Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRAKTIS semua negara mengadopsi cara yang sama untuk memulihkan ekonomi: memberi stimulus. Bahasa terangnya, ini mengguyur ekonomi dengan uang sebanyak-banyaknya. Skalanya saja yang berbeda-beda.
Total jenderal stimulus di negara-negara maju sudah mencapai US$ 4,2 triliun. Secara rata-rata defisit anggaran pemerintah melambung hingga 17 persen terhadap produk domestik bruto. Dan neraca bank sentral menggelembung, rata-rata menjadi 10 persen terhadap PDB, karena mencetak uang besar-besaran untuk stimulus itu.
Stimulus tanpa batas ini memang berhasil menstabilkan pasar keuangan. Sistem finansial tak hancur. Industri perbankan relatif masih sehat. Kalau ada bank yang mengalami kesulitan, itu lebih disebabkan oleh penyakit bawaan yang sudah merongrong sebelum wabah. Tapi sektor riil masih menderita. Industri manufaktur tersendat. Sektor jasa, yang membutuhkan interaksi fisik, jauh dari pulih. Pariwisata jelas setengah mati suri.
Akibatnya, guyuran bertriliun-triliun dolar itu belum mampu memulihkan ekonomi. Resesi ekonomi akan melanda hampir semua negara, termasuk Indonesia. Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan sudah mengirimkan sinyal bahwa ekonomi kita akan mengalami resesi karena berkontraksi, mengerut, pada kuartal kedua dan ketiga tahun ini.
Problem yang lebih berat, pandemi kian melebarkan kesenjangan ekonomi. Kali ini, warga kelas atas nyaris tak terkena dampak. Konsumsi mereka memang relatif menurun—kalau ini boleh disebut penderitaan. Makan-makan di restoran hingga clubbing untuk sementara harus berhenti. Tapi aset-aset finansial yang tertolong melimpahnya likuiditas dolar tetap memberi imbalan bagus. Harga emas naik. Tabungan dalam mata uang asing relatif naik nilainya karena rupiah melorot.
Contoh yang satu ini sungguh komikal. Permintaan sepeda lipat Brompton justru meroket gila-gilaan selama pandemi. Harga sepeda mahal buatan London ini rata-rata melejit dua-tiga kali lipat ketimbang sebelum krisis, sekitar Rp 50 juta untuk kelas termurah. Pembeli harus antre, menunggu minimal tiga bulan. Krisis? Kalau ukurannya pasar Brompton, ekonomi Indonesia justru sedang booming luar biasa.
Warga kelas menengah, pekerja kantoran, umumnya juga masih selamat karena bisa bekerja dari rumah. Pukulan terberat justru mendera kelas bawah. Tukang ojek pangkalan ataupun online, sopir taksi, pelayan toko dan restoran, juga pedagang jalanan, merosot pendapatannya. Resesi kali ini akan melemparkan mereka kembali ke bawah garis kemiskinan.
Seperti di negara lain, pemerintah dan Bank Indonesia juga mengucurkan uang besar-besaran. Bahkan pemerintah sudah siap menanggung defisit hingga Rp 1.039 triliun tahun ini. BI juga mau mencetak uang baru Rp 397,5 triliun, juga masih bisa ada tambahan maksimal Rp 177 triliun, untuk mengongkosi defisit itu. Tapi guyuran uang ini tak akan mampu mengangkat pertumbuhan. Realisasinya, 2020 tinggal lima bulan lagi, masih jauh dari optimal.
Indonesia sebetulnya tak sendirian menghadapi masalah ini. Mungkin kita bisa belajar dari banyak negara yang berani ke luar pakem. Di Eropa, jutaan pekerja kini menerima gaji dari pemerintah lewat program tunjangan perlop. Di Amerika, tujuh dari sepuluh pegawai yang baru kehilangan pekerjaan justru mendapat tunjangan lebih besar daripada gajinya saat bekerja dulu. Pemerintah melakukan bailout massal, besar-besaran.
Tentu, Indonesia belum mampu mengambil langkah seekstrem itu. Tapi ide pokoknya, yakni anggaran langsung menolong masyarakat yang terkena dampak, sangat layak diterapkan. Dana berbagai program bisa disatukan menjadi bantuan langsung yang terintegrasi. Ini cara paling efektif ketimbang membagikan bahan pokok atau memberikan embel-embel pelatihan pada bantuan bagi korban pemutusan hubungan kerja. Manfaat bagi yang membutuhkan justru berkurang karenanya.
Tak bisa tidak, Presiden harus langsung memimpin upaya pemulihan itu agar berjalan efektif. Membentuk komite, seperti Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, justru mencerminkan kebiasaan lama dan sama sekali bukan langkah luar biasa sebagaimana gembar-gembor pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo