TIDAK hanya kepada Jepang, Amerika Serikat bersikap keras dan pongah. Negeri yang terus-menerus mengalami defisit perdagangan ini tiap tahun menyiarkan daftar hitam lebih populer dengan sebutan watch list yang memuat nama-nama negara yang dalam penilaian Amerika telah berdagang secara tidak jujur. Tahun ini, Perwakilan Dagang Amerika (USTR) menampilkan 44 negara yang dituduh berbuat curang, termasuk Indonesia. Apa artinya daftar hitam bagi eksportir kita? Jawabnya, pengusaha Indonesia akan dipersulit untuk menembus pasar AS, dan ekspor kita akan sangat dirugikan. Keterangan yang diberikan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan, Kamarulzaman Algamar, menyebutkan bahwa tuduhan AS tak berbeda dari tahun lalu, yakni Indonesia tak melindungi hak milik intelektual dan kurang melaksanakan sanksi terhadap pelanggarnya. Kesimpulan tersebut diambil setelah USTR menampung berbagai pengaduan tentang ''kecurangan'' Indonesia. Pengaduan datang dari Pharmaceutical Manufacture Association (PMA), The International Anticounterfeiting Coalition (IAC), The US Trade Mark Association (USTA), dan International Intellectual Property Aliance (IIPA). USTA, misalnya, menuduh pihak Indonesia lamban dalam memberikan nomor registrasi bagi komoditi Amerika. Sedangkan IIPA menilai Indonesia kurang melindungi hak cipta perangkat lunak komputer, buku, kaset, dan motion pictures. Soal perlindungan terhadap hak cipta ini pernah dipersoalkan masyarakat perfilman AS tahun 1991. Ketika itu Motion Pictures Export Association of America (MPEAA) berhasil meyakinkan 26 senator Amerika, agar Indonesia masuk dalam daftar priority foreign countries. Akibat ulah MPEAA itu, Menteri Perdagangan ketika itu, Arifin Siregar, buru-buru mengumumkan bahwa Indonesia akan memberikan konsensi dengan menambah jumlah importir film Hollywood. Tekanan AS terhadap eksportir Indonesia terasa meningkat sejak tahun 1990, walaupun sedari tahun 1988 Indonesia sudah diawasi melalui watch list. Mungkin karena itu, beberapa pengusaha dan ekonom menanggapi ancaman AS dengan sikap dingin. Bahkan, menurut ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Chamroel Djafri, tuduhan Washington sering tidak berdasar. Amerika, kata Chamroel, pernah menuding Indonesia tidak fair gara-gara menolak peralatan listrik untuk 110 volt. ''Kita kan memakai material listrik yang 220 volt. Jadi, saya yakin sanksi itu tidak akan dikenakan kepada Indonesia. Makanya cuek saja,'' kata Chamroel Djafri. Pengamat ekonomi M. Sadli mengatakan, Indonesia tidak perlu gusar dengan daftar hitam. ''Di situ juga ada Singapura, yang biasanya tidak ada masalah,'' kata Sadli. Kalau ada yang membaik adalah kenyataan bahwa dalam daftar itu Indonesia meluncur ke urutan 20-an, dari sebelumnya yang 30-an. Menurut Menteri Perdagangan Satrio Billy Joedono, ini tak lain karena pemerintah AS telah bisa menghargai langkah-langkah yang dilakukan Indonesia. ''Hanya itu belum sempurna, sehingga masih dirasa perlu diawasi,'' kata Billy Joedono. Namun, Menteri Perdagangan ini condong berkeyakinan bahwa ancaman AS tidak bisa dianggap enteng. Apalagi pemerintahan Clinton sangat mengedepankan kepentingan negaranya. ''Dia (Clinton) lebih vokal dalam memperjuangkan kepentingan AS dan lebih bersedia melakukan konfrontasi,'' ujarnya. Kecenderungan seperti itulah agaknya yang membuat pemerintah Indonesia cepat-cepat memakai jasa pengacara White & Case. ''Amerika itu negara yang sangat percaya pada ahli hukum. Kiatnya, kita harus menyesuaikan diri dengan Amerika, yang apa- apa menyerahkan kepada lawyer. Jadi, ahli hukum melawan ahli hukum,'' kata Billy Joedono. Kalau itu benar, berarti pemerintah di Washington kini lebih mengutamakan jurus perundang-undangan ketimbang lobi politik. Apa pun jurus yang dipilih, Indonesia harus sudah lebih siap menghadapi tuntutan globalisasi ekonomi dunia dalam berbagai aspeknya. GSI, Bambang Aji, dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini