Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Stigma Masih Mendera Mereka

Stigma masih mendera masyarakat adat. Antropolog dari Universitas Diponegoro, Adi Prasetijo, menilai sejarah pada masa lalu yang melekat serta ketertinggalan ekonomi dan pembangunan menjadi alasan adanya stigma pada mereka.

30 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Anak-anak belajar di Sekolah Adat Punan Semeriot. Dok Pribadi
Perbesar
Anak-anak belajar di Sekolah Adat Punan Semeriot. Dok Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Sri Tiawati tidak terima bila temannya menggunakan kata “Punan” sebagai bahan ejekan. Tak jarang ia memukul temannya karena ejekan itu.

Punan adalah salah satu rumpun suku Dayak yang tersebar di Kalimantan. Selama bertahun-tahun, masyarakat adat Punan kerap menerima stigmatisasi. Mereka dianggap orang yang katrok atau kampungan, jorok, kotor, dan bodoh. “Stigma ini sudah mendarah-daging di Kalimantan Utara,” kata Sri, perempuan keturunan Punan, kepada Tempo, Selasa, 25 Oktober 2022.

Akibat stigma tersebut, Sri mengatakan banyak anak-anak Punan yang menutup diri. Bahkan tidak jarang ada yang memutuskan berhenti sekolah, pergi bekerja, atau malah menikah di usia dini. Demi menghapus stigma tersebut, Sri tak lagi menggunakan otot untuk melawannya. Ia memilih jalur pendidikan. “Kalau melawan dengan otot, otomatis dapat masalah. Rugi. Jadi, harus gunakan otak sendiri,” kata perempuan berusia 29 tahun itu.

Pada 2013, Sri mendirikan Sekolah Adat Punan Semeriot. Pada awal terbentuk, ada enam anak yang bergabung dan bertambah menjadi 70 orang hingga sekarang. Menurut Sri, setelah mengecap pendidikan, anak-anak Punan kini mulai berani mengakui identitas mereka sebagai orang Punan.

Pendiri Sekolah Adat Punan Semeriot, Sri Tiawati. Dok. Pribadi

Antropolog dari Universitas Diponegoro, Adi Prasetijo, mengatakan stigma pada masyarakat Punan ataupun kelompok adat lainnya masih sering terjadi pada era reformasi dan globalisasi ini. Stigma merupakan ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang atau kelompok karena pengaruh lingkungannya. Adi menilai ada sejumlah alasan yang membuat stigma ini masih langgeng di masyarakat.

Pertama, Adi mengatakan, adanya sejarah pada masa lalu yang melekat sampai sekarang. Ketertinggalan ekonomi dan pembangunan juga menjadi alasan selanjutnya dari adanya stigma pada masyarakat adat. “Kebanyakan suku ini hidup dari alam, seperti laut, sungai, dan hutan,” ucap Adi. Dengan demikian, hal ini yang membuat masyarakat adat menjadi terpinggirkan. Di samping itu, stigma terbentuk dari hubungan yang kurang baik antaretnik.

Dampak yang ditimbulkan dari adanya stigma adalah hilangnya identitas diri. “Stigma akan menghilangkan identitas suatu etnik.” Kemudian, dia melanjutkan, suku yang mengalami stigmatisasi kurang bisa bersaing dengan suku lain sehingga tertinggal. Mereka juga tidak mendapatkan hak yang sama seperti suku-suku lain.

Untuk menyikapi stigma tersebut, Adi mengatakan mereka harus membangun identitas sendiri dan hidup berdasarkan kebudayaan mereka. “Secara ekonomi dan sosial, mereka juga harus kuat dengan melakukan pemberdayaan sumber daya alam serta pendidikan,” ujar anggota Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi—lembaga nonprofit yang melakukan kegiatan pendampingan masyarakat di dalam dan sekitar hutan—ini.

Antropolog dari Universitas Diponegoro, Adi Prasetijo. Dok. pribadi

Adi menuturkan betapa bahayanya stigma karena melabeli seseorang dengan perilaku yang belum tentu dilakukan. Hal tersebut bisa merusak potensi yang ada dalam diri seseorang. Selain itu, bisa menyebabkan konflik antarsuku dalam masyarakat Indonesia yang multietnik. Walau tidak bisa sepenuhnya hilang karena suku di Indonesia beragam, Adi menyebutkan stigma bisa dikurangi.

Pria berusia 50 tahun ini mengatakan ada beberapa upaya yang dapat mengurangi stigma dalam masyarakat adat. Stigma itu, antara lain, adalah memperkuat hubungan antarsuku yang memiliki latar belakang berbeda untuk memberikan pemahaman bahwa setiap orang memiliki hak yang sama. Pendidikan juga penting untuk mengurangi stigma. “Biasanya stigma itu muncul karena ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman.”  

Adanya pendidikan membuat mereka saling memahami satu sama lain. Kemudian, Adi melanjutkan, masyarakat harus meningkatkan kapasitas dan kualitas diri sehingga mereka bisa bersaing dengan yang lain, baik secara sosial maupun ekonomi.

FRISKI RIANA | DAFFA SIDQI KAHFIARI (MAGANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus