Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah penumpang kereta rel listrik atau KRL Jabodetabek menyayangkan keputusan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang menolak usulan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) soal impor kereta bekas Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sri Narsih salah satunya. Warga yang sehari-harinya bermobilitas menggunakan KRL ini memang menyayangkan keputusan tersebut. Namun, dia mengaku akan tetap setia menggunakan KRL Jabodetabek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sayang sekali, tetapi saya tetap menggunakan kereta," kata dia saat dihubungi Tempo pada Kamis, 2 Maret 2023.
Sebelumnya, PT KCI berencana mengganti 10 unit kereta yang akan pensiun pada 2023, serta 19 unit lagi di 2024. Perusahaan pelat merah itu mengusulkan untuk mengimpor rangkaian KRL bekas Jepang sebanyak 29 unit.
Akan tetapi, Kemenperin menolak permintaan tersebut dan mengarahkan PT KCI untuk memanfaatkan kereta buatan dalam negeri dari PT Industri Kereta Api (INKA). Jika kereta tak diganti pada 2023-2024, diperkirakan akan ada penumpukan lebih dari 200 ribu penumpang per hari.
Potensi penumpukan ini tak jadi soal bagi Sri. Dia menyebut tidak masalah apabila harus berdesak-desakan di dalam kereta lantaran sudah terbiasa.
"Sudah biasa, yang penting tidak terlambat karena risiko uang tunjangan makan dicoret bila terlambat," ujar wanita yang bekerja di kawasan Mangga Dua, Jakarta Pusat ini.
Sebenarnya ada satu alternatif kendaraan, yakni bus Transjakarta. Hanya saja, dia merasa, waktu tempuh bus Transjakarta kerap melebihi estimasi. Padahal, dia harus tiba di kantor tepat waktu.
Sri menilai jam kedatangan dan keberangkatan KRL Jabodetabek termasuk yang paling tepat waktu alias on time. Selain itu, ada stasiun KRL yang dekat dengan kantornya.
Berbeda dengan Sri, pengguna kereta lainnya bernama Rishanda justru akan menggunakan moda transportasi lain jika kereta semakin sesak, walaupun pelayanan dan tarif KRL sudah memuaskan.
"Kalau KRL berkurang lalu stasiun semakin sesak, aku lebih pilih pakai kendaraan lain, walau harus memakan waktu lama," tutur mahasiswa ini.
Meski begitu, Rishanda berharap Pemerintah Provinsi atau Pemprov DKI Jakarta juga dapat menyediakan infrastruktur memadai kalau memang rencana impor kereta bekas Jepang terhambat. Semisal dengan meningkatkan kebersihan di halte bus Transjakarta, memastikan kelayakan sopir, serta menyuguhkan fasilitas penunjang lainnya.