Dalam situasi kota yang terkepung dan penduduk yang cemas dengan perang berkepanjangan, teater masih ada di Sarajevo. Memang, sebagian besar aktor sudah kabur mengungsi dan mencari pekerjaan di luar negeri segera setelah tentara Serbia menyerang. Namun, sebagian aktor yang paling berbakat masih tinggal. ''Satu-satunya yang ingin mereka lakukan adalah kembali bekerja,'' tulis Susan Sontag, pengarang terkenal Amerika yang datang ke Sarajevo, Juli 1993 lalu, untuk mementaskan drama Menunggu Godot. Berikut pengalaman Susan Sontag berteater di Sarajevo itu yang diterjemahkan Yopie Hidayat dari The New York Review. ''Tak ada sesuatu yang bisa dikerjakan'' ''Nista ne moze da se uradi.'' (Baris pembukaan Menunggu Godot.) PERTENGAHAN Juli, saya berangkat ke Sarajevo untuk mementaskan Menunggu Godot. Saya selalu suka menyutradarai karya-karya Beckett, seperti halnya kali ini. Namun, kepergian saya bukan karena itu. Kalau hanya untuk tinggal sebulan atau lebih di Sarajevo, saya sudah ke sana di bulan April, yang membuat saya benar-benar prihatin pada kota yang sedang terkoyak-koyak ini, dan segala isinya. Beberapa warga Sarajevo juga sudah menjadi teman saya. Tapi kali ini saya tak bisa lagi hanya menjadi penonton, misalnya saja, hanya sekadar berkunjung ke sana dan bertemu dengan beberapa teman, lalu gemetar ketakutan, kadang merasa berani, tertekan, atau percakapan-percakapan yang mengharukan. Jika saya kembali, itu harus berupa kerja keras dan melakukan sesuatu yang berarti. Seorang penulis di Sarajevo, seperti saya, tak bisa lagi beranggapan bahwa tugas utamanya adalah menyiarkan kabar ke seluruh penjuru dunia. Kabar tentang Sarajevo sudah tersebar luas. Sudah banyak wartawan asing yang hebat-hebat (dan sebagian besar dari mereka pro intervensi dari luar, seperti halnya saya) dan menulis tentang segala kebohongan dan pembantaian sejak permulaan perang. Sejauh ini toh keputusan Amerika dan Eropa untuk tidak ikut campur tak melunak sehingga memberikan kemenangan kepada fasisme Serbia. Saya tak berangan- angan bahwa menyutradari karya Beckett di Sarajevo akan membuat saya sama bergunanya dengan seorang dokter atau seorang insinyur yang ahli memperbaiki jaringan air minum. Ini hanyalah satu sumbangan kecil. Tapi inilah satu dari tiga hal yang bisa saya kerjakan -- menulis, membuat film, atau menyutradarai teater. Salah seorang teman yang saya temui di bulan April adalah sutradara muda kelahiran Sarajevo, Haris Pasovic. Haris Pasovic pindah dari Sarajevo sejak ia lulus sekolah dan punya reputasi yang lumayan di Serbia. Ketika orang Serbia mencanangkan perang, April 1992, ia berada di Belgia. Belakangan ia memutuskan tak bisa berlama-lama tinggal di pengasingannya yang aman tenteram. Di akhir tahun, ia merangkak menerobos hujan peluru Serbia balik ke kotanya yang beku dan terkepung. Pasovic mengundang saya untuk melihat drama karyanya yang berjudul Grad (Kota) yang berupa paduan musik dan pembacaan sajak, sebagian berasal dari naskah Constantine Cavafy, Zbigniew Herbert, dan Sylvia Plath. Selusin aktor pendukung drama ini berkumpul bersama selama delapan hari. Pasovic juga sedang menyiapkan proyek yang lebih ambisius, Alcestis karya Euripides. Tiba-tiba saya menyadari bahwa saya sedang berbicara dengan seorang sutradara sekaligus produser. Saya tanya dia apakah menarik jika saya kembali dalam waktu beberapa bulan dan kemudian mementaskan sebuah drama. ''Tentu saja,'' jawabnya. Luar biasa. Rasanya, tak ada lagi cerita yang bisa saya pentaskan selain Godot, karya Beckett yang ditulis empat puluh tahun yang lalu yang sekarang tampak ditulis untuk, dan tentang, Sarajevo. Keputusan ini muncul begitu saja di tengah semangat yang menggebu-gebu. Seandainya saya duduk berpikir beberapa saat, mungkin lain lagi yang akan saya kerjakan. Banyak orang yang tercengang ketika saya beri tahu bahwa teater tetap saja jalan terus di Sarajevo yang sedang terkepung. Dari lima teater yang ada, dua di antaranya beberapa kali masih digunakan: Teater Kamar 55 (Kamerni Teater 55) tempat saya menikmati Grad karya Pasovic dan Teater Remaja (Pozoriste Mladih), yang akan saya pilih untuk pementasan Godot. Tiga gedung lain yang lebih besar sudah tutup sejak perang meletus -- salah satu gedung (yang hanya sedikit rusak terkena peluru) malah masih memampangkan poster Rigoletto yang tak pernah terpentaskan. Sebagian besar penyanyi dan aktor memang sudah kabur mengungsi dan mencari pekerjaan di luar negeri segera setelah tentara Serbia menyerang. Namun, sebagian besar aktor yang paling berbakat masih tinggal. Satu-satunya hal yang akan mereka lakukan adalah kembali bekerja. Orang-orang Sarajevo mengenali diri mereka sendiri sebagai orang yang lemah: menunggu, mengharap, tak ingin berharap, menyadari bahwa mereka tak bakal terselamatkan. Mereka terhina oleh kekecewaan mereka sendiri, oleh ketakutan mereka, dan kehidupan mereka yang tak bermartabat. Misalnya saja, sebagian besar air yang mereka dapatkan setelah antre berjam-jam, dengan taruhan nyawa, habis untuk membilas WC agar kamar mandi mereka tidak berubah menjadi kolam jorok. Penghinaan seperti ini kadangkala terasa jauh lebih kuat menekan dibanding ketakutan mereka. Mementaskan sebuah drama sangat berarti bagi para aktor profesional di Sarajevo karena membuat mereka merasa normal. Mereka melakukan sesuatu yang biasa mereka lakukan sebelum perang meletus tak hanya menjadi pengantre air atau orang- orang pasrah yang menggantungkan hidup pada ransum ''Bantuan Kemanusiaan''. Benar, orang-orang yang beruntung di Sarajevo adalah mereka yang masih bisa melanjutkan pekerjaannya sehari- hari. Bukan soal uang, karena satu-satunya kegiatan ekonomi yang berjalan di Sarajevo adalah pasar gelap raksasa yang menggunakan mark Jerman. Sebagai gambaran, para profesional di Sarajevo, seperti ahli bedah di rumah sakit pusat atau wartawan TV, rata-rata berpenghasilan DM 3 per bulan. Sedangkan sebungkus rokok lokal yang mirip Marlboro berharga paling tidak DM 10. Sebagian besar penduduk mengandalkan tabungan, yang juga berupa mark Jerman, untuk menyambung hidup. Sumber lain adalah kiriman sanak saudara dari luar negeri. Para aktor dan saya, tentu saja, tak mendapat bayaran untuk pementasan ini. Orang teater lainnya yang juga ikut nongkrong selama latihan bukan hanya senang karena ingin menonton, melainkan sangat gembira karena sebuah teater aktif kembali setiap hari. Jelas, pementasan ini bukanlah sebuah upaya berhura-hura, ini adalah upaya mengekspresikan kenormalan secara serius. ''Tidakkah mementaskan sebuah teater di Sarajevo ibarat orang bermain biola kala Roma sedang terbakar?'' tanya seorang wartawan kepada salah satu aktor. ''Sekadar mencoba pertanyaan yang sedikit provokatif,'' wartawan itu memotong ketika saya, yang khawatir jika si aktor bakal tersinggung berat, mencoba mencegah. Ternyata, ia tak tersinggung, ia bahkan tak mengerti mengapa si wartawan mengajukan pertanyaan itu. *** Saya mulai melakukan seleksi aktor sehari setelah saya tiba di Sarajevo. Satu peran sudah saya pastikan. Saya ingat betul ketika saya datang di bulan April, seorang wanita bertubuh tambun mengenakan topi bertajuk lebar, duduk dengan tenangnya bak seorang ratu di pojok ruangan. Beberapa hari kemudian saat saya menyaksikan Grad karya Pasovic saya baru tahu bahwa ia, Ines Fancovic, adalah seorang aktris senior dari sejak zaman sebelum perang di teater Sarajevo. Maka, ketika saya memutuskan untuk mementaskan Godot, langsung saja saya berpikir tentang peran Pozzo untuknya. Karena pilihan itu, Pasovic menyimpulkan bahwa saya berniat membuat sebuah Godot yang diperankan seluruhnya oleh wanita. Itu bukanlah niat saya. Saya hanya ingin menyatakan bahwa seorang wanita tentu saja bisa memerankan seorang tiran. Sebelum di Sarajevo ini, saya baru sekali menyutradarai teater dalam bahasa asing, yakni ketika saya mementaskan karya Pirandello, As You Desire Me, di teater Stabile di Turin. Saya sedikit-sedikit mengerti bahasa Italia, sedangkan bahasa Serbo- Kroasia (atau ''Bahasa Ibu'' begitu orang-orang Sarajevo sekarang menyebut bahasa mereka, kata Serbo-Kroasia benar-benar sulit diucapkan pada saat-saat seperti ini) masih sangat terbatas. Saya baru sampai pada kata ''halo'', ''silakan'', ''terima kasih'', atau ''tidak sekarang''. Saya membawa sebuah kamus Inggris - Serbo-Kroasia, naskah Godot dalam bahasa Inggris, dan sebuah fotokopi naskah yang sudah dibesarkan. Dengan pensil saya tuliskan terjemahan baris per baris di naskah yang sudah diperbesar itu. Dalam waktu sepuluh hari, saya sudah bisa belajar dengan perasaan kata-kata dari naskah Beckett dalam bahasa yang bakal diucapkan oleh para aktor. Penduduk Sarajevo sebenarnya amat beragam, begitu banyak perkawinan campuran antaretnis, sehingga amat sulit membentuk sebuah kelompok yang tidak mewakili ketiga etnis. Saya sendiri tak pernah bertanya-tanya tentang latar belakang etnis seseorang. Hanya, secara kebetulan saya tahu bahwa Velibor Tropic (pemeran Estragon I) beribu seorang Muslim dan berbapak Serbia. Sementara itu, Ines Fancovic (pemeran Pozzo) mestinya seorang Kroasia karena Ines adalah nama Kroasia. Ia dilahirkan di Split yang terletak di pesisir dan sudah bermukim di Sarajevo sejak 30 tahun yang lalu. Kedua orang tua Milijana Zirozevic (pemeran Estragon II) adalah Serbia, sedangkan Irena Mulamuhic (pemeran Estragon III) paling tidak berbapak Muslim. Para aktor itu tak pernah peduli akan latar belakang etnis mereka karena mereka adalah kolega -- mereka sudah banyak kali berpentas bersama-sama -- dan juga teman. Propaganda para agresor menyebutkan bahwa perang ini disebabkan oleh kebencian yang sudah berabad-abad perang antara upaya pemisahan diri dan Milosevic yang berupaya menyelamatkan kesatuan bahwa dengan memerangi orang-orang Bosnia, yang oleh propaganda Serbia selalu disebut sebagai orang Turki, Serbia menyelamatkan Eropa dari fundamentalisme. Saya tak akan terkejut jika ada yang bertanya apakah saya melihat banyak wanita berkerudung dan bercadar di jalan-jalan Sarajevo. Orang memang tak bisa mengubah pandangan stereotipe Barat tentang Islam yang sudah sedemikian kuat terbentuk. Kenyataannya, jumlah orang yang benar-benar taat beribadah di Sarajevo tak akan lebih banyak daripada proporsi mereka di London, Paris, atau Berlin. Pada masa sebelum perang, seorang Muslim kawin dengan orang Serbia atau orang Kroasia bukanlah hal yang unik, sama halnya dengan orang New York menikahi pacarnya dari Massachusetts atau California. Enam puluh persen perkawinan pada zaman sebelum perang adalah pernikahan antaretnis dan agama, sebuah indikasi sekularisme yang amat jelas. Asal muasal Islam di Sarajevo adalah para keluarga yang berpindah agama ketika Bosnia menjadi salah satu provinsi Kerajaan Ottoman, dan tentu saja mereka terlihat sama persis dengan orang-orang Slavia Selatan yang menjadi tetangga mereka, pasangan, dan teman-teman, karena kenyataannya mereka sama-sama keturunan Slavia Selatan, baik Kristen maupun Islam. Islam yang tinggal di Bosnia pun saat ini adalah Islam yang sudah versi terbaru yang bercampur baur dengan paham Suni yang moderat. Tak ada setitik pun pertanda fundamentalisme. Jika saya tanya beberapa teman siapa di antara anggota keluarga mereka yang benar-benar taat beribadah, sebagian besar menjawab: kakek saya. Jika mereka berusia di bawah tiga puluh lima tahun, mereka akan menjawab: kakek-buyut saya. Dari sembilan aktor yang terlibat dalam Godot, hanya satu yang saya lihat sedikit condong ke hal-hal berbau religius. Ia adalah Nada murid seorang guru India. Sebagai kenang-kenangan saat berpisah ia memberi saya sebuah buku terbitan Penguin, The Teaching of Shiva. *** Pozzo: ''Tak ada penolakan, hari masih terang.'' (Mereka semua menengok ke langit) ''Bagus'' (Mereka tak lagi mendongak) Kami berlatih di dalam kegelapan. Di atas panggung yang melompong hanya ada tiga atau empat batang lilin, ditambahi cahaya dari empat lampu senter yang saya bawa. Ketika saya minta tambahan lilin mereka menjawab tak ada. Belakangan saya baru diberi tahu bahwa lilin-lilin itu dihemat untuk saat pementasan nanti. Saya juga tak pernah tahu siapa yang membawa lilin-lilin itu. Setiap pagi lilin-lilin itu pasti sudah berada di tempatnya pada saat saya tiba. Lobi dan bar di teater itu masih penuh dengan reruntuhan sejak setahun yang lalu. ''Aktor di Sarajevo,'' Pasovic menerangkan pada saya dengan penuh penyesalan, ''hanya ingin bekerja empat jam sehari. Kami masih mempunyai kebiasaan buruk peninggalan zaman Sosialis.'' Tapi tak begitu pengalaman saya. Hambatan terbesar, selain soal cahaya yang minim, adalah aktor-aktor yang kurang makan dan kecapaian. Sebagian besar, sebelum mereka tiba untuk memulai latihan pada pukul sepuluh pagi, berjam-jam sebelumnya sudah harus antre untuk mendapatkan air kemudian mengangkat timba- timba plastik itu tujuh hingga sepuluh tingkat ke apartemen mereka. Yang lain harus berjalan kaki paling tidak dua jam untuk sampai ke teater, dan, tentu saja, harus mengulangi rute yang sama petang harinya. Satu-satunya aktor yang tampak memiliki stamina normal adalah yang tertua di antara mereka, Ines Fancovic, yang sudah berusia enam puluh delapan tahun. Tubuhnya tetap saja tambun walaupun sudah kehilangan lebih dari tiga puluh kilo sejak perang dimulai, mungkin ini sebabnya sehingga ia benar-benar memiliki energi yang luar biasa. Aktor-aktor yang lain jelas tampak kurus dan gampang sekali kecapaian. Lucky harus berdiri tak bergerak sepanjang adegan tanpa melepaskan tas besar yang dibawanya. Atko, yang memerankan Lucky, mohon pada saya agar diizinkan meletakkan tas kosong yang dicangkingnya selama latihan. Setiap kali saya menghentikan latihan sejenak untuk mengganti pergerakan aktor atau dialog, semua pemain, terkecuali Ines, segera membaringkan diri di panggung. Selain kelelahan adalah kelambanan mereka dalam menghafal dialog. Sepuluh hari sebelum pementasan, mereka masih harus melihat pada naskah dan tak berdialog dengan lancar hingga sehari sebelum latihan terakhir. Mungkin ini tak akan menjadi masalah jika ruangan tidak terlalu gelap bagi mereka untuk membaca naskah yang mereka pegang. Seorang aktor yang lupa akan dialog yang harus diucapkan mesti balik mendekati lilin terdekat untuk mengintip naskah. Naskahnya sendiri menyedihkan, terdiri dari lembaran-lembaran lepas karena tak ada penjepit kertas di Sarajevo. Naskah ini sendiri diketik di kantor Pasovic dengan mesin ketik manual yang pitanya tampak belum diganti sejak perang meletus. Saya mendapat aslinya dan para aktor mendapatkan sembilan duplikat yang digandakan dengan kertas karbon, lima di antaranya sangat sulit dibaca sekalipun dalam cahaya terang. Selain sulit membaca naskah, mereka juga hampir tak bisa melihat rekan-rekannya di panggung, kecuali jika mereka berdiri berdekatan. Karena gelapnya ruangan mereka bahkan tak bisa melakukan gerakan-gerakan sederhana yang tak bakal menjadi soal seandainya ada cahaya, misalnya, melepas topi bersama-sama. Para aktor itu dalam pandangan saya hanya tampak seperti siluet yang bergerak-gerak di atas panggung. Tentu saja bukan hanya keletihan yang membuat mereka lamban. Adalah ketakutan yang membetot perhatian dan konsentrasi mereka ke luar panggung. Setiap kali kami mendengar suara ledakan bom di luar sana, tak hanya kelegaan yang muncul karena gedung teater untuk kesekian kalinya tak hancur menjadi sasaran. Para aktor juga harus bertanya-tanya dengan penuh kecemasan, di mana bom tadi mendarat. Hanya orang termuda di antara para aktor, Velibos, dan tertua, Ines, yang tinggal sendirian. Yang lain meninggalkan suami, istri, orang tua, atau anak-anaknya di rumah saat mereka datang ke teater setiap hari. Sebagian malah tinggal dekat sekali dengan garis depan, dekat Grbavica, bagian dari kota yang dikuasai Serbia, atau di Alipasino Polje, yang berdekatan dengan bandara yang diduduki Serbia. 30 Juli, tepat pukul dua, Nada, yang memang sering terlambat datang ke latihan, muncul dengan kabar buruk. Pukul sebelas pagi itu, Zlajko Sparavolo, aktor tua yang terkenal sebagai spesialis karya-karya Shakespeare, tewas terkena bom yang mendarat di depan pintu rumahnya. Para pemain yang sedang berlatih tertegun dan dengan mulut terkatup pindah ke ruang sebelah. Saya mengikuti mereka dan ketika akhirnya salah seorang memecahkan kesunyian, ia mengatakan pada saya bahwa kabar ini benar-benar membuat semua orang terpukul. Sejauh ini, tak seorang aktor pun terbunuh dalam perang gila ini. Hari itu adalah satu-satunya hari ketika kami menghentikan latihan lebih awal. *** Selama pementasan Godot dan kedatangan saya yang kedua di Sarajevo ini, hari-hari terasa bagaikan pengulangan sebuah siklus yang amat dekat saya kenal. Pengeboman yang terdahsyat terjadi pada sepuluh hari pertama keberadaan saya di sana. Dalam satu hari, sekitar 4.000 bom menghantam Sarajevo. Sekali lagi harapan agar intervensi Amerika benar-benar datang marak, tapi Clinton benar-benar diakali (mungkin kata ini kurang kuat untuk menggambarkan kelemahan Clinton) oleh pasukan Unprofor milik PBB yang pro Serbia, yang menyatakan bahwa intervensi Amerika bakal membahayakan pasukan PBB. Keputusasaan dan ketidakpercayaan rakyat Sarajevo semakin memuncak. Sebuah rancangan gencatan senjata disetujui, yang sebenarnya hanya berarti tembakan mortir yang sedikit mereda. Namun, karena orang yang memberanikan diri turun ke jalan semakin banyak, yang terbunuh selama gencatan senjata semu itu sama saja banyaknya. Para aktor dan saya berusaha menghindari lelucon tentang ''Menunggu Clinton'', tapi sebenarnya itulah yang kami lakukan di akhir Juli, saat orang-orang Serbia menguasai Gunung Igman, yang tepat terletak di atas bandara. Didudukinya Gunung Igman memungkinkan mereka menembak langsung ke pusat kota. Kembali harapan akan serangan udara Amerika terhadap posisi meriam- meriam Serbia merebak di kalangan penduduk. Walaupun orang benar-benar takut untuk berharap, mereka tak mau dikecewakan lagi, pada saat yang sama mereka benar-benar tak bisa percaya pada apa yang mereka dengar. Clinton sekali lagi berbicara soal intervensi dan kemudian lagi-lagi tak melakukan apa-apa. Saya sendiri sempat berharap ketika seorang teman wartawan menunjukkan selembar fax via satelit yang buram yang berisi pidato Senator Biden yang menganjurkan intervensi. Hotel Holiday Inn, satu-satunya hotel yang masih berfungsi di Sarajevo, yang terletak hanya empat blok dari para penembak Serbia, benar-benar penuh dengan para wartawan yang menunggu kejatuhan Sarajevo ke tangan Serbia atau intervensi. Salah seorang staf mengatakan, hotel ini tak pernah begitu penuh semenjak Olimpiade Musim Dingin 1984 yang diadakan di sana. Kadang saya beranggapan bahwa kami tidak sedang menunggu Godot atau Clinton. Kami sedang menunggu perlengkapan panggung untuk mendukung pementasan. Tampaknya, tak ada jalan untuk mendapatkan koper dan keranjang piknik Lucky, pipa rokok Pozzo, dan cambuk. Demikian juga dengan wortel yang nantinya pelan- pelan dikunyah oleh Estragon. Untuk konsumsi para pemain dan awak panggung saya mengais-ngais roti gulung dari ruang makan hotel setiap pagi. Di Holiday Inn, roti gulung selalu ditawarkan sebagai menu sarapan pagi. Sepatu but dan topi tinggi untuk Estragon baru bisa didapatkan pada hari terakhir latihan. Sementara itu, kostum untuk pemain, yang saya desain sejak minggu pertama, tak juga muncul hingga tepat sehari sebelum pementasan. Segala kekurangan ini memang disebabkan oleh langkanya segala sesuatu di Sarajevo. Sebagian lagi juga disebabkan oleh Mananaisme Balkan Selatan yang selalu mengatakan ''besok'' untuk segala hal. (''Anda pasti akan mendapatkan pipa rokok besok pagi,'' demikian jawaban yang saya dapat selama tiga minggu berturut-turut.) Tapi sebagian kekurangan perlengkapan ini disebabkan oleh persaingan antarteater di Sarajevo. Belakangan saya baru tahu bahwa saya bukanlah satu-satunya tamu di dunia teater Sarajevo yang sedang terkepung. Tentu saja persaingan adalah hal yang normal di mana pun. Jadi, mengapa tidak di Sarajevo yang sedang terkepung? Teater pada masa sebelum perang tentu saja bersaing, saling cemburu seperti halnya di kota-kota Eropa yang lain. Saya kira Pasovic dan asisten saya yang lain dengan cemas berusaha menyembunyikan kenyataan ini, bahwa tak setiap orang di Sarajevo bisa dipercaya. Ketika belakangan saya tahu bahwa sebagian kesulitan disebabkan oleh persaingan, bahkan sabotase dari teater lain, salah seorang asisten dengan sedih berkata, ''Nah, sekarang Anda sudah mengenal kami, Anda tak bakal mau datang kembali lagi.'' Sarajevo tak hanya sebuah kota yang secara ideal bisa mewakili pluralisme. Para warganya selalu menganggap Sarajevo sebagai tempat yang paling ideal: walaupun tidak terlalu penting (karena tidak cukup besar dan tak cukup kaya), Sarajevo masih yang terbaik untuk mengejar karier, walaupun mereka yang ambisius bakal pergi juga. ''Kau tak bakal bisa membayangkan, bagaimana hebatnya tempat ini dulu,'' tutur Pasovic. ''Seperti surga.'' Pemujaan inilah yang membuat para penduduk Sarajevo sekarang benar-benar meratapi kebejatan moral yang sekarang melanda kota mereka: pencurian dan perampokan semakin meningkat, gangsterisme, pasar gelap yang benar-benar buas, unit-unit tentara yang juga menjadi bandit, dan tidak adanya kerja sama di antara para penduduk. Tak ada lagi yang namanya pemerintahan kota maka reruntuhan berserakan begitu saja di jalan tanpa seorang pun datang membersihkan, sekolah-sekolah tak berjalan teratur. Kota yang dalam pengepungan, lambat atau cepat, bakal berubah menjadi kota yang penuh kekacauan. ''Segala kebaikan yang terjadi di sini adalah keajaiban,'' kata salah seorang teman. Yang lain mengatakan, ''Ini adalah kota orang-orang jahat.'' Ketika seorang wartawan Inggris menghadiahkan sembilan lilin yang tak ternilai harganya bagi pementasan ini, tiga di antaranya langsung hilang dicuri. Suatu hari, makan siang milik Mirza -- sepotong roti buatan sendiri dan sebuah pir -- lenyap saat ia sedang berlatih di panggung. Tak mungkin para pemain yang menjadi maling, mungkin malingnya adalah salah seorang awak panggung atau para siswa sekolah teater yang memang keluar-masuk selama latihan. Namun, para pemain benar-benar terpukul atas kejadian itu. Sekalipun banyak orang benar-benar ingin pergi dari kota ini, dan bakal pergi manakala mereka bisa, ternyata cukup banyak orang yang mengatakan bahwa hidup mereka bukanlah sebuah penderitaan yang tak tertahankan. ''Kami bisa hidup seperti ini selamanya,'' kata seorang teman saya, Hrvoje Batinic, seorang wartawan lokal. ''Saya bisa hidup dalam kehidupan ini seratus tahun lagi,'' kata Zehra Kreho, seorang teman baru dari Teater Nasional. Keduanya berusia menjelang 40 tahun. Kadangkala saya juga merasa demikian, tentu saja dengan kasus yang jauh berbeda buat saya. ''Saya belum mandi sejak enam belas bulan yang lalu,'' kata seorang ibu-ibu. ''Tahukah kamu bagaimana rasanya?'' Tentu saja saya tak tahu. Yang saya tahu adalah bagaimana rasanya orang yang tak mandi selama satu bulan. Saya benar-benar bahagia, penuh energi, karena tantangan pekerjaan saya, karena antusiasme dan semangat orang-orang yang bekerja dengan saya. Di sisi lain saya tak bakal bisa lupa betapa berat kondisi mereka dan betapa tak menentunya masa depan kota ini. Apa yang membuat kesulitan hidup menjadi lebih ringan dan bahaya menjadi lebih mudah saya tanggung adalah, selain kenyataan bahwa saya bisa meninggalkan kota ini setiap waktu sementara mereka tidak, karena saya berkonsentrasi total pada mereka dan karya Beckett yang saya siapkan. *** Hingga sekitar seminggu sebelum pementasan, saya masih belum yakin bahwa pergelaran ini cukup layak dipentaskan. Saya khawatir jika koreografi yang saya ciptakan terlalu rumit buat mereka karena waktu yang begitu pendek. Atau bisa juga karena saya terlalu lembek, salah seorang asisten mengingatkan bahwa saya terlalu keibuan dalam menangani mereka. Tapi tiba-tiba pada minggu terakhir segalanya menjadi berbalik, itu seperti muncul begitu saja pada saat latihan terakhir dengan kostum lengkap. Akhirnya pementasan tampak bagi saya bakal menyentuh, menarik, dan dipersiapkan dengan baik. Ini adalah upaya yang cukup terhormat untuk sebuah karya Beckett. Saya sangat terkejut akan perhatian pers yang begitu besar terhadap pementasan Godot. Saya katakan pada teman-teman bahwa saya akan pergi ke Sarajevo, mementaskan Godot, dan mungkin menulis tentang kehidupan di sana dan pementasan itu setelah kembali. Saya benar-benar lupa bahwa saya berangkat ke sebuah tempat yang sudah menjadi sarang wartawan dari seluruh penjuru dunia. Sehari setelah saya tiba, sudah ada selusin permintaan wawancara, begitu juga hari-hari berikutnya. Seorang teman mengatakan publikasi tentang pementasan Godot adalah hal yang baik untuk Sarajevo. Televisi, radio, dan media cetak adalah bagian penting dari perang di Sarajevo. Seorang intelektual Prancis, Andre Glucksmann, mengatakan, ''Perang saat ini adalah hajatan untuk media,'' dan, ''Menang atau kalah dalam perang itu ditentukan di TV.'' Saya teringat akan orang-orang yang kehilangan kaki dan lengannya mendengar pernyataan itu. Tapi pernyataan Glucksmann masuk akal juga. Bukan perangnya sendiri yang berubah, tapi peliputan media adalah objek perhatian yang utama. Kenyataannya, kadangkala perhatian medialah yang menjadi cerita utama, bukan lagi perang itu sendiri. Perang Bosnia adalah pemusnahan etnis pertama di Eropa yang disiarkan setiap malam lewat layar TV. Tak ada satu pun wartawan di Armenia pada tahun 1915, dan tak ada awak kamera di Dachau dan Auschwitz sepanjang Perang Dunia II. Sebelum semuanya terjadi, orang mungkin berpikir -- termasuk pula para reporter terbaik seperti Roy Guttman dari Newsday dan John Burns dari The New York Times -- jika mereka bisa menyebarkan berita ke luar, dunia akan melakukan sesuatu. Pembersihan etnis di Bosnia yang diliput secara luas oleh media mengakhiri angan- angan itu. Surat kabar, radio, dan yang paling hebat dari semuanya, televisi, sudah mementaskan perang di Bosnia dengan segala rinciannya. Satu hal yang tak tampak adalah niat beberapa gelintir manusia pembuat keputusan, baik politis maupun militer, untuk terjun menghentikan pembunuhan itu. Perang kembali berubah menjadi malapetaka yang jauh entah di mana orang-orang menderita, dibunuhi, dan menjadi ''korban'' malapetaka. Penderitaan itu sangat jelas terlihat, bahkan bisa ditonton secara close-up dan tak bisa diragukan lagi banyak orang jatuh simpati pada para korban itu. Apa yang tidak bisa direkam adalah ketiadaan. Ketiadaan kemauan politik untuk menghentikan penderitaan itu. Lebih tepat lagi, keputusan tidak melakukan intervensi di Bosnia adalah tanggung jawab Eropa, yang memang sejak dahulu mempunyai tradisi untuk pro Serbia. *** Menunggu Godot dibuka dengan dua belas lilin di atas panggung pada 17 Agustus. Hari itu ada dua pertunjukan, satu pada pukul 2 siang dan satu lagi pukul 4 sore. Di Sarajevo hanya ada matinee show, tak seorang pun mau berkeliaran setelah hari gelap. Pada pertunjukan pertama saya benar-benar tertekan cemas. Tapi itu hanya sementara, saya kira pada pementasan ketiga saya mulai lega. Untuk pertama kalinya saya menyaksikan sebuah pertunjukan teater sebagai penonton. Tak perlu cemas bahwa Sejo bakal lupa untuk terus bergeser, tepat sebelum ia berlari untuk buang air kecil. Pementasan itu sekarang menjadi milik para pemain, dan saya tahu mereka adalah orang-orang hebat. Saat itu adalah akhir pertunjukan -- di hari Rabu, 18 Agustus, pukul dua -- sepanjang keheningan panjang yang tragis saat Vladimir dan Estragon mendengar pengumuman Sang Utusan bahwa Tuan Godot tak akan datang hari itu, tapi pasti akan datang esok, mata saya mulai berair. Velibor juga menangis. Tak setitik suara pun terdengar di dalam ruangan. Satu-satunya suara yang terdengar adalah raungan kendaraan lapis baja milik PBB di kejauhan jalan dan, sesekali, letupan penembak gelap Serbia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini