Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pro-kontra Larangan Penggunaan Atribut Keagamaan di Persidangan

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mempertanyakan alasan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin melarang terdakwa mendadak menggunakan atribut keagamaan.

23 Mei 2022 | 07.09 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membuat imbauan yang melarang terdakwa menggunakan atribut keagamaan yang sebelumnya tak pernah dipakai di persidangan, mengundang pro-kontra. Larangan itu dibuat agar tidak ada pemikiran di tengah masyarakat bahwa atribut keagamaan digunakan pelaku pada saat tertentu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu pihak yang memprotes rencana itu adalah anggota Komisi III DPR RI, Desmond Junaidi Mahesa. Menurut politikus Partai Gerindra itu, atribut pakaian saat sidang bukan wewenang dari Kejaksaan Agung. "Hak apa Kejaksaan Agung soal itu? Jaksa itu soal sidangnya, tapi kalau soal tata tertib sidang yang mengatur itu Mahkamah Agung," ujar Desmond saat dihubungi Tempo, Ahad, 22 Mei 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soal pernyataan Kejaksaan Agung yang menyebut atribut keagamaan dikhawatirkan mengganggu jalannya persidangan, Desmond keberatan dengan hal tersebut. Menurut dia, atribut keagamaan yang digunakan saat persidangan merupakan hak individu.

Dibanding mengurus soal pakaian dan atribut seorang terdakwa, Desmond menyarankan Kejaksaan Agung fokus pada mekanisme pengajuan tuntutan kepada terdakwa.

"Seharusnya Jaksa Agung (tak ikut campur) di urusan pribadi orang, mau dia alim atau urakan, enggak. Yang penting proses penuntutanya udah benar, nggak? Kewenangan mengatur hal di luar peradilan kan nggak ada dalam Undang-Undang Kejaksaan," kata Desmond.

Lebih lanjut, Desmond menyatakan Komisi Hukum DPR bakal merapatkan polemik ini secara internal terlebih dahulu. Komisi hukum di DPR, menurut Desmond, belum akan memanggil kejaksaan untuk memintai pendapat soal ini.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam juga bersuara keras soal ini. Ia mempertanyakan alasan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin melarang terdakwa mendadak menggunakan atribut keagamaan. Menurut dia, ekspresi keagamaan seseorang tak boleh dilarang. “Jaksa Agung tidak boleh berprasangka dalam membuat aturan,” kata dia di Bekasi, Kamis 19 April 2022.

Dia mengatakan seorang terdakwa bisa saja merasakan penyesalan mendalam ketika tersandung kasus hukum. Mereka lalu mengekspresikan pertobatannya dengan menggunakan atribut agama. “Ekspresi pertobatannya bisa jadi dengan simbol keagamaan,” kata dia.

Menurut Anam, Jaksa Agung hanya boleh membuat larangan tersebut dengan alasan yang jelas. Alasan itu adalah bahwa penggunaan atribut agama terbukti mempengaruhi hakim maupun jaksa dalam mengambil keputusan. “Problem utama yang harus dibuktikan adalah mekanisme peradilan itu terpengaruh atau tidak dengan adanya simbol agama,” ujar dia.

Anam meminta Jaksa Agung dapat menjelaskan alasan di balik rencana penerbitan larangan tersebut. Dia mengatakan semua aturan dalam ruang sidang harusnya hanya mengatur agar sistem peradilan itu berjalan secara independen.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga angkat bicara. Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PBNU, Imron Rosyadi meminta Kejaksaan Agung meninjau kembali aturan itu. Sebab menurut Imron, atribut keagamaan merupakan hak setiap individu.

"Sebaiknya Kejaksaan perlu mempertimbangkan aspek sosiologis, jika ingin membuat aturan semacam itu. Kita juga perlu menghargai hak asasi seseorang, meskipun orang tersebut sebagai terdakwa," ujar Imron saat dihubungi Tempo, Ahad, 22 Mei 2022.

Mengenai alasan Kejaksaan yang menyebut larangan penggunaan atribut keagamaan agar tidak menganggu persidangan, Imron menganggap alasan tersebut tidak memilki dasar yang jelas. Menurut dia, Kejaksaan Agung harus memiliki ukuran jelas soal tingkat gangguan yang diakibatkan atribut keagamaan.

"Jangan kemudian gara-gara seorang wanita muslim yang menjadi terdakwa memakai jilbab, lalu dikatakan mengganggu jalannya sidang. Sepanjang hakim yang memimpin sidang merasa tidak ada masalah, ya nggak apa-apa menggunakan atribut agama," kata Imron.

Meski mendapat pertentangan, suara dukungan terhadap wacana aturan ini datang dari Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan. Ia mengatakan organisasinya tak keberatan dengan aturan tersebut.

Amirsyah menyatakan atribut keagamaan sejatinya memang harus digunakan pada tempatnya. Dia pun menilai langkah Burhanuddin itu tepat karena menerapkan prinsip keadilan.

"Atribut keagamaan tidak boleh disalahgunakan, karena itu harus pada tempatnya. Menempatkan sesuatu pada tempatnya merupakan salah satu prinsip keadilan," ujar Amirsyah saat dihubungi Tempo, Ahad, 22 Mei 2022.

Amirsyah menerangkan, lembaga penegakan hukum seperti Kejaksaan Agung memang harus memerhatikan adab dalam berpakaian. "Bagi lembaga penegakan hukum harus menjunjung tingga penggunaan pakaian," kata Amirsyah.

Selain itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, juga menyatakan setuju dengan aturan itu. Menurut dia, terdakwa kejahatan harusnya dilarang gunakan atribut keagamaan, seperti peci ataupun hijab saat mengahdiri persidangan.

"Memang sering sekali para terdakwa atau pelaku kejahatan memakai atribut keagamaan saat menghadiri persidangan, padahal sebelumnya atribut tersebut tidak pernah dia pakai," kata Sahroni.

Menurut dia, penggunaan atribut keagamaan yang tidak pernah dipakai bisa sesatkan persepsi publik. Hal itu membuat atribut keagamaan seolah-olah hanya digunakan pada saat tertentu saja.

"Saya juga muak agama selalu dijadikan tameng. Oleh karena itu, saya mendukung penuh langkah kejaksaan yang akan menertibkan tindakan tersebut sehingga mampu menghilangkan kesan bahwa tindak pidana hanya oleh pemeluk agama tertentu," kata politikus NasDem itu.

Sementara itu, Kejaksaan Agung menyatakan pelarangan penggunaan atribut keagamaan hanya diberlakukan sebagai kepentingan penuntut umum secara internal ketika membawa terdakwa ke depan persidangan. "Perlu dicatat, kami tidak melarang mereka yang sudah terbiasa menggunakan, misalnya dia sudah menggunakan jilbab, dia sudah biasa pakai peci. Kita tidak melarang itu,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana yang dihubungi Tempo, Sabtu, 21 Mei 2022.

Ketut Sumedana mengatakan yang tidak benarkan Jaksa Agung kepada penuntut umum atau pegawai Kejaksaan yang menghadirkan terdakwa di persidangan, terdakwa dipakaikan atribut keagamaan tertentu, seperti peci, jilbab atau jubbah. “Itu yang kita larang. Jangan sampai dibikin-bikin, gitu loh,” kata Ketut.

M JULNIS FIRMANSYAH

Baca: Komisi III DPR Bakal Rapatkan Polemik Larangan Atribut Keagamaan di Persidangan

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus