Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Pemerintah menyatakan mulai menyelesaikan sengketa agraria yang diadukan masyarakat. Hingga akhir 2018, Kantor Staf Presiden (KSP) menerima 555 aduan kasus konflik tanah. Sebanyak 15 persen di antaranya tengah dalam proses penyelesaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden, Abetnego Tarigan, mengatakan kebanyakan aduan yang masuk akhir-akhir ini adalah mengenai ganti rugi lahan yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak pula pengadu yang merasa didiskriminasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Penyelesaiannya kami mendorong agar ruang negosiasi dibuka lagi," kata Abetnego, kemarin. Sedangkan kasus-kasus konflik lahan menahun diselesaikan dengan mengutamakan keadilan sosial bagi warga yang terkena dampak, tidak hanya melihat pada kepastian hukum status lahan.
Isu agraria banyak diperbincangkan publik setelah debat kedua kandidat presiden pada Ahad lalu. Presiden Joko Widodo mengklaim selama empat tahun terakhir tak ada konflik agraria. Belakangan, Jokowi menjelaskan bahwa maksud pernyataannya dalam konteks pembebasan lahan untuk keperluan proyek infrastruktur.
Lembaga nonprofit Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2018 ada 410 kasus konflik agraria yang menyebabkan 10 orang meninggal. Sebanyak 807 ribu hektare lahan di seluruh Indonesia menjadi rebutan antara entitas dan masyarakat yang mendudukinya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menerima 211 aduan kasus agraria. Paling banyak adalah kasus sengketa tanah antara pemerintah dan warga.
Menurut Abetnego, sekitar 90 persen aduan adalah kasus yang terjadi akibat kebijakan pemerintah sebelum Jokowi. Tim Percepatan Penanganan Konflik Agraria KSP, yang dibentuk pada 2017, ucap Abetnego, menyelesaikan konflik dengan mengidentifikasi masalah, subyek konflik, dan menggelar mediasi. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria menjadi jalan utama untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dengan melakukan redistribusi dan pendaftaran tanah sistematik lengkap.
Salah satu kasus yang tengah diproses KSP adalah konflik antarwarga Tanjung Sari di Banggai, Sulawesi Tengah, yang sudah berlangsung hampir tiga tahun. Sebanyak 1.411 jiwa terancam kehilangan rumah karena sengketa dua ahli waris.
Putusan Pengadilan Luwuk berekses pada penggusuran rumah warga yang tidak berhubungan dengan tanah sengketa. PN Luwuk kemudian membatalkan eksekusi putusan. "Namun, sebagian rumah warga sudah digusur," kata Abetnego.
Pendataan lalu dilakukan agar warga korban penggusuran mendapat bantuan sosial dari Kementerian Sosial dan bantuan rumah swadaya dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Data tersebut dikumpulkan oleh pemerintah daerah.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan masalah konflik agraria tak akan selesai jika pemerintah masih menggunakan aparat penegak hukum secara berlebihan untuk menekan warga, seperti yang sering terjadi dalam penggusuran di Jakarta atau wilayah perkebunan. "Presiden harus memastikan aparat keamanan, pemerintahan, dan aparat sipil mengerti soal HAM ketika membangun infrastruktur," kata Beka.
Adapun Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, mengatakan pemenuhan hak korban konflik agraria tidak hanya berupa bantuan sosial tapi juga rehabilitasi dan restitusi kepada mereka yang pernah dipenjara, ditangkap, atau ditersangkakan dalam perjuangan agraria. Dewi berpendapat bahwa konflik tak akan selesai jika penegak hukum dan pemerintah daerah justru menjadi sumber konflik. REZKI ALVIONITASARI | INDRI MAULIDAR
Masalah Menahun
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo