Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Penerimaan cukai minuman keras turun akibat pandemi Covid-19.
Cukai minuman keras hanya 3 persen dari total penerimaan cukai tahunan.
Penerimaan cukai jauh di bawah kerugian akibat konsumsi alkohol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Penerimaan dari cukai minuman keras atau minuman beralkohol kian lesu. Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Syarif Hidayat, mengatakan penerimaan cukai dari minuman beralkohol pada Januari lalu turun 15,18 persen dibanding pada Januari 2020 yang mencapai Rp 290 miliar. "Hal tersebut terjadi karena penurunan produksi yang signifikan, setelah jumlah wisatawan asing semakin berkurang pada masa pandemi,” ujar dia kepada Tempo, kemarin.
Syarif mengatakan industri minuman beralkohol amat bergantung pada sektor pariwisata, terutama di wilayah yang dipadati wisatawan asing. "Seperti di Bali,” katanya. Syarif memperkirakan penerimaan cukai dari minuman beralkohol sepanjang tahun ini sebesar Rp 5,6 triliun, turun 2,6 persen dibanding pada 2020 karena dampak pandemi Covid-19 masih terasa.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, penerimaan dari cukai minuman beralkohol mencapai puncaknya pada 2019. Saat itu hasil dari cukai komoditas ini mencapai Rp 7,3 triliun, naik 14 persen dari 2018. Nilainya anjlok pada 2020 menjadi Rp 5,76 triliun. Rata-rata penerimaan cukai minuman beralkohol hanya 3 persen dari total penerimaan cukai.
Deretan minuman keras impor di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan.
Analis ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai kontribusi minuman beralkohol terhadap perekonomian relatif kecil. "Karena konsumsinya rendah, minuman beralkohol tidak terlalu memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian,” katanya.
Namun Yusuf mengatakan pemerintah harus berhati-hati dalam menyikapi kontribusi minuman beralkohol terhadap penerimaan negara. Sebab, kata dia, cukai bukan suatu pos yang nilainya harus meningkat karena fungsi pungutan itu untuk meredam dampak negatif suatu produk. "Bukan untuk menghimpun pendapatan.”
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan kontribusi cukai minuman beralkohol jauh di bawah rokok yang mencapai 95 persen dari total penerimaan cukai. Bahkan, kata dia, kerugian dari mengkonsumsi minuman beralkohol bisa jauh lebih besar. Bhima menyebutkan nilainya sekitar Rp 200 triliun dengan basis penghitungan biaya pengobatan, kecelakaan, serta dampak lain yang mungkin muncul jika masyarakat mengkonsumsi alkohol.
Karena itu pula, Dewan Perwakilan Rakyat menginisiasi rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol. Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, mengatakan saat ini RUU Larangan Minuman Beralkohol masih menunggu pengesahan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). "Kalau sudah masuk Prolegnas, berlanjut ke tahapan selanjutnya," ujar dia.
Supratman mengatakan Baleg DPR menunggu surat presiden sebelum masuk tahap pembahasan. Menurut dia, semua fraksi berencana mengubah nama RUU tersebut setelah muncul polemik dalam pembahasannya. "Perdebatan soal judul RUU terjadi sejak periode lalu. Ini menjadi salah satu yang menghambat pengesahan RUU ini.”
Anggota Komisi X DPR, Illiza Sa'aduddin Djamal, mengatakan RUU Larangan Minuman Beralkohol sudah melewati fase pendalaman oleh semua fraksi di DPR. Dia mengatakan beberapa fraksi mempertimbangkan perubahan kata "larangan" dalam judul RUU tersebut. "Ada fraksi yang menginginkan 'larangan’ diganti pengendalian. Ada juga yang mengusulkan kata 'larangan’ minuman keras dihapus.”
LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo