Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EDWARD Omar Sharif Hiariej mengumpulkan sejumlah anggota tim ahli penyusun RKUHP atau Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di kantornya pada Senin pagi, 21 November lalu. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu meminta mereka mengecek ulang dan merapikan naskah menjelang pengesahan RKUHP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Penyisiran terakhir sebelum dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat,” ujar Eddy Hiariej—sapaan Edward—kepada Tempo di kantor Kementerian Hukum dan HAM, Kamis, 8 Desember lalu. Perbaikan draf KUHP dilakukan setelah pemerintah menerima masukan dari berbagai pihak, seperti kelompok masyarakat sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian anggota tim ahli yang datang adalah guru besar hukum pidana dari berbagai kampus. Mereka di antaranya Harkristuti Harkrisnowo dari Universitas Indonesia, Marcus Priyo Gunarto dari Universitas Gadjah Mada, Barda Nawawi Arief dan Pujiyono dari Universitas Diponegoro, Arief Amrullah dari Universitas Jember, serta Indriyanto Seno Adji dari Universitas Krisnadwipayana.
Hadir juga Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Yenti Garnasih dan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu. Dalam pertemuan itu, mereka kembali membahas sejumlah pasal yang dinilai bermasalah. Di antaranya tentang tindak pidana makar yang diatur dalam Pasal 191-196 RKUHP.
Awalnya, Eddy Hiariej bercerita, RKUHP menyatakan hukuman pidana bisa dijatuhkan kepada siapa pun yang berdiskusi untuk menjatuhkan pemerintah. Tapi, dalam pertemuan itu, tim penyusun RKUHP akhirnya memutuskan hukuman pidana baru bisa dijatuhkan jika perbuatan makar telah terjadi. “Ditangkap kalau sudah melakukan serangan,” ucapnya.
Tim penyusun merampungkan pembahasan pada malam hari. Menurut Eddy, tim ahli meyakini RKUHP hasil perbaikan itu siap dibawa ke Komisi Hukum DPR untuk dibahas terakhir kali pada Kamis, 24 November lalu. Pada Selasa, 6 Desember lalu, rapat paripurna DPR mengesahkan rancangan tersebut meski masih ada berbagai pasal bermasalah.
Ketua Panitia Kerja RKUHP DPR periode 2014-2017, Benny Kabur Harman, menuturkan, pemerintah menjadi pihak yang lebih aktif dalam penyusunan kitab pidana baru karena memiliki sumber daya dan waktu lebih besar. “Kalau pembahasannya lebih banyak di DPR, sisi politiknya akan lebih banyak ketimbang sisi hukumnya,” kata politikus Partai Demokrat itu.
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej (tengah) menyampaikan paparannya dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR membahas penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Senayan, Jakarta, 24 November 2022. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Eddy dan tim yang dipimpinnya menjadi motor penyusunan dan pembahasan kembali RKUHP setelah batal disahkan berbarengan dengan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada September 2019. Hari-hari itu unjuk rasa meluas di berbagai wilayah. Lima orang meninggal akibat tindakan represif aparat dalam demonstrasi #ReformasiDikorupsi.
Sebelum menjabat Wakil Menteri Hukum pada akhir 2020, Edward Omar Sharif Hiariej telah terlibat dalam tim penyusun RKUHP. Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada itu masuk tim penyusun pada 2014. Saat itu tim penyusun dipimpin oleh guru besar hukum pidana dari Universitas Diponegoro, Muladi—meninggal pada Desember 2020.
Menggeber pembahasan RKUHP, Eddy kerap memimpin lobi-lobi terhadap kelompok yang mengkritik pasal-pasal bermasalah. Pertengahan November lalu, ia menemui perwakilan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, seperti Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dan peneliti Indonesia Judicial Research Society, Andreas Marbun.
“Wakil Menteri Hukum mengundang kami untuk mendengarkan langsung masukan yang sudah kami kirimkan,” ujar Erasmus pada Jumat, 18 November lalu. Menurut Erasmus, Eddy berjanji menampung usul yang disampaikannya.
Tiga bulan sebelumnya, atau pada Agustus lalu, Eddy juga mempertemukan Aliansi Reformasi KUHP dengan sejumlah anggota Komisi Hukum DPR. Dalam persamuhan itu, salah satu pasal yang didiskusikan adalah pasal kritik terhadap presiden dan wakil presiden yang harus disertai solusi. Pemerintah akhirnya menghapus frasa “penyampaian kritik harus disertakan solusi”.
Eddy pun kerap memberi penjelasan kepada Presiden Joko Widodo mengenai perkembangan RKUHP. Dalam satu pertemuan, ia dan tim ahli meyakinkan Jokowi tentang perlunya mempertahankan pasal penghinaan harkat dan martabat presiden-wakil presiden. “Presiden memperhatikan isu-isu sensitif yang muncul di publik,” ucap Eddy.
Ia mengklaim berupaya menampung berbagai aspirasi. Namun Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai draf yang disahkan DPR pada Selasa, 6 Desember lalu, masih mengandung pasal antidemokrasi, melanggengkan korupsi, dan terlalu mengatur ranah privat. Pengesahannya pun terburu-buru, tak sampai sebulan setelah draf terakhir diserahkan ke DPR pada 9 November lalu.
Sehari sebelum RKUHP disahkan, Aliansi menggelar aksi tabur bunga dan membakar KUHP di depan gedung DPR. Aksi unjuk rasa itu tak membuat Eddy Hiariej gusar. Ia happy RKUHP yang dirintis sejak 1963 telah disahkan. “Seperti bisul pecah, lega,” ujarnya.
•••
MENYUSUN dan membahas kembali Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Edward Omar Sharif Hiariej dan timnya berupaya mempertahankan draf yang telah disusun para guru besar pendahulu mereka. “Profesor Muladi sebagai ketua tim penyusun pernah berpesan agar warisan leluhur penyusun RKUHP tak dikhianati,” ucapnya kepada Tempo.
Ia mencontohkan, Muladi pernah menjelaskan bahwa pasal perzinaan diusulkan oleh tiga guru besar, yaitu Oemar Seno Adji dari Universitas Indonesia, Soedarto dari Universitas Diponegoro, dan J.E. Sahetapy dari Universitas Airlangga. Muladi menegaskan bahwa pasal itu—kini tercantum dalam KUHP baru—telah dikaji sesuai dengan ilmu yang mereka pelajari.
Menurut Eddy, ada tiga generasi begawan hukum pidana yang memulai pembahasan RKUHP sejak dicetuskan pada 1963, saat Seminar Hukum Nasional I di Semarang, Jawa Tengah. Generasi pertama adalah pengonsep RKUHP seperti Muladi, Soedarto, Sahetapy, Mardjono Reksodiputro dari Universitas Indonesia, dan Barda Nawawi Arief (Universitas Diponegoro).
Sedangkan generasi kedua di antaranya Harkristuti Harkrisnowo (Universitas Indonesia) dan Nyoman Serikat Putra Jaya (Universitas Diponegoro). “Saya masuk generasi ketiga,” kata Eddy.
Benny Kabur Harman, mantan Ketua Panitia Kerja RKUHP, mengaku pernah berdebat dengan Barda Nawawi tentang tindak pidana santet. Pasal 252 KUHP anyar itu menyebutkan seseorang yang berkekuatan gaib bisa dipidana paling lama 18 bulan jika menimbulkan penyakit hingga kematian. “Hukum pidana tentang akal sehat, sedangkan santet itu irasional,” ujar Benny.
Dalam wawancara dengan Tempo pada 2013, Barda menjelaskan bahwa pasal santet diperlukan karena serangan gaib itu kerap terjadi di Indonesia. Orang yang diduga memiliki ilmu hitam itu kerap dihakimi publik tanpa melibatkan penegak hukum. Barda juga mengusulkan pasal tentang hukum adat yang hidup di masyarakat.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, bercerita, dalam sebuah rapat Barda menjelaskan pentingnya pasal tersebut. “Perlu ada yang mengatur hukum adat,” tuturnya awal November lalu. Aturan itu kini berada dalam Pasal 2 ayat 1 KUHP baru.
Mempertahankan sejumlah pasal kontroversial, tim ahli dan perumus KUHP turun langsung memberi penjelasan. Salah satunya Yenti Garnasih, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi. Menjadi anggota tim ahli sejak 2015, dosen Universitas Trisakti itu kerap menjelaskan pasal penghinaan harkat dan martabat presiden-wakil presiden.
Saat menjadi pembicara dalam sosialisasi yang digelar di Surabaya, Makassar, dan Manado, misalnya, Yenti menghadapi akademikus yang meminta pasal tersebut dicabut. Ia menyebutkan bahwa KUHP lawas mengatur larangan menghina kepala negara asing. “Masak, presiden negara sendiri tidak dilindungi?” ujarnya pada pertengahan November lalu.
Tim RKUHP juga diisi oleh pejabat Istana. Salah satunya Deputi Politik, Hukum, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani. Pada 2014, Jaleswari ikut membantu pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla dan menjadi anggota tim sebelas yang mengatur transisi pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej mengatakan Jaleswari menjadi anggota tim komunikasi publik dan mitigasi isu. “Dia terlibat sejak 2019 sampai sekarang,” kata Eddy.
Sehari setelah RKUHP disahkan, atau pada Rabu, 7 Desember lalu, Jaleswari melalui siaran pers mengklaim bahwa kitab pidana itu bentuk nyata reformasi hukum di Indonesia. “KUHP baru menyempurnakan tata regulasi hukum yang dicapai melalui konsolidasi hukum pidana pada undang-undang sektoral,” ucapnya.
Pengesahan KUHP baru dalam waktu kilat juga dibantu oleh para politikus Senayan. Anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan ada kesepakatan antara pemerintah dan Dewan mengenai substansi RKUHP. Sikap itu ia sampaikan saat bertemu dengan Aliansi Reformasi KUHP pada Agustus lalu.
“Kami tak akan mengubah kesepakatan politik dengan pemerintah, yaitu mempertahankan pasal-pasal yang ada,” kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini. Namun ia mengklaim Komisi Hukum tetap menampung usul dari para pengkritik pasal bermasalah.
Pada 14 November lalu, Komisi Hukum menggelar rapat dengar pendapat dengan koalisi masyarakat sipil. Tiga anggota Komisi Hukum bercerita, DPR sebenarnya ogah menggelar rapat tersebut karena tahapan itu telah digelar oleh DPR periode 2014-2019. “Pembahasan sebenarnya telah selesai,” ujar mantan Ketua Panitia Kerja RKUHP, Benny K. Harman.
Ketua Komisi Hukum dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Bambang Wuryanto, menyetujui pertemuan tersebut. “Kami harus mendengar usul mereka,” tuturnya kepada Tempo pada Kamis, 8 Desember lalu. Ia sempat meradang saat koalisi masyarakat sipil mempertanyakan sejauh mana usul mereka akan diakomodasi.
Tak semua anggota Komisi Hukum mendukung percepatan pengesahan RKUHP. Arsul Sani dan anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari, sempat meminta RKUHP dibahas ulang untuk mengantisipasi penolakan publik seperti pada 2019. Apalagi masih ada sejumlah pasal bermasalah, seperti penghinaan terhadap presiden, perzinaan, dan kohabitasi.
Kepada Tempo pada awal November lalu, Taufik dan Arsul menyatakan kerap berkomunikasi dengan koalisi masyarakat sipil. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu membenarkan kerap berdiskusi dengan Arsul dan Taufik.
Empat anggota dan petinggi Komisi Hukum yang ditemui Tempo bercerita, setelah RKUHP disahkan, muncul instruksi dari pentolan Komisi agar mereka tak berkomentar tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana anyar. Hanya ada empat anggota Komisi diperbolehkan memberi penjelasan. Tujuannya, memastikan pengesahan RKUHP tak lagi menuai kontroversi.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, RAYMUNDUS RIKANG, SYALSABILLA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo