Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Ketua MKMK: Revisi UU MK untuk Mengontrol Hakim Konstitusi

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi I Dewa Gede Palguna buka-bukaan soal sikapnya menolak revisi UU MK.

19 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMELOTOTI salinan draf revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi di telepon selulernya pada Jumat pagi, 17 Mei 2024, I Dewa Gede Palguna kelesah. Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK itu tak menduga gagasan revisi UU MK tiba-tiba hidup lagi. Padahal revisi Undang-Undang MK sudah berkali-kali ditolak para hakim konstitusi.

Revisi itu disetujui diam-diam oleh pemerintah dan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin, 13 Mei 2024. Hakim MK periode 2003-2008 dan 2015-2020 ini pun berang. “Saya merasa tujuan republik ini makin tidak jelas,” kata Palguna ketika menerima wawancara dengan Tempo di kantornya.

Palguna—pernah menolak dicalonkan kembali sebagai pengadil konstitusi—dan sejumlah pakar hukum tata negara serta mantan hakim MK meyakini aturan baru itu bakal menggergaji independensi kekuasaan kehakiman. Berikut ini penjelasan Palguna. 

Kenapa Anda dan para mantan hakim MK menolak revisi Undang-Undang MK? 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Revisi itu tidak ada urgensinya. Sejumlah pasal tidak logis dan bertentangan. Undang-Undang MK mengatur masa jabatan hakim 10 tahun. Tapi aturan peralihan di draf revisi menyatakan hakim yang telah menjabat 5 tahun harus meminta konfirmasi ulang ke lembaga pengusul untuk meneruskan masa jabatannya. Masa jabatan hakim pun bisa lebih dari 10 tahun kalau usianya belum 70 tahun dan disetujui lembaga pengusul. 

Apa risikonya jika hakim meminta konfirmasi lembaga pengusul?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka tak merdeka dan tak independen. Hakim yang ingin masa jabatannya panjang harus berbaik-baik kepada lembaga pengusul. MK jadi dekat dengan kepentingan politis. Di negara mana pun tak ada aturan peralihan. Substansi itu mengancam prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Revisi itu jelas by design untuk mengontrol Mahkamah Konstitusi.

DPR menganggap aturan peralihan itu untuk mengevaluasi hakim?

Alasan yang mengada-ada. Seharusnya yang diperbaiki adalah proses seleksi dan standar minimal hakim. Kalau proses seleksi diperketat dan memenuhi standar, hakim yang dicalonkan dan terpilih tidak punya beban terhadap lembaga pengusul. Celah terjadinya moral hazard bisa diantisipasi.

Anda membaca motif revisi Undang-Undang MK bukan untuk perbaikan kelembagaan? 

Revisi ini justru melemahkan MK. Ide revisi itu awalnya menguat menjelang masa pemilihan umum. Kami membaca dulu kepentingannya untuk pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Sebab, dalam pembahasan di DPR, poin yang selalu diutak-atik adalah masa jabatan hakim dan usia hakim.

Pemilu sudah selesai. Anda membaca ada pergeseran motif revisi undang-undang?

Sekarang MK masih menangani sengketa pemilihan legislatif. Nanti ke depan masih ada pemilihan kepala daerah. Apa pun tujuannya, substansi revisi undang-undang akan membuat siapa pun yang berkuasa bisa dengan mudah mengontrol MK. 

Apa yang membuat Anda yakin aturan peralihan akan melemahkan MK? 

Lembaga pengusul bisa me-recall hakim. Bahkan, sebelum muncul aturan peralihan, DPR pernah memberhentikan hakim Aswanto secara tiba-tiba. DPR menyatakan Aswanto sering membatalkan produk legislasi mereka. Saya mengkritik keras. Kalau logikanya seperti itu, lupakan cita-cita kita terhadap constitutional democratic state.

Seberapa besar peluang revisi Undang-Undang MK dibatalkan melalui judicial review

Saya khawatir para hakim MK terlalu lelah dengan tekanan yang ada dan tidak ada semangat lagi.

Anda sebagai Ketua MKMK dan eks hakim MK akan menolak revisi?

Sebagai Ketua MKMK, posisi saya agak sulit. Tapi saya harus bersuara menolak revisi ini. Satu-satunya yang tersisa hanya gerakan moral. Jika menginginkan terjadi gerakan besar, dalam kondisi politik sekarang rasanya seperti mimpi di siang bolong. Saya melihat gejala pemerintahan sekarang, jangankan disindir, ditampar saja tidak menoleh. Saya sebenarnya pesimistis, apakah suara kami masih didengar. 

Pemerintah dan DPR menggodok berbagai perubahan undang-undang, seperti Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Kepolisian RI. Anda melihat ada gejala apa? 
Dari polanya, saya melihat yang pertama kali ditonjok adalah MK. Ada upaya melemahkan kekuasaan kehakiman. Maka besar kemungkinan yang terjadinya ke depan adalah pemusatan kekuasaan di tangan eksekutif. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus