Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Eni Saragih, mengatakan ada tekanan dari anggota Partai Golkar usai dirinya buka-bukan kasus suap proyek PLTU Riau -1. "Ya ada lah, pokoknya ada. Sudah saya sampaikan semua itu," kata Eni di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis, 4 Oktober 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski ada tekanan, Eni menilai hal tersebut tidak sampai mengintimidasi dirinya. Menurut Eni, setiap orang memang memiliki hak untuk melakukan tekanan agar berada dalam posisi aman. "Tapi saya tidak mengindahkan itu. Dan saya tidak menganggap sebagai intimidasi," ujarnya. Eni juga mengatakan ia sudah berjanji untuk kooperatif menyampaikan apa adanya kepada penyidik.
Eni sebelumnya buka-bukaan soal keterlibatan petinggi Golkar dalam pusaran kasus yang menjeratnya. Seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 22 September 2018, Eni Saragih mengatakan duit pelicin yang bakal ia terima dari Johannes Kotjo akan digunakan untuk membantu kampanye Golkar di Pemilu 2019.
Johannes rencananya bakal memberikan fee senilai 2,5 persen dari nilai proyek US$ 900 juta atau sekitar Rp 12,87 triliun. Syaratnya, Golkar mengawal proyek tersebut hingga penandatangan kontrak. "Mekeng dan Airlangga setuju," kata Eni menceritakan kejadian ini kepada Tempo melalui surat yang dititipkan kepada pengacaranya, Fadli Nasution dan Pahrozi.
Mekeng yang dimaksud adalah Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Indonesia Timur, Melchias Marcus Mekeng. Sementara Airlangga merujuk pada Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Dalam kasus suap PLTU Riau-1, KPK menetapkan Eni sebagai tersangka. Ia ditangkap di rumah dinas mantan Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham. Belakangan, KPK juga menetapkan Idrus Marham sebagai tersangka.