Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penyebab Kualitas Udara Jakarta Buruk Menurut Sejumlah Pihak, DLH DKI Siapkan Tiga Strategi

Ahli polusi udara ITB dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyebut salah satu penyebab buruknya kualitas udara Jakarta adalah kondisi alam.

12 Agustus 2023 | 10.56 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dua wanita melihat tugu Monas yang tertutup oleh kabut polusi di Jakarta, Selasa, 27 Juli 2023. Berdasarkan data IQAir Jakarta pukul 16.29 WIB, Jakarta tercatat menjadi kota dengan kualitas udara dan polusi terburuk di dunia dengan nilai indeks 168 atau masuk kategori tidak sehat. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 8-9 Agustus 2023, kualitas udara di Jakarta tergolong yang terburuk di dunia. Melansir laman IQAir, perusahaan teknologi asal Swiss yang berfokus pada pengukuran kualitas udara, indeks kualitas udara Jakarta pada dua hari itu adalah 160 hingga 164. Salah satu konsentrasi yang menjadi polutan utama, yaitu PM2.5 sebanyak 72 mikrogram per meter kubik.

Ahli ITB: kondisi alam dan emisi

Ahli polusi udara dari Institut Teknologi Bandung Puji Lestari mengatakan tingkat polusi udara di Jakarta belakangan ini memang agak tinggi. Menurut dia, ada beberapa faktor penyebabnya, seperti kondisi alam serta emisi atau gas buang dari sektor transportasi serta industri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kenapa pada akhir-akhir ini naik, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan selain dari sumber pencemarnya,” kata Puji, Jumat 11 Agustus 2023.

Kondisi alam berpengaruh besar

Kondisi alam, menurut Puji, berpengaruh besar. Pada musim hujan, polutan bisa luruh sehingga udara menjadi bersih. Namun sebaliknya, terlebih muncul El Nino yang bisa membuat kemarau bertambah kering dan panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Situasi itu mengakibatkan polutan menjadi terakumulasi di angkasa. Kondisi atmosfer yang stabil dan kecepatan angin yang rendah juga membuat polutan tidak menyebar. L

“Terlepas dari kondisi alam kita juga harus tahu sebenarnya darimana sumber utama polusi udara yang ada di Jakarta,” kata Puji.

Penyumbang emisi Jakarta

Puji dan timnya melakukan riset terbaru soal emisi dan distribusi pencemaran udara di Jakarta pada 2019 yang hasilnya dipublikasi pada 2022. Mereka menghitung tingkat polusi di tiga titik, yaitu di Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Polutan partikulat atau debu halus yang dinamakan PM2,5 menurut Puji, utamanya berasal dari transportasi dan industri.

“Dari transportasi bisa 46 persen, dari industri 43 persen,” ujar guru besar Teknik Lingkungan ITB itu.

Kendaraan bermesin diesel yang berbahan solar tergolong banyak menghasilkan polusi udara. Bahan bakar Biodiesel 30 persen diakuinya bisa mengurangi polusi.

"Tapi itu baru 30 persen, belum bisa berkurang secara penuh,” kata Puji.

Moda transportasi lain yang disoroti, yaitu kendaraan berat serta kondisi lalu lintas di Jakarta dengan tingkat kemacetan tinggi.

Sementara dari jenis polutannya, sumbernya bisa diketahui. Gas CO atau karbon monoksida lebih banyak dari transportasi. Sedangkan NOx atau nitrogen oksida berasal dari pembangkit listrik. Sedangkan SO2 alias sulfur dioksida biasanya banyak dari industri.

"Itu sumber-sumber polusi yang utama di Jakarta,” ujar Puji.

Tingkat polusi Jakarta berfluktuasi

Secara harian, menurut Puji, tingkat polusi di Jakarta berfluktuasi. Dari hasil pengukuran kadang bisa di bawah angka baku mutu atau sebaliknya.

“Tapi kalau dilihat secara tahunan kita lihat data rata-rata tahunan itu yang paling bahaya,” kata Puji.

Beda penetapan baku mutu

Organisasi kesehatan dunia atau WHO menetapkan baku mutu rata-rata tahunan 15 mikrogram per meter kubik. Sementara pemerintah Indonesia sejak 2021 menetapkan baku mutunya 55 mikrogram per meter kubik.

"Kalau menurunkan lebih ketat lagi lebih bagus sebenarnya tapi banyak konsekuensinya,” kata Puji.

Konsekuensinya seperti menerapkan pengendalian polusi, aturan dalam Undang-undang dan memperketat standar emisi kendaraan dan industri.

Dinas Lingkungan Hidup Jakarta: karena musim kemarau

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan memburuknya kualitas udara Jakarta dalam beberapa bulan terakhir disebabkan musim kemarau. Asep menjelaskan pada Juli hingga September nanti, musim kemarau sedang tinggi-tingginya. 

"Sehingga berakibat pada kualitas udara menjadi kurang baik," kata Asep saat konferensi pers di Gedung Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, Jumat, 11 Agustus 2023 seperti dilansir dari Antara.

3 strategi kendalikan polusi udara

Menghadapi kondisi dan cuaca seperti saat ini, Asep mengatakan sudah menyiapkan tiga strategi untuk mengendalikan polusi udara yakni pertama, melalui  kebijakan dan regulasi.

Kedua, pengurangan emisi pencemaran udara salah satunya dengan menggencarkan uji emisi dan penggunaan transportasi umum.

Terakhir,  mengeluarkan imbauan  agar warga mengecek kondisi kualitas udara sebelum beraktivitas di luar melalui aplikasi Jakarta Kini (JAKI), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), atau Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Untuk poin dua, jelas Asep, Dinas LH se-Jabodetabek sudah menandatangani komitmen untuk mengurangi pencemaran udara dengan melakukan uji emisi kendaraan.

"Kami juga mengimbau warga melakukan upaya-upaya preventif (pencegahan) untuk mengurangi dampak misalnya dengan menggunakan masker, mengurangi aktivitas di luar, dan sebagainya," ucap Asep.

BMKG juga sebut faktor musim kemarau

Dalam kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan juga mengatakan hal senada bahwa kualitas udara cenderung naik saat musim kemarau, seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

"Hal lain yang menarik dan perlu dicermati bahwa kondisi kualitas udaranya itu ada siklus harian pada saat malam hari, dini hari, lepas pagi cenderung lebih tinggi daripada siang hingga sore itu karena ada siklus harian," kata Sena.

Selain itu, menurut Ardhasena, fenomena lainnya yakni lapisan inversi di wilayah perkotaan saat musim kemarau menyebabkan kecenderungan udara cenderung lebih dingin di lapisan bawah. Kondisi ini menyebabkan kualitas udara ikut memburuk.

"Hal itu yang juga penjelasan mengapa di Jakarta itu kelihatan keruh di bawah dibanding di atas, di mana perkotaan kita hidup bersama," ujar Sena.

ANWAR SISWADI | IQBAL MUHTAROM

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus