Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Kubu oposisi mengamankan kemenangan dalam pemilu Thailand yang dilangsungkan pada Minggu, 14 Mei 2023, setelah mengalahkan partai-partai yang bersekutu dengan militer. Langkah progresif pemerintahan baru Thailand dinantikan pada arah kebijakan luar negeri – khususnya di ASEAN dalam menangani krisis Myanmar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan 99 persen suara telah dihitung, Reuters melaporkan, Partai Move Forward yang liberal dan partai populis Pheu Thai, berada jauh di depan para lawan-lawannya. Namun mereka masih terhambat peraturan parlementer yang dirancang oleh militer setelah kudeta 2014 dalam membentuk administrasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai Move Forward didukung oleh gelombang dukungan dari para pemilih muda. Platform politiknya adalah reformasi kelembagaan dan pembongkaran monopoli di Thailand. Pemimpin Move Forward Pita Limjaroenrat, dalam wawancara baru-baru ini dengan the Standard, menekankan hubungan internasional bukanlah tentang memilih sisi, melainkan prinsip.
"Sebab tatanan dunia baru bukanlah tatanan dunia.” Pita, secara eksplisit “berjanji untuk mengedepankan hak-hak fundamental dalam kebijakan luar negeri Thailand.”
Krisis Myanmar menjadi duri dalam daging bagi Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Negara tetangga Thailand ini dilanda kekerasan dan gejolak ekonomi sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta 2021. Tatmadaw melancarkan tindakan keras terhadap lawan, beberapa di antaranya melarikan diri ke luar negeri untuk membentuk Pemerintah Persatuan Nasional (NUG).
ASEAN dibikin frustasi sebab Junta Myanmar belum juga mengimplementasikan konsensus, yang salah satu mandatnya menyerukan segera penghentian kekerasan. Namun pengamat melihat respons ASEAN dalam menangani krisis di Myanmar lamban dipicu oleh dinamika forum dalam melihat isu ini. Ketika negara-negara lain berusaha menekan Myanmar, Pemerintahan Thailand saat ini justru bersikap sebaliknya.
Thailand yang menjadi tuan rumah pembicaraan pada Desember lalu menghadirkan junta militer dari Myanmar. Anggota kunci ASEAN, termasuk Indonesia, Singapura, dan Malaysia absen dalam pertemuan tersebut.
Rapat tingkat tinggi di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur menggelar pertemuan khusus untuk membahas upaya penyelesaian krisis di Myanmar pada Kamis, 11 Mei 2023. Presiden RI Joko Widodo menyiratkan seluruh negara anggota berkomitmen dalam menyelesaikan masalah ini, dengan menekankan persatuan ASEAN.
Sumber Tempo yang berada dalam forum menggambarkan, pembahasan soal Myanmar di KTT ASEAN berlangsung secara open and candid. Walau tak menyebutkan negara mana, dia tak menampik ada perbedaan pandangan di dalam forum karena latar belakang kepentingan nasional yang berbeda.
Justice for Myanmar (JFM), kelompok aktivis bawah tanah yang mendorong terbentuknya negara federal Myanmar yang adil dan damai, menyoroti dukungan negara-negara ASEAN seperti Thailand dan Vietnam, terhadap junta militer. Jenderal Senior Myanmar Min Aung Hlaing disebut memiliki hubungan erat dengan Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-Cha.
Juru Bicara JFM Yadanar Maung kepada Majalah Tempo pada Februari lalu mengatakan, setelah kudeta di Myanmar, Prayut dan Min Aung menjalin kontak dengan saluran belakang. Utusan Thailand untuk Myanmar disebut telah menyatakan akan menentang sanksi terhadap Myanmar.
Kepala Departemen Internasional Center for Strategic and International Studies Lina Alexandra menilai secara keseluruhan tidak akan terlalu banyak perubahan dalam kebijakan luar negeri Thailand walau kubu oposisi menang pemilu. "Sebab, kepentingan nasional Thailand termasuk soal Myanmar, akan dipertahankan," katanya Senin, 15 Mei 2023.
Namun demikian, menurut Lina, kemenangan oposisi ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia, yang saat ini menjabat sebagai Ketua ASEAN, dan negara-negara seperti Malaysia dan Singapura untuk menegosiasikan ulang bagaimana membawa Thailand ke arah yang lebih konstruktif dalam penyelesaian krisis Myanmar bersama. Dengan catatan "tentu perlu adanya peta jalan yang jelas, bukan hanya sekedar pernyataan ASEAN penting, tapi jalan sendiri semua."
Pita, dalam sebuah pernyataan video yang ditayangkan CH3, mengatakan, partainya akan mengikuti konsensus lima poin ASEAN dan memastikan mencapai tujuannya untuk mengakhiri kekerasan di Myanmar. "Tanpa kehadiran Thailand, konsensus lima butir ASEAN tidak akan tercapai. Thailand perlu memimpin dalam membangun koridor kemanusiaan antara kedua negara," katanya seperti dikutip The Enquirer.
Masih Tersandera Militer
Pemilihan Minggu adalah pertarungan terbaru seteru lama dalam perebutan kekuasaan di Thailand. Pheu Thai, di satu sisi, raksasa populis dari keluarga miliarder Shinawatra. Di sisi lain, konservatif dan militer yang punya pengaruh atas lembaga-lembaga kunci di jantung kekacauan selama dua dekade.
Untuk memerintah, partai-partai oposisi perlu mencapai kesepakatan dan mengumpulkan dukungan dari berbagai kubu, termasuk anggota Senat yang ditunjuk junta yang berpihak pada partai-partai militer dan dapat memilih siapa yang menjadi perdana menteri dan membentuk pemerintahan berikutnya.
Pita, mantan eksekutif aplikasi transportasi online berusia 42 tahun, menyebut hasil pemilu Thailand sensasional. Dia bersumpah untuk tetap setia pada nilai-nilai partainya saat membentuk pemerintahan.
Partai Move Forward dan Pheu Thai telah sepakat untuk membentuk koalisi setelah mereka mengalahkan saingan yang didukung militer. Pita mengatakan dia telah mengusulkan aliansi yang akan menguasai 309 kursi dan dia siap untuk menjadi perdana menteri.
Pita menginginkan semua pihak harus menghormati hasil pemilu dan tidak ada gunanya menentangnya. "Saya tidak khawatir tapi saya tidak ceroboh," katamnya dalam konferensi pers pada Senin, 15 Mei 2023. "Ini akan menjadi harga yang cukup besar untuk dibayar jika seseorang berpikir untuk menyanggah hasil pemilu atau membentuk pemerintahan minoritas,” ujarnya menambahkan.
Hasil awal akan menjadi pukulan telak bagi militer dan sekutunya. Tetapi dengan aturan parlemen di pihak mereka dan tokoh-tokoh berpengaruh masih terlibat di belakang layar, mereka masih bisa berperan dalam pemerintahan.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, seorang pensiunan jenderal yang memimpin kudeta terakhir, telah berkampanye tentang kesinambungan setelah sembilan tahun berkuasa. Dia sudah memperingatkan perubahan dalam pemerintahan dapat menyebabkan konflik.