut masih dibicarakan di lintas kementerian. Jadi, bukan DJBC yang berkewenangan memutuskan kebijakan tersebut," kata Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementan Keuangan Askolani dalam pesan tertulisnya kepada Tempo, hari ini, Kamis, 21 Maret 2024.