Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ramai pemberitaan mengenai dugaan suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU Riau 1 membuat publik bertanya-tanya tentang mekanisme penunjukan langsung yang melibatkan anak perusahaan PT PLN, PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa menganggap skema penunjukan langsung pengembang proyek PLTU mulut tambang rawan penyimpangan. Pasalnya, tak ada kriteria yang jelas perihal mitra yang ditunjuk.
PLN sebenarnya menerbitkan Peraturan Direksi Nomor 0336 Tahun 2017, yang membatasi penunjukan langsung bisa dilakukan selama anak usahanya turut andil dalam proyek. Namun, kata Fabby, aturan tak memuat kewajiban anak usaha PLN menyelenggarakan lelang untuk mencari mitra. "Proses di anak perusahaan dalam mencari mitra tidak jelas. Kalaupun tender, seberapa ketat prosesnya?” tuturnya, Selasa, 17 Juli 2018.
Juru bicara PLN, I Made Suprateka, tak menjawab permintaan konfirmasi Tempo tentang surat direksi tersebut.
Lebih jauh, Fabby menyarankan pemerintah membatalkan skema penunjukan langsung. Sebagai alternatif, dia mengusulkan PLN menunjuk agen pengadaan khusus yang mengevaluasi peserta lelang.
Proses ini diklaim hanya memakan waktu 3-4 bulan. Sedangkan lelang terbuka oleh PLN selama ini memakan waktu lebih-kurang sembilan bulan.
Juru bicara Asosiasi Pengusaha Listrik Swasta Indonesia, Rizal Calvary, menyatakan skema penunjukan tak sesuai dengan praktik persaingan usaha yang sehat. Sebab, investor pembangkit kehilangan kesempatan berkompetisi dalam lelang terbuka.
Jika sistem ini dipertahankan, Riza menaksir minat investor untuk membangun infrastruktur kelistrikan makin turun. Hasil survei lembaga konsultan bisnis PriceWaterhouse Coopers tahun ini menyebutkan hanya 65 persen dari investor yang ingin menanamkan modalnya di sektor kelistrikan Tanah Air.
Angka tersebut turun dibanding survei tahun lalu sebanyak 89 persen. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya transparansi. "Ini momok yang menakutkan sehingga swasta tak suka dengan bisnis pembangkit di sini," kata Riza.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memastikan belum ada rencana membatalkan aturan penunjukan langsung pengembang PLTU mulut tambang. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Ego Syahrial menganggap aturan tersebut masih membantu pemerintah untuk menambah pasokan listrik bagi masyarakat. "Kalau semua dijalankan dengan niat baik, seharusnya tak ada masalah," ujarnya.
Skema penunjukan langsung termuat dalam Peraturan Menteri Energi Nomor 19 Tahun 2017 tentang pemanfaatan batu bara untuk pembangkit listrik dan pembelian kelebihan tenaga listrik (excess power). Pemerintah menginginkan pengelolaan pembangkit listrik yang efisien. Ongkos PLTU mulut tambang dianggap lebih murah karena pengelola tak memerlukan ongkos tambahan untuk mengangkut batu bara.
Ego mengatakan pemerintah berkukuh tak mengubah sikapnya untuk pengembangan PLTU. "Kisi-kisi dari kami adalah tak boleh ada lagi pembangunan PLTU baru di Jawa dan pembangkit harus mulut tambang," ucapnya.
Seperti diketahui, pembangunan PLTU mulut tambang menuai masalah setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Eni Maulani Saragih dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo pada akhir pekan lalu. Keduanya diduga terlibat dalam perkara suap proyek PLTU Riau 1 di Indragiri Hulu, Riau.
Kotjo adalah pemegang saham BlackGold Natural Resources Ltd yang menjadi mitra konsorsium bersama PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB), anak usaha PT PLN (Persero). Pengembang dipilih PLN melalui skema penunjukan langsung.
Sebelumnya, Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir mengatakan menunda sementara pembangunan PLTU Riau 1 karena terhambat permasalahan hukum. "Pengerjaan pembangunan akan ditunda sementara sampai kasus hukumnya selesai," tuturnya dalam konferensi pers, Selasa, 17 Juli 2018.
Sofyan menjelaskan, kalaupun akan dimulai dari awal, tidak akan memakan waktu lama karena semua kesiapan sudah terlaksana. Proyek senilai US$ 900 juta itu hingga saat ini statusnya masih sebatas surat peminatan (letter of intent/LOI) dari investor atau konsorsium dengan perencanaan kapasitas sebesar 2 x 300 megawatt. LOI tersebut ditandatangani pada pertengahan Januari 2018, dengan target komersial pada 2023.
Konsorsium yang terbentuk adalah Blackgold Natural Resources, yang merupakan perusahaan pertambangan batu bara multinasional. Kemudian perusahaan lain adalah PT Samantaka Batubara, yang merupakan anak perusahaan Blackgold, dan China Huadian Engineering Co Ltd. Selanjutnya, perusahaan konsorsium tersebut adalah PT PJB, yang dijelaskan bakal memiliki saham mayoritas 51 persen atas PLTU Riau 1, serta PT PLN Batubara.
ANTARA