Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pasar Tanah Abang merupakan pusat grosir teksil di Jakarta yang sudah ada sejak 1735 hingga kini. Jelang lebaran pasar Tanah Abang semakin disesaki pelanggan yang berburu pakaian baru, meski kondisi sedang pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah keberadaan Pasar Tanah Abang diinisiasi Justinus Vinck pada 1733 yang mengajukan permohonan pendirian pasar kepada Gubernur Jenderal Abraham Patras. Sebab Vinck melihat adanya perkembangan komoditas rempah di daerah selatan Batavia (kini Jakarta).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tahun 1735 pendirian pasar disetujui Gubernur Patras, ia memberi izin pasar Tanah Abang buka di hari sabtu, dan khusus menjual barang kelontong, dan tekstil. Sedang saat itu pasar Senen, diizinkan buka setiap Senin.
Sejak awal berdiri, pasar Tanah Abang tak lepas dari komunitas warga Tionghoa, namun keberadaan mereka ini sangat tidak disukai kalangan VOC saat itu. Agar orang-orang Tionghoa hengkang dari wilayah pasar Tanah Abang, VOC kerap memborbardir mereka dengan meriam. Alasan utama perlakuan ini karena Tionghoa pernah menyerang pos jaga VOC.
Penyerangan VOC berhasil membuat orang Tionghoa kabur dari pasar Tanah Abang, namun tak dipungkiri serangan meriam membuat sebagian bangunan pasar rusak. Dan membutuhkan waktu lima tahun pemugaran.
Entah bagaimana ceritanya, lima tahun berselang sejak kejadian penyerangan hubungan orang Tionghoa dengan VOC menghangat, bahkan orang Tionghoa dipercaya memungut uang cukai pasar, serta diberi izin mengelola rumah di sekitaran pasar.
Selain kembalinya Tionghoa, pasar Tanah Abang menambah waktu buka, menjadi Rabu dan Sabtu. Sayangnya keramaian Tanah Abang berbanding terbalik dengan fasilitas yang tersedia, ruang pasar semakin terasa sesak dengan penumpukan sampah di mana-mana.
Baru di tahun 1913, dilakukan pemugaran meski dampaknya tidak signifikan. Kondisi ini rupanya diperhatikan kalangan Pemerintahan Belanda saat itu. Maka di tahun 1926 Pemerintahan Belanda melakukan pemugaran besar-besaran, bangunan pasar diubah jadi permanen guna memudahkan proses transaksi jual beli.
Namun perputaran ekonomi di Pasar Tanah Abang mentok sampai 1940-an, ketika Jepang masuk ke Indonesia. Pasar Tanah Abang tak lagi disesaki penjual-pembeli, ia kosong tak berpenghuni, hingga ruang-ruang dagang dijadikan pengemis sebagai tempat tinggal.
Setelah kemerdekaan, pasar Tanah Abang kembali jadi tanggung jawab Pemerintahan Indonesia, di bawah pengelolaan PD Pasar Jaya, pada 1973 pasar Tanah Abang mengalami pemugaran menjadi gendung tiga lantai.
Namun pemugaran tak disambut riang para penjual, sebab harga sewa kios dianggap tak ramah penjual. Pedagang pun ramai-ramai berjualan di luar gedung, di bawah perlindungan preman dan jawara yang berkuasa di wilayah Tanah Abang. Pedagang lebih senang membayar uang keamanan pada preman dibanding membayar sewa kios yang mahal.
Memasuki masa orde baru, pasar Tanah Abang menjajaki babak baru, disebut perputaran uang di Tanah Abang perharinya bisa mancapai Rp 8 sampai 10 miliar, berkat sumbangsih komoditas tekstil. Situasi ini membuat preman dan jawara berlomba menguasai wilayah-wilayah pasar, akibatnya terjadi gesekan antar basis preman yang membuncah di tahun 1996, di mana terjadi bentrok antar preman yang memakan korban jiwa. Situasi ini sempat membuat aktivitas pasar terhenti selama beberapa saat.
Sepak terjang pasar Tanah Abang tak sampai di situ, pasar ini kerap tak terelakkan dari tragedi lalapan api. Mulai tahun 2003 Tanah Abang didera kebakaran hebat yang membuat aktivitas pasar terhenti, sembari menunggu pemugaran, para pedagang berjualan di luar pasar.
Kemudian diikuti serangkaian kebakaran lainnya, di tahun 2019 api memakan 66 bangunan yang terdiri dari 34 rumah, 32 kios toko, dan menemakan dua orang korban jiwa. Di 2021 giliran pasar kambing di Tanah Abang yang dimakan api, dan menghanguskan 174 lapak dagang dengan total kerugian miliaran rupiah.
Dulu hingga kini, Pasar Tanah Abang tetap eksis di tengah masyarakat, khususnya warga Jakarta. Jelang Lebaran ini, pasar ini sempat disesaki pembeli meski kondisi sedang pandemi Covid-19.
DELFI ANA HARAHAP