PASAR mobil di Indonesia memang sangat rentan, bahkan terhadap gejolak yang kecil sekalipun. Isu deregulasi otomotif, misalnya, yang sempat merebak akhir tahun silam, telah mendorong para peminat kendaraan untuk berspekulasi. Dengan harapan bisa membeli mobil impor yang diidamkannya, mereka lalu batal membeli mobil rakitan dalam negeri. Ketika itu tingkat penjualan pelbagai merek mobil (terutama yang mewah) sempat tidak menunjukkan kenaikan sedikit pun sebagian bahkan menurun. Yendaka atau menguatnya mata uang yen terhadap dolar AS yang kini masih berlanjut telah semakin mengocok pasar mobil di Indonesia. Dampak yendaka tentu saja sulit dielakkan, mengingat mayoritas mobil yang beredar di sini memang buatan Jepang. Dan sebagian besar dari mobil tersebut sedan terutama masih banyak menggunakan komponen impor yang didatangkan dari prinsipal pemegang merek, yang markasnya berada di negeri matahari terbit. Dalam kata lain, berbagai komponennya harus didatangkan ke Indonesia dengan tebusan yen. Padahal perolehan devisa kita lebih banyak atau selalu diukur dengan dolar AS. Singkatnya, di bawah tekanan yendaka, maka untuk komponen yang sama, sekarang kita harus membayar lebih mahal dibandingkan dengan dulu. ''Saya kira pengaruh yendaka ini akan sangat besar terhadap industri otomotif,'' kata Direktur Pemasaran Toyota Astra Motor, Alam Wijono, kepada TEMPO. ''Tahun lalu saja penjualan kami bisa kempos karena kenaikan PPNBM yang hanya 10%. Lha, kalau sekarang apresiasi yen 9%, bisa mengakibatkan efek ganda sampai sekitar 35% (terhadap perhitungan penentuan harga jual kendaraan), berarti dampaknya akan lebih besar lagi.'' Dalam pandangan Alam Wijono, dampak yendaka hampir merata terhadap semua jenis kendaraan. Bahkan dampak itu menciprat pada kendaraan niaga semacam Toyota Kijang, yang komponen lokalnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan jenis sedan. Bagi Toyota Astra Motor (TAM), dampak yendaka pada penjualannya sudah terlihat dalam bulan-bulan terakhir ini. Bulan April, menurut Alam Wijono, penjualan sudah turun ke sekitar 80 unit, berarti 80% dari rata-rata omzet bulanan yang mencapai 100 unit. Itu pun sudah terpacu oleh rush, gara-gara sebagian konsumen terdorong membeli karena khawatir melihat kenaikan harga yang terjadi terus-menerus dalam waktu relatif singkat. Di tengah-tengah ketidakpastian tersebut yang berakibat pasar mobil brand new alias baru jadi agak lesu sebagian konsumen berpaling ke pasar mobil bekas. Menurut kalangan pengusaha otomotif, calon pembeli condong membeli mobil bekas yang masih bagus ketimbang mengincar mobil baru yang harganya terlalu tinggi. Apalagi sekarang, dengan mudah bisa ditemukan pusat- pusat penjualan mobil bekas yang ditunjang oleh perusahaan leasing. Ada bursa Mobil 88 untuk produk Toyota, atau BMW House bagi BMW Used Car, atau Freshcar (untuk Mitsubishi). Mereka lazimnya memberi jaminan rata-rata enam bulan, sedangkan mobil bekas tersebut bisa diperoleh melalui leasing seperti laiknya pembelian mobil baru. Tampaknya gonjang-ganjing harga gara-gara deregulasi otomotif yang tertunda lalu diiringi oleh yendaka telah membuka peluang lebih besar bagi mobil bekas bergaransi. Apalagi banyak mobil bekas yang kondisinya masih bagus. Dan harganya sudah pasti jauh di bawah harga mobil baru. Diperkirakan masa depan pasar mobil di kota-kota besar akan diwarnai oleh toko-toko khusus mobil bekas bergaransi itu. Andai kata gejala membeli mobil bekas ini kemudian berubah jadi arus pembeli yang potensial, corak pasar mobil akan mengalami perubahan yang mendasar. Setidaknya, dengan membeli mobil bekas, pihak konsumen tidak lagi menomorsatukan dan lalu membeli gengsi seperti yang selama ini terjadi tapi lebih memprioritaskan manfaat alias kegunaan mobil. Dalam perubahan selera semacam ini, maka yang lebih diuntungkan tentulah para pemilik dan pedagang mobil. Di pihak lain para produsen mobil akan semakin terpukul. Menurut Kepala Cabang Toyota di Medan, Toto Suryana, boom penjualan mobil, seperti yang pernah terjadi sampai tahun 1990, diperkirakan masih lama akan pulih. Suku bunga pinjaman yang cenderung menurun belakangan ini tidak menjamin mudahnya penyaluran kredit konsumsi. Apalagi pihak bank sudah semakin hati-hati menyalurkan kredit, mengingat beban kredit macet yang belum teratasi sampai kini. ''Sekarang memang tidak lagi ada uang ketat, tapi banyak orang masih sempoyongan, seperti baru sembuh dari sakit,'' kata Toto Suryana. Mungkin pasar mobil brand new akan ramai kembali setelah tahun 1995. Namun, proyeksi ini pun masih sangat banyak ditentukan oleh kondisi kesehatan ekonomi nasional, termasuk sejauh mana Pemerintah kelak akan menggelindingkan deregulasi otomotif di negeri ini. Mch, Dwi S. Irawanto, Affan Bey Hutasuhut (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini