Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyelidiki dugaan pelanggaran terkait kewajiban calon anggota legislatif Partai Persatuan Pembangunan menyetorkan biaya saksi. Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan bakal menelusuri motif di balik munculnya kewajiban kontribusi dana tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Perlu ditelusuri lebih lanjut, apakah masuk kategori penyuapan atau masuk ranah pencalonan yang menjadi kewenangan Bawaslu," kata dia kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fritz menjelaskan, Bawaslu akan mempelajari pasal mana dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dilanggar PPP. Ia memperkirakan, masalah penggalangan dana PPP ini lebih tepat masuk dalam ranah pidana umum. Alasannya, terdapat unsur penyuapan yang ditandai dengan adanya pembayaran dari calon legislator agar bisa mendapat urutan teratas.
Kewajiban menyetorkan dana saksi tertulis dalam surat undangan rapat bagi bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat PPP bertanggal 19 Juli 2018. Disebutkan bahwa calon anggota legislatif bernomor urut 1 pada tingkat DPR wajib menyetor biaya saksi Rp 500 juta. PPP mengancam akan mencoret dan mengganti calon yang tidak memenuhi kewajibannya. (Koran Tempo edisi Senin, 15 Oktober 2018)
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, menilai kebijakan itu berpotensi melanggar Pasal 242 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang melarang imbalan dalam seleksi calon anggota legislatif. "Ini menjadi semacam mahar dalam proses pencalonan," kata dia, kemarin.
Menurut Lucius, pelanggaran berisiko terjadi lantaran partai politik mematok sumbangan terhadap calon legislator dalam proses pendaftaran. Akibatnya, perekrutan calon legislator tidak lagi didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan. Apalagi, ia mengimbuhkan, dana saksi adalah tanggung jawab partai politik.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, berpendapat bahwa kewajiban menyetor dana saksi membuktikan kegagalan partai dalam membangun militansi kader akar rumput. Dia berujar bahwa hal ini berpengaruh pada besarnya biaya saksi yang harus dikeluarkan. "Biaya saksi bisa ditekan kalau ada kedekatan ideologi kadernya."
Menanggapi tudingan tersebut, Sekretaris Jenderal PPP, Arsul Sani, menyebutkan kontribusi biaya saksi diperlukan untuk menambal kekurangan dana partai. Ia menjamin kontribusi ini tidak akan dipakai untuk kepentingan di luar pembiayaan saksi. "Semua kontribusi kami tempatkan pada rekening untuk pembiayaan saksi," ujarnya. Arsul mengutarakan bahwa kontribusi serupa diberlakukan di partai lain. DANANG FIRMANTO | ARKHELAUS W.
Jungkir Balik Mencari Dana
Kementerian Dalam Negeri pernah menyebutkan satu partai politik menghabiskan dana Rp 75-200 miliar per tahun. Penelitian yang dilakukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi tahun lalu juga menemukan bahwa subsidi pemerintah untuk partai hanya memenuhi 1,32 persen dari total kebutuhan per tahun. Selebihnya, partai harus bekerja keras mengumpulkan dana kampanye dengan cara mengandalkan iuran dari kadernya dan sumbangan pihak luar.
Sumber keuangan partai
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik mengatur tiga sumber keuangan partai:
1. Iuran anggota
2. Sumbangan perorangan dan badan usaha
3. Bantuan keuangan dari negara
Sumbangan
Sumbangan kepada partai dapat berasal dari:
a. Anggota partai
b. Perorangan yang bukan anggota partai, maksimal Rp 1 miliar per tahun
c. Badan usaha, maksimal Rp 4 miliar per tahun
Bantuan Keuangan Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik menetapkan formula bantuan negara kepada partai yang didasarkan pada perolehan suara. Tahun ini nilainya mencapai Rp 121 miliar untuk 10 partai, di antaranya adalah:
a. PDIP: Rp 23 miliar
b. Partai Golkar: Rp 18 miliar
c. PKS: Rp 8,5 miliar
d. PPP: Rp 7,2 miliar
e. NasDem: Rp 7 miliar
Larangan
Pasal 40 ayat 3 Undang-Undang Partai Politik memberi batasan terhadap sumbangan yang boleh diterima partai. Disebutkan dalam aturan tersebut bahwa partai dilarang:
a. Menerima sumbangan dari pihak asing.
b. Menerima sumbangan dari donatur yang tidak mencantumkan identitasnya secara jelas.
c. Menerima dana dari badan usaha milik negara atau milik daerah dan desa.
e. Menggunakan fraksi di MPR, DPR, DPRD sebagai sumber pendanaan.
EFRI R
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo